Amukan dahsyat gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010 hingga hari-hari ini masih menyisakan seribu satu kisah. Seperti keping mata uang, selalu ada cerita suka ada duka, ada kisah senang juga yang menyusahkan.
Kejutan juga terjadi ketika erupsi Merapi kali ini menghasilkan ledakan hebat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah modern bangsa ini. Di balik kedahsyatan alam ini, muncul orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, bertaruh nyawa, dan berjibaku dalam kesunyian.
'UNTUK saudara-saudaraku, jangan panik! Sekali lagi, jangan panik! Saya ada di Jalan Kaliurang Kilometer 13, di sini masih aman! Sekali lagi, di sini masih aman! Jangan panik saudara-saudaraku' suara itu meledak-ledak, berusaha mengalahkan riuh rendah orang-orang yang berusaha masuk frekuensi 149.07 VHF.
Kalimat itu diulang-ulang, terus menerus sepanjang kepanikan yang muncul saat menit-menit erupsi dahsyat Merapi tanggal 4-5 November 2010. Malam baru saja lewat, dan Mbah Tono muncul sebagai moderator utama radio komunitas Merapi Balerante 907. Ia menerjang arus, berusaha keras menenangkan warga.
Tak hanya penduduk di lereng selatan Merapi, tapi juga ratusan ribu warga Sleman dan Kota Jogja yang ketakutan saat semburan awan panas menerjang hingga radius 15 kilometer dari puncak gunung. Tak banyak orang yang sanggup bekerja tenang dalam situasi mencekam seperti ini.
Waktu itu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Dr Surono telah memperluas radius bahaya letusan Merapi dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer. Artinya, radius ini hampir menyentuh pinggiran Kota Jogja, karena jarak dari pusat kota ke Kaliurang sekitar 30 kilometer saja.
Mbah Tono terus bertahan di Jalan Kaliurang sementara mulai terjadi eksodus warga dari Pakem dan wilayah-wilayah sekitarnya. Di atas sadel sepeda motor Shogunnya, Mbah Tono terus memberi penjelasan lewat radio, memutakhirkan informasi situasi saat-saat gunung paling aktif dan berbahaya itu memuntahkan isi perutnya ke sektor selatan.
'Saya hanya melaporkan apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan sesuai panca indera saya' kata Tales Suyitno, nama asli pria itu saat ditemui Tribun di rumahnya, Dusun Besi, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Sabtu (13/11/2010) sore. Saat itu Mbah Tono tengah memperbaiki antena radio komunikasi milik temannya.
Bergolaknya gunung yang memberi kesuburan lahan-lahan pertanian dan perkebunan di lereng- lerengnya itu praktis membuat hari-hari Mbah Tono tersita. 'Setiap hari saya memantau kondisi Merapi secara langsung, pagi, siang, ataupun malam,' aku laki-laki berusia 48 tahun ini.
Menggunakan sepeda motor bebeknya, Mbah Tono berkeliling lereng selatan gunung, lalu melaporkan situasinya lewat frekuensi Balerante 907. Ia mengaku takkan berani melaporkan informasi kepada ribuan pendengarnya lewat radio, jika bukan atas hasil langsung penginderaannya.
Dampaknya terlalu besar jika laporannya tidak berdasar. Ia mengungkapkan frekuensi 907 diakses berbagai kalangan, mulai pemerintah, tim SAR, PMI, pasukan TNI dan Polri, dan ratusan relawan yang bekerja tak kenal lelah di lapangan. Informasi pantauan visual dari jejaring sumber yang melingkari gunung amat berguna.
Pascaerupsi, saat paling genting adalah ketika evakuasi korban. Tim di lapangan mesti mendapatkan panduan informasi yang akurat, karena mereka sudah pasti tidak memiliki waktu untuk mengamati perilaku Merapi. Nasib mereka sangat tergantung panduan informasi dari sumber-sumber yang bisa mengamati gunung secara visual dari jauh.
Post a Comment Blogger Facebook