Masa awal pemerintahan Islam, jihad sebagai metode mendasar penyebaran dakwah Islam telah menjadi bagian penting dari upaya membangun kekuatan Daulah Islam. Jihad adalah perang di jalan Allah untuk meninggikan kalimat Allah. Oleh sebab itu diperlukan persiapan baik logistik, formasi perang, strategi, komandan dan para pasukan serta persenjataan. Persenjataan mengharuskan adanya industri.
Kewajiban ini dipahami menurut dalâlah iltizâm atau kaidah mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib hukumya). Jadi, mendirikan industri militer/perang wajib hukumnya berdasarkan mafhum dari dalil tersebut.
Manjaniq (Swing-beam)
Manjaniq pertama kali digunakan oleh kaum Muslim pada peristiwa pengepungan Bani Thaif. Adalah Salman Al-Farisi -seorang Persia yang masuk Islam di masa Rasulullah Saw- orang pertama yang memproduksi senjata ini atas perintah Nabi Saw.
Manjaniq merupakan mesin balok pengayun yang dioperasikan oleh orang-orang yang menarik tali pada satu sisi balok sehingga ujung yang lain akan berayun sangat kuat dan menembakkan misil dari tali yang menempel pada ujungnya.[1]
Manjaniq sebenarnya telah dikenal sebelum masa penaklukan Islam. Bangsa Avar pernah menggunakannya pada penyerbuan Thessalonica di tahun 597 M. Bahkan mesin pelontar ini dipercayai dicipta pertama kali oleh China antara abad ke-5 dan ke-3 SM, dan sampai ke Eropa sekitar 500 M[2]. Lalu pada masa pemerintahan Islam, Salman mengusulkannya kepada Nabi Saw sebagai senjata perang, seperti yang diriwayatkan dalam Sirah al-Halabiyah.
“Hingga pada hari pecahnya dinding benteng Thaif,” demikian Ibnu Hisyam meriwayatkan dalam kitab Sirah-nya, “Sekelompok sahabat Rasulullah Saw masuk ke dalam bawah dababah[3], lalu mereka berusaha masuk ke dalam dinding benteng Thaif agar mereka bisa membakar pintu benteng. Bani Tsaqif lalu melemparkan potongan-potongan besi yag telah dipanaskan dengan api sehingga membakar dababah yang ada dibawahnya, kemudian Bani Tsaqif melempari mereka dengan anak panah sehingga beberapa orang gugur.” [4]
Atas usulan Salman ini, Nabi Saw langsung mengangkatnya sebagai mudir[5] untuk mengelola industri militer dan memproduksi manjaniq untuk memperkokoh kekuatan pasukan artileri yang dipersiapkan untuk terjun ke medan tempur.
Pedang Damaskus (Sword of Damascus)
Dihiasi dengan ornamen garis bergelombang, lentur, ringan, dan mampu menembus baju zirah, menjadikan pedang damaskus salah satu senjata perang paling bersejarah.
Pedang ini diproduksi di Damaskus pada abad ke-12 M.[6] Eropa lalu mencoba membuat yang serupa dengannya, namun hingga saat ini masih belum mampu meniru 100%. Bahkan dengan teknologi metalurgi sekalipun belum dapat membuat tandingan yang memiliki ketajaman yang sama dengan Pedang Damaskus ini.
Pedang yang pernah membuat gentar Pasukan Salib ini, memiliki semacam lapisan kaca di permukaannya. Sutra akan terbelah bila jatuh di atasnya. Pedang lain pun akan menemui nasib yang sama jika beradu dengannya. Tidak ada yang menyangka, bahwa ilmuwan Muslim telah menerapkan teknologi nano sejak seribu tahun yang lalu.Selama ratusan tahun, tidak ada yang mengthui rahasia kehebatan pedang tanpa tanding ini. Adalah John D. Verhoeven -seorang profesor metalurgi modern dari Iowa State University- yang berkolaborasi dengan Alfred H. Pendray, seorang tukang besi dari Florida, yang telah mencoba membuat pedang ini selama bertahun-tahun. Dari penerapan nanoteknologi bahan impurities (non-besi dan non-carbon) dalam adonan baja yang membentuk pola mirip aliran air yang dikenal dengan Multi Walled Carbon Nano Tube[7], barulah diketahui rahasia di balik kehebatan pedang damaskus ini.
Teknologi Pembuatan Mesiu (Gunpowder)
Tidak hanya mumpuni dalam seni membuat pedang, kaum Muslim juga mampu mengembangkan teknologi pembuatan mesiu. Walaupun senyatanya bubuk mesiu pertama kali ditemukan di Cina yang digunakan sebagai alat pembakaran pada abad 9 M, dua abad sebelumnya seorang ahli kimia Muslim Khalid bin yazzid telah mengenal lebih dulu potassium nitrat (KNO3), bahan utama pembuat mesiu.[8]
Eropa baru mengenal mesiu setelah dibawa oleh pasukan Mongol pada tahun 1240 M.[9] Dan selanjutnya dikembangkan menjadi bahan peledak, misalnya untuk mendorong peluru, kemudian seabad setelahnya disempurnakan menjadi senjata api.
