GuidePedia

0
Setelah Darul Islam di Proklamirkan, pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengadakan konrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Diantara hasilnya adalah: Negara RI berubah menjadi RIS, Soekarno diangkat sebagai presiden RIS, RIS harus menghancurkan Darul Islam dan RIS harus membayar pampasan perang. Sebagai wujud pelaksanaan putusan KMB, sekitar tahun 1950-1951 terjadi pertempuran dimana-mana antara TNI dibantu Belanda melawan TII. Pada tanggal 21 September 1953, Abu Daud Bereuh yang sebelumnya menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh dan Sumatera Timur, menyatakan bergabung dengan pemerintahan Negara Islam Indonesia.

Tengku Daud Bereuh kemudian memberontak kepada pemerintah RI. Berturut-turut setelah itu, tahun 1953 itu juga, Ibnu Hajar dari kalimantan Selatan beserta 1 devisi angkatan lautnya bergabung dengan NII. Diikuti pula oleh Qahhar Muzakkar dari Sul-Sel bersama 2 devisi angkatan daratnya. Terakhir yang menyatakan diri bergabung ke dalam pangkuan Negara Islam Indonesia adalah Mayor Munawar beserta anak buahnya dari Batalyon 426 di Kudus jawa Tengah.

Menyaksikan dukungan dari berbagai daerah terhadap NII yang baru diproklamirkan, rezim Soekarni yang berfaham komunis merasa terancam kedudukannya. Maka mulailah dia mencari dukungan dengan memperalat Ummat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama Muslim yang tergabung dalam NII, dan ternyata mendapat sambutan dari kalangan ulama Nahdiyyin (NU). Ia bahkan memanupulasi istilah Al – Quran seperti kata Hijrah, untuk menyebut tentara RI yang mengungsi dari daerah pertahanannya di jawa Barat ke Yogyakarta, sebagai pelaksanaan perjanjian Renville yang merugikan perjuangan bangsa Indonesia itu. Kaum Muslimin yang tergabung dalam berbagai paksi militer ketika itu, mendengar kata Hijrah, langsung saja mereka mengasosiasikan langkahnya itu bagai hijrahnya Nabi SAW dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Dengan Taktik ini, Sukarno memang berhasil menghimpun dukungan ummat Islam.

Pada tanggal 2-7 Maret 1954, Soekarno mengumpulkan 3000 orang ulama NU dan lainnya dalam suatu konfrensi di Cipanas Jabar. Untuk maksud apakah pertemuan ini diadakan? Jawabannya adalah seperti dituturkan sendiri oleh mantan menteri agama ketika itu, yaitu KH. Masykur. Ia menuturkan maksud pertemuan tersebut dalam suatu wawancara dengan majalah Amanah. Antara lain dikatakan:
“Kita memang ekstra hati-hati, karena masalah ini menyangkut masalah fanatisme agama, dari sudut ini saja Kartosuwiryo dapat dukungan atau simpati dari masyarakat awam yang tahunya hanya Negara Islam. Bahkan negara-negara Arab, ketika itu secara tak langsung memberikan simpatinya dan mempersoalkannya pada pemerintah Indonesia. Karena itu dalam upaya dalam upaya menghadapinya harus digunakan tata cara keislaman. Dalam prinsip ke Islaman negara dapat dianggap sah dan dituruti bila pemimpinnya memenuhi syarat Waliyul Amri. Yaitu Ia seorang yang jujur, mempunyai kekuatan dan kewibawaan. Dan dia Muslim yang taat. Apabila negara dipimpin seorang Waliyul Amri, ada pihak lain yang menentang dan memberontak, maka hukumnya bughat, wajib dibasmi.

