Harits Abu Ulya, Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) menilai media dan pemerintah telah melakukan standar ganda dalam menyikapi kasus terbakarnya gereja di Aceh Singkil.
“Kasus pembakaran atau pengrusakan terhadap tempat ibadah di Indonesia tidak hanya menimpa kepada minoritas tapi juga terhadap tempat ibadah kelompok mayoritas (umat Muslim). Publik tahu bahwa sebelum kasus di Aceh Singkil beberapa waktu lalu terjadi pembakaran tempat ibadah (Masjid) di Tolikara Papua,” demikian disampaikan Haris dalam rilisnya, Rabu (14/10/2015).
Menurut Haris, selama ini porsi perhatian dan sikap pemerintah (penguasa) sangat terasa tidak adil dan tidak proporsional dalam menempatkan kasus terkait agama atau Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
“Di kasus Aceh Singkil yang terkait terbakarnya gereja pak Presiden begitu cepat merespon bahkan meminta kepada Kapolri dan Menkopolhukam untuk followup intruksi/respon presiden. Dan masyarakat luas di suguhi begitu cepatnya Kapolri menyimpulkan bahwa bentrokan yang terjadi di Aceh Singkil itu direncanakan,” ujarnya.
Ini sangat berbanding terbalik ketika dihadapkan kepada kasus pembakaran Masjid dan bentrokan di Tolikara Papua.
Seolah pemerintah bahkan pak Presiden gagap untuk menyikapi. Banyak retorika yang esensinya mengaburkan masalah sebenarnya.
Selain itu, media begitu semangat menabuh genderang tentang intoleransi dengan bahasa yang terang terkait kasus gereja di Aceh Singkil.
Ini tidak ditunjukkan media massa saat kejadian biadab dan intoleransi pada kasus Tolikara yang menimpa umat Muslim.
“Jika pada kasus Tolikara bapak Presiden mau undang tokoh-tokoh gereja ke Istana, kenapa tidak dengan kasus Aceh Singkil? Perlu diundang para tokoh dan ulama nya untuk didengar langsung dari mereka apa sesungguhnya yang terjadi.”
Standar ganda ini, menurut Haris, seolah menjadi pakem bagi penguasa dan media jika mengelola isu terkait dengan kehidupan beragama.
“Apakah jika kekerasan atau pembakaran tempat ibadah itu menimpa gereja itu baru dibilang tindakan intoleransi? Sementara jika menimpa kepada Masjid itu bukan intoleransi bahkan umat Islam harus bersabar dan memaafkan serta harus cepat keluar kata damai biar dianggap toleran?”
Menurut