Jauh sebelum Eropa mengembangkan teknologi pembuatan mesiu, ilmuwan-ilmuwan Muslim telah lebih dulu mencobanya. Banyak ilmuwan Mulim yang menguasai teknik pemurnian potassium, sebuah teknik yang tak diketahui oleh orang-orang Cina. Jabir Ibnu Hayyan (wafat tahun 815 M), Abu Bakar Al-Razi (wafat tahun 932), dan Hasan Al-Rammah adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang telah menguasai teknik ini dan telah dijelaskan di dalam karya-karya mereka. Teknik pemurnian ini dilakukan agar potassium bisa digunakan sebagai bahan peledak.
Saat Perang Salib meletus tahun 1249 M, Raja louis IX dan para pasukannya pernah merasakan kehebatan moncong meriam dan roket kaum Muslim. Betapa hebatnya dampak proyektil yang ditembakkan pasukan Muslim, membuat Raja Louis IX kewalahan dan akhirnya takluk. Peristiwa itu diakui sendiri oleh Jean de Joinville, salah seorang perwira tentara Perang Salib.
The Mohammed’s Greats Gun
Inilah salah satu senjata paling fenomenal yang digunakan dalam perang paling menakjubkan sepanjang sejarah. The Mohammed’s Greats Gun, itulah sebutan senjata yang dibuat pada tahun 1942 ini . Meriam ini dibuat sebagai jawaban atas keinginan Muhammad al-Fatih untuk menjebol benteng pertahanan Kostantinopel.
“Aku dapat membuat meriam tembaga dengan kapasitas seperti yang Anda inginkan,” kata Orban -seorang ahli insinyur yang diundang Al-Fatih ke Adrianopel-, “Aku telah mengamati secara detail tembok di Konstantinopel. Aku tidak hanya akan memorakporandakan tembok itu dengan senjataku. Bahkan, tembok Babilonia pun akan hancur karenanya.”[10]
Militer Hebat, Negara pun Kuat
“Pasukan Utsmaniy sangat cepat gerakannya,” ujar Bertrand de Broquiere –seorang pengembara asal Perancis-, “Seratus pasukan Kristen akan jauh lebih gaduh dari sepuluh ribu pasukan Utsmaniy. Tatkala genderang perang telah ditabuh, maka dengan segera mereka akan bergerak, mereka tidak akan berhenti melangkah hingga komando dikeluarkan. Mereka adalah pasukan yang terlatih. Dalam semalam mereka mampu melakukan tiga kali lipat perjalanan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya orang-orang Kristen.”[11]
Kaum Muslim memang telah berhasil membangun angkatan bersenjata yang kuat dan pasukan yang terlatih. Walaupun tidak bisa dikatakan bahwa militer sebagai satu-satunya faktor penentu kemenangan di medan perang, tetapi ia merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab yang mengantarkan kepada kemenangan. Maka tak heran jika Rasul Saw sangat memperhatikan strategi perang, kekuatan pasukan, dan persenjataan di setiap peperangan. Dan selanjutnya juga menjadi perhatian para Khalifah pada masa sesudahnya.
Di masa Abbasiyah, sebagaimana yang dituturkan oleh Philip K. Hitti, “tentara kaum Muslim terdiri dari pasukan infanteri (harbiyah) yang bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan kavaleri (fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada, serta bersenjatakan tombak dan kapak. Tiap pasukan pemanah membawa pelontar nafa (naffathun), mengenakan pakaian anti api dan melontarkan bahan mudah terbakar ke pasukan musuh.”[12]
Ibn Shabir al-Manjaniqi, seorang arsitek kondang pada masa an-Nashir (1180 – 1225), telah menulis sebuah buku tentang teknik dan seni peperangan. Pada masa itu juga, para arsitek telah membangun mesin pengepung, seperti katapul, pelontar, dan pendobrak.[13]
Tak hanya tangguh di darat, tentara kaum Muslim pun hebat di laut. Mu’awiyah adalah khalifah pertama yang melancarkan jihad melalui lautan. Kemudian pada masa Khalifah Abdul Malik, industri peralatan maritim untuk pertama kalinya dibangun di Tunisia.