Persoalannya, apakah Soekarno memenuhi syarat sebagai Waliyul Amri? Ketika hal ini saya kemukakan pada Bung Karno dan apakah ia sanggup di uji, Bung Karno menjawab sanggup. Maka selama tiga hari, tahun 1955 para ulama seluruh Indonesia berkumpul di Cipanas dengan membawa kitab-kitab untuk membicarakan soal ini. Dari pertemuan ulama itu dan dialog dengan Bung Karno, akhirnya disimpulkan bahwa Bung Karno memang seorang yang jujur, berwibawa dan seorang Muslim. Tapi Bung Karno Shalat Jum’at dimana? Mendapat pertanyaan tersebut Bung Karno lalu mendirikan Masjid di Istana Negara. Sebelumnya masjid tersebut memang belum ada.

Dari penilaian tersebut Bung Karno dianggap memenuhi syarat sebagai “Waliyul Amri Addharuri Bisy Syaukah”. Menyinggung soal shalat jum’at, dari beberapa sumber yang dapat dipercaya menerangkan, bahwa sukarno dikenal tidak pernah melakukan shalat jum’at, kecuali pada saat pembukaan atau peresmian masjid “Baiturrahim” yang terletak di komplek istana Jakarta. Tetapi kecaman terhadap pemberian gelar ini datang dari berbagai tokoh dan organisasi Islam.

Menurut Persatuan Islam (Persis), istilah Waliyul Amri ad-dharuri hanya dapat dipergunakan pada negara yang berdasarkan Islam. Oleh karena itu, pernyataaan tadi menyebut para Ulama yang berkonfrensi di Cipanas itu sebagai orang-orang yang tidak mampu mengambil hukum dari sumber ajaran islam, Quran dan Hadist. Apalagi, pernyataan itu melanjutkan, keputusan dapat disalah gunakan secara politis.

Aruji Kartawinata dari PSII juga menanggapi keputusan ulama itu secara negatif. Ia mengatakan, bahwa keputusan ulama itu melanggar UUD. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa tiap kepala negara dalam Islam, termasuk Waliyu Amri, harus bertanggung jawab kepada rakyat atau lembaga perwakilan rakyat. Islam, katanya, tidak mengenal kepala negara konstitusional yang dianut oleh UUD sementara 1950. Oleh sebab itu presiden Indonesia tidak bisa menjadi Waliyul Amri. Juga kabinet tidak dapat dianggap demikian, katanya karena tidak berdasarkan Islam. Tambahan lagi, Presiden mengangkat sumpah setia kepada Pancasila dan bukan pada Islam. Ia (Presiden) juga tunduk kepada hukum yang tidak tunduk kepada hukum Islam.

Demikianlah, Setelah memegang tiket Waliyul Amri, Soekarno semakin punya kesempatan untuk melakukan kezaliman. Pada waktu M.Natsir menjadi perdana menteri, dalam tahun 1950 itu juga, Natsir membujuk SM.Kartosuwiryo agar bergabung ke pangkuan ibu pertiwi serta menyerukan lewat suatu pidato radio. Bahkan mengutus beberapa Ulama sebagai duta, dengan maksud membujuk SM. Kartosuwiryo supaya turun gunung. Diantara ulama yang pernah diutus Wali Al-Fatah dari jateng dan A.Hasan Bandung, tetapi semua usaha PM. itu tidak berhasil, yang terjadi justru sebaliknya, para utusan itu, setelah berdialog malah membenarkan sikap SM. Kartosuwiryo, yang berpandangan NII merupakan hak suci umat Islam Indonesia.

Sampai akhirnya, pada tahun 1960-1962, setelah terjadi beberapa kali pergantian perdata menteri, Pangab Jenderal AH.Nasution mengambil alih kebijaksanaan dan menyusun strategi menumpas TII. Dan lahirlah apa yang disebut Strategi PAGAR BETIS ( Pasukan Gabungan Rakyat Berantas Tentara Islam ). Puluhan ribu rakyat tidak berdosa dijadikan umpan peluru , diperkosa serta dirampok, kemudian dipaksa unutuk menyerah. Sungguh peristiwa ini merupakan tragedi paling tragis yang menimpa jamaah Darul Islam. Maha benar Allah yang telah menggambarkan prilaku manusia-manusia fujur dengan Firmannya, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang: “Suka berjanji dan hina, banyak mencela dan kemana-mana menyebar fitnah, enggan berbuat baik, melampaui batas dan banyak dosa, bersikap kasar dan selain dari itu mereka terkenal dengan kejahatannya ( Al-Qalam, 68:10-13 )

