Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Batalyon 641 Beruang dan serdadu Rejimen Askar Melayu Diraja (RAMD) Malaysia menjaga Pos Aju di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Jumat (15/10). Prajurit TNI duduk di sebelah kanan askar RAMD.
Warga negara Indonesia yang belum pernah melihat situasi daerah perbatasan Republik Indonesia-Malaysia tidak sulit untuk memperoleh gambaran situasi lapangan dari layar bioskop di Jakarta.
Sebutlah film Hollywood, Once Upon a Time in Mexico, yang dibintangi Antonio Banderas, Salma Hayek, dan Johnny Depp, wilayah Meksiko nan kumuh, terutama di sebelah utara yang berbatasan dengan Amerika Serikat, bisa menjadi pembanding kondisi wilayah perbatasan RI dengan Malaysia yang lebih maju dari sisi infrastruktur dan perekonomian.
Liar, miskin, kumuh, dan tidak disentuh pembangunan. Itulah gambaran wilayah perbatasan Meksiko sebelah utara yang berseberangan dengan AS di Negara Bagian California, Arizona, New Mexico, dan Texas sepanjang 3.141 kilometer. Jarak itu lebih panjang dari 2.000 kilometer perbatasan darat Kalimantan Barat-Kalimantan Timur dengan Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.
Penjahat dan preman bebas beraksi ataupun buronan dari AS lari ke Meksiko. Itulah gambaran yang kerap muncul dalam film-film laga Hollywood. Dalam situs mapsofworld.com digambarkan, banyak pelintas batas ilegal, seperti imigran gelap dari Meksiko yang mencari kerja di AS dan sebaliknya buronan dari AS yang kabur ke Meksiko.
Lagi-lagi kondisi serupa terlihat di perbatasan RI-Malaysia di Pulau Kalimantan. Kegiatan ilegal relatif berlangsung bebas di wilayah perbatasan RI. Saat mengunjungi Pos Perbatasan TNI di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, medio Oktober 2010, Komandan Batalyon 641 Beruang, yang menjaga perbatasan, Letnan Kolonel (Inf) Trisaktiyono baru saja menerima laporan warga mengenai adanya penambangan emas tanpa izin di lokasi terpencil di perbatasan.
”Laporan ini kami teruskan ke atas. Mengenai keberadaan warga negara asing asal Republik Rakyat China di pertambangan, itu menjadi kewenangan imigrasi dan polisi. Kami akan tetap memantau,” kata Trisaktiyono.
Sepasang warga yang datang ke Pos Kompi Batalyon 641 di Sei Daun, Kecamatan Sekayam, memberikan data berisi nama-nama WNA asal RRC yang mengolah tambang emas. Memang kecurigaan yang ada beralasan mengingat izin dari salinan dokumen yang disampaikan menyebutkan para WNA itu bekerja untuk mengolah tambang batu bara. Kawasan pertambangan yang mereka olah merupakan sentra pendulangan emas tradisional masyarakat Dayak Bidayu.
Selepas menerima laporan kegiatan penambangan tanpa izin, rombongan Pengamanan Perbatasan Batalyon 641 kembali ke arah Balai Karangan yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Pos Sei Daun. Untuk menempuh jarak sekitar 10 kilometer itu diperlukan waktu lebih dari satu jam karena jalan hancur dan berdebu. Pada musim kering, rakyat kesulitan air.
”Itu penginapan-penginapan yang menjadi pusat prostitusi. Sepintas terlihat seperti hotel biasa,” ujar seorang perwira intelijen TNI yang mendampingi rombongan.
Pada akhir pekan, kerani menengah dari perkebunan sawit di wilayah Sarawak, yang terletak sekitar 10 kilometer di sebelah utara jalan Balai Karangan-Sekayam, biasa pelesiran di tempat hiburan di wilayah Republik Indonesia.
Sungguh ironis mengingat di wilayah Sarawak dibangun sarana penunjang roda perekonomian, seperti pabrik pengolah minyak sawit. Sebaliknya, kebun sawit di wilayah RI yang menyambung dengan perkebunan Sarawak tidak memiliki sarana mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi.
Walhasil, setelah 65 tahun Indonesia merdeka, di perbatasan Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur hasil bumi dijual mentah tanpa nilai tambah ekonomi dari ekspor produk setengah jadi. Karet, sawit, cokelat, lada, rotan, dan buah-buahan dijual sebagai produk mentah.
”Kalau musim tertentu, warga membiarkan hasil panen buah-buahan membusuk di kebun karena harga jatuh. Tidak ada pabrik pengolahan buah kaleng yang sebetulnya biayanya tidak mahal,” kata Carolus Tuah, aktivis antikorupsi yang putra asli Dayak Kalimantan Timur, dalam sebuah kesempatan.
Pemerintah pusat Republik Indonesia yang kerap mengangkat isu menjaga perbatasan dengan menggelar pasukan yang tidak dibiayai dengan layak tampaknya lupa bahwa negara yang besar adalah negeri penghasil produk akhir, bukan negara penghasil bahan mentah.
Kondisi perbatasan yang tidak dibangun ini akan selamanya menciptakan sindrom AS-Meksiko. Kemakmuran dan bukannya senjata adalah kunci menjaga perbatasan NKRI!
Sumber: KOMPAS
Post a Comment Blogger Facebook