PERWIRA pria yang berpangkat jenderal mungkin biasa. Jumlahnya sudah berjibun di korps militer maupun kepolisian. Tapi, wanita berpangkat jenderal, itu baru prestasi langka. Menjadi jenderal sekaligus ibu rumah tangga bukan pekerjaan mudah. Bekerja di institusi militer menuntut mereka harus selalu siap bertugas jauh dari keluarga. Itu mungkin salah satu kendala kebanyakan perwira wanita sehingga "jarang" meraih promosi jenderal.
Namun, di antara segelintir wanita perkasa tersebut, ada Brigjen Sri Parmini, 54. Dia kini menjabat staf ahli tingkat II kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS). Sri menjadi seorang di antara tiga jenderal wanita di korps TNI. Sebuah profesi langka bagi wanita Indonesia.
Ditemui di ruang kerjanya di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat pekan lalu (15/10), Sri jauh dari kesan galak dan tegas khas tentara. Mengenakan pakaian dinas berwarna hijau dengan satu bintang di pundak, ibu dua anak tersebut justru lembut dan murah senyum. Maklum, wanita kelahiran Boyolali itu dibesarkan dengan kultur tata krama khas Jawa Tengah, yang kalem dan penuh sopan santun.
Kultur itu pula yang membuat orang tua Sri heran saat anaknya mendaftar sebagai calon tentara pada 1981. "Kowe opo wani dadi tentara (Apakah kamu berani jadi tentara, Red)?" kata Sri, menirukan ucapan sang ayah. Sri sejatinya juga maju mundur kala itu. Tapi, demi menenangkan hati sang ayah, dia mengangguk dengan tegas.
Apalagi, imbuh Sri, saat itu pendidikan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat. Sri muda, yang baru lulus dari jurusan pendidikan sosial di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo, penasaran. Dia ingin jalan-jalan ke Kota Kembang tersebut. "Adik sepupu saya yang ikut daftar bilang, eh nggak apa-apa, sekalian nanti lihat Bandung kayak apa," ujarnya. "Maklum, saat itu kan saya masih muda banget," imbuh wanita berkulit cerah tersebut lantas tersenyum.
Orang tua Sri layak cemas. Sebab, Sri awalnya digadang-gadang menjadi guru. Keluarga mereka juga tidak berlatar belakang militer. Sri bahkan sudah menghitung hari untuk mengajar IPS di sebuah sekolah di Solo. Apalagi, pada masa-masa itu tentara wanita masih jarang. "Soalnya, dulu penasaran, seperti apa sih jadi tentara. Pas ada pendaftaran wamil (wajib militer), ya sudah, ikut saja," ujarnya.
Saat menjalani pendidikan di Pusat Pendidikan (Pusdik) Kowad di Bandung, Sri kaget. Dia heran dengan kebiasaan di militer yang selalu tegas dan berbicara dengan nada tinggi. Bahkan, kepada atasan, mereka tetap bersuara keras saat mengucapkan kata "siap".
"Saya kan besar di Solo. Awalnya kaget. Tentara kalau ngomong kok kayak marah-marah gitu, ya. Tapi, sekarang sudah biasa, memang harus begitu," tambah peraih penghargaan Yudha Dharma Nararya dan Kartika Eka Paksi tersebut.
Karena Sri lulusan jurusan keguruan, banyak teman semasa kuliah yang kaget saat mengetahui dirinya jadi jenderal. Sebab, umumnya, lulusan keguruan menjadi guru atau meniti jalur struktural pegawai negeri sipil (PNS). Saat menghadiri reuni kampus, dia diberondong banyak pertanyaan. "Lho, Sri, kamu berarti bisa nembak?" katanya, menirukan pertanyaan teman-temannya. "Nggak hanya bisa nembak, ngajari kamu nembak juga bisa kalau mau," jawab Sri sambil bercanda.
Saat kuliah di UNS, Sri memiliki "geng" beranggota tiga cewek. Geng itu terdiri atas tiga mahasiswa sekelas yang bernama depan Sri. Dua Sri lain menjadi guru dan kepala sekolah. Hanya Sri Parmini yang menyempal dari jalur sesama anggota geng. "Sekarang masih sering kontak-kontakan. Sri Warsiti jadi kepala sekolah, Sri Hartini jadi guru," ujar dia lantas tersenyum.
Selain itu, Sri Parmini harus memutar otak tiap kali dipindahtugaskan dan dipromosikan. Sebelum menjabat staf ahli tingkat II kawasan Eropa dan AS, dia bolak-balik dipindahtugaskan. Beberapa tahun setelah lulus dari Pusdik Kowad, dia menjadi guru militer. Kemudian, dia menjabat Kaur di Dinas Pengamanan Sandi Angkatan Darat (Dispamsanad). Pada 1996"1998, dia menjabat wakil kepala ajudan jenderal (Waka Ajen) Kodam Jaya.
Pada 2000-2004, dia kembali lagi ke Pusdik Kowad. Kali ini ibu Ratih Pujiati, 25, dan Arif Widiatmoko, 20, itu menjadi komandan Pusdik Kowad sebelum akhirnya ditarik ke Mabes TNI pada 2005. Karena prestasinya, Februari lalu dia diganjar pangkat bintang satu (brigadir jenderal) oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta.
Menurut Sri, mengelola rumah tangga sembari jadi jenderal susah-susah gampang. Yang penting, papar dia, selalu melibatkan keluarga sebelum mengambil keputusan. Terutama, kedua anaknya.
Ketika dipilih menjadi segelintir orang yang harus menjalani pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada 1995-1996, Sri membicarakannya dengan dua buah hatinya, Ratih dan Arif. Dia mengatakan kepada mereka bahwa dirinya hanya ada di rumah saat akhir pekan. Sri sangat khawatir saat itu. Sebab, Ratih masih berusia sepuluh tahun, sedangkan Arif baru berumur enam tahun waktu itu. "Itu saat-saat terberat menjadi ibu dan mengabdi kepada negara. Tapi syukur, anak-anak bisa mengerti," ucap dia.
Begitu pula ketika jadi komandan Pusdik Kowad di Bandung. Itu lebih berat lagi. Sebab, dia harus berada di Bandung mulai Senin hingga Jumat. Kalau tugas di Seskoad hanya setahun, di Kowad harus dijalani empat tahun.
Namun, karena anak-anaknya sudah lumayan dewasa, Sri tak terlalu mengkhawatirkan mereka. Malah, ketika hendak meminta persetujuan jagoan ciliknya, dia ditantang balik. "Nggak apa-apa kok, Bu. Yang penting, Sabtu dan Minggu ibu di rumah, kan" Adik sudah biasa, kok," ujarnya, menirukan ucapan anak ragilnya, Arif. (aga/c11/iro)
sumber: http://www.jpnn.com/
Post a Comment Blogger Facebook