“Dari sana, penaklukan atas Sisilia diberangkatkan,” demikian Ibnu Khaldun menceritakan dalam Muqaddimah-nya, “Dan pada masa itu pula ditaklukkan Qusharrat. Setelah itu di bawah Bani Ubaidi dan Bani Umayyah, armada Ifriqiyah dan Andalusia terus-menerus bergantian menaklukkan kota demi kota.”[14]
“Selama masa pemerintahan Daulah Islamiyah,” lanjut Ibnu Khaldun, “kaum Muslim menaklukkan seluruh sisi lautan. Kekuasaan dan dominasi mereka semakin luas. Bangsa Kristen tak dapat berbuat apa-apa terhadap armada kaum Muslim, di mana pun di laut Tengah. Sepanjang waktu, kaum Muslim mengarungi gelombang untuk menguasai semua semenanjung yang membujur di pantai Laut Tengah, seperti Mayorca, Minorca, Ibiza, Sardinia, Sisilia, Pantelleria, Malta, Crete, Cypus, dan semua provinsi Mediterranean Romawi dan Franka.” [15]
Penaklukan dan penyebaran Islam yang begitu massif bukanlah semata-mata karena militer yang kuat, tetapi faktor utama semua itu adalah ideologi Islam. Motivasinya pun bukan lantaran memburu ghanimah (harta rampasan perang) atau sumber daya alam. Semua wilayah yang akan ditaklukkan sama di mata kaum Muslim, baik kaya maupun miskin. Seperti Afrika Utara yang tak punya kekayaan apa pun, kaum Muslim dengan penuh keyakinan masuk ke sana dan menyebarkan Islam.
Sungguh, suatu saat nanti musuh-musuh Islam akan terperangah menyaksikan kekuatan kaum Muslim bangkit kembali. Mereka akan menggenggam Timur dan Barat sebagaimana orang-orang sebelum merka. Islam akan masuk sedemikian cepat ke dalam setiap rumah dengan segenap kemuliaannya.
“Sungguh perkara agama ini,” demikian Rasul Saw mensabdakan dalam riwayat Imam Ahmad, “akan sampai ke seluruh dunia sebagaimana sampainya malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun, baik di tengah penduduk kota atau di tengah penduduk kampung, kecuali Allah akan memasukkan agama ini ke dalamya dengan kemuliaan yang dimuliakan dan kehinaan yag dihinakan; kemulian yang dengannya Allah memuliakan Islam dan kehinaan yang dengannya Allah menghinakan kekufuran.”[16]
Wallahu a’lam bi ash-showwab.
[Kusnady Ar-Razi]
Endnotes:
[1] Hugh Kennedy dalam The Great Arab Qonquests, Alvabet, hlm. 75.
[2] Ibid, hlm. 75
[3] Semacam tank yang terbuat dari kayu
[4] Ibnu al-Qayyim juga menukil riwayat yang sama di dalam Zad al-Ma’ad, keduanya dari Ibnu Ishaq.
[5] Direktur atau yang mengelola departen tertentu.
[6] http://www.muslimdaily.net/wacana/3665/seni-membuat-pedang-di-era-khilafah
[7]http://www.lacasadelaespada.com/tiendas/catalogo/product_info.php/cPath/54/products_id/839?
[8] http://www.dakta.com/berita/nasional/1596/teknologi-pembuatan-mesiu-di-masa-khalifah.html
[9] Phiip K. Hitti dalam bukunya berjudul “History of The Arabs”, Serambi (Jakarta), hlm. 850.
[10] Felix Y. Siauw, sebagaimana tertulis dalam karyanya yang berjudul “Beyond The Inspiration”, Khilafah Press (Jakarta), hlm. 194.
[11] Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi,”Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah”, Pustaka Al-Kautsar (Jakarta), hlm. Xiii. Dikutip dari Lord Kinross pengarang buku “The Ottoman Centuries: The Rise and The Fall of Turkish Empire”.
[12] Philip K.Hitti, hlm. 408
[13] Ibid,hlm. 408
[14] Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”, hlm. 316
[15] Ibid, hlm. 317
[16] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Tamim Ad-Dari r.a.
Suka Sejarah Islam ? sini ![1] Hugh Kennedy dalam The Great Arab Qonquests, Alvabet, hlm. 75.
[2] Ibid, hlm. 75
[3] Semacam tank yang terbuat dari kayu
[4] Ibnu al-Qayyim juga menukil riwayat yang sama di dalam Zad al-Ma’ad, keduanya dari Ibnu Ishaq.
[5] Direktur atau yang mengelola departen tertentu.
[6] http://www.muslimdaily.net/wacana/3665/seni-membuat-pedang-di-era-khilafah
[7]http://www.lacasadelaespada.com/tiendas/catalogo/product_info.php/cPath/54/products_id/839?
[8] http://www.dakta.com/berita/nasional/1596/teknologi-pembuatan-mesiu-di-masa-khalifah.html
[9] Phiip K. Hitti dalam bukunya berjudul “History of The Arabs”, Serambi (Jakarta), hlm. 850.
[10] Felix Y. Siauw, sebagaimana tertulis dalam karyanya yang berjudul “Beyond The Inspiration”, Khilafah Press (Jakarta), hlm. 194.
[11] Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi,”Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah”, Pustaka Al-Kautsar (Jakarta), hlm. Xiii. Dikutip dari Lord Kinross pengarang buku “The Ottoman Centuries: The Rise and The Fall of Turkish Empire”.
[12] Philip K.Hitti, hlm. 408
[13] Ibid,hlm. 408
[14] Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”, hlm. 316
[15] Ibid, hlm. 317
[16] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Tamim Ad-Dari r.a.