Pada waktu dilancarkan serbuan pagar betis, rakyat dijadikan umpan terlebih dahulu, bila rakyat akan mundur, niscaya akan ditembak oleh TNI, sedangkan DI/TII diperintahkan oleh SM.Kartosuwiryo untuk tidak menembak rakyat yang tidak berdosa yang selama ini telah banyak membantu perjuangan Darul Islam. Akhirnya pada tanggal 4 juni 1962 Imam SM.Kartosuwiryo tertangkap di gunung geber. Pemerintah RI mengadakan sidang kilat 14-16 Agustus 1962, dan memutuskan hari eksekusi mati atas diri sang Mujahid. Maka pada tanggal 17 Agustus 1962, Imam SM.Kartosuwiryo menemui syahidnya dihadapan regu tembak disaksikan 7 Orang Jenderal RI.

Seorang ulama mujahid, intelektual dan militer sekaligus telah menyirami bumi ini dengan tetesan darahnya, dia mati untuk menyongsong kehidupan abadi. Seperti kata-kata yang diucapkan Abu Bakar Siddiq ra: “Ihrish’ alal maut, tuhab lakal hayat ( Songsonglah kematian, niscaya kan kau dapatkan kehidupan ).

Sekalipun jasad beliau telah tiada, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup. Itulah makna dari firman Allah: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka itu mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS.2:154). Semoga rahmat Allah dilimpahkan kepada seorang shalih, Ustadz Abdullah Umar yang tekah mengubah syair kehidupan dibawah ini:

Hidup itu atas kehendak yang maha menghidupkan
Hidup itu tiada hidup tanpa menghidupi
kehendak yang maha menghidupkan
Hiduplah dalam kehidupan para penghidup
Kehendak yang maha menghidupkan
Hidupilah hidupmu demi kehidupan
di hari yang akan dihidupkan
oleh yang maha menghidupkan

Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar; maka meskipun Kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka ataupun Kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada Kami sajalah mereka dikembalikan. ( 40:77 )

Selanjutnya Allah berfirman:
Sungguh, jika Kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan) maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat). Atau Kami memperlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami ancamkan kepada mereka. Maka sesungguhnya Kami berkuasa atas mereka. Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. ( QS.43:41-43 )

Pertemuan para ulama di Cipanas itu jelas merupakan rekayasa politik, semata-mata dimaksudkan memberikan legalitas pada soekarno untuk menumpas perjuangan Darul Islam. Dan Untuk itu dia memerlukan bantuan para ulama pendukungnya guna menentukan,” Siapa Bughat yang harus diperangi dan siapa Waliyul Amri yang mesti ditaati”. Topeng yang menutupi wajah para pengkhianat agama sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Dari pengakuan yang dituturkan ini saja, orang dapat mengerti bahwa ini semua adalah permainan politik.

Sekalipun mereka memikul sekeranjang kitab laksana keledai, pertemuan para ulama di Cipanas itu pasti tidak akan menemukan hujjah yang benar bagi penumpasan suatu harokah Islamiyyah yang berjuang kearah terlaksanya hukum Allah. Begitu pula mereka tidak akan bisa meyakinkan dirinya sendiri, bahwa manusia macam soekarno yang mempelajari Islam sekedar kebutuhan, layak dinobatkan sebagai Waliyul Amri. Jika pada akhirnya mereka memutuskan, “yang ini bughat dan yang itu Ulil Amri”, maka itu tidak bisa lain sekedar rekayasa guna memenuhi tuntutan politik penguasa dengan memperalat Islam serta memanfaatkan kebodohan ulamanya.

Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya? ( QS.47:14 )

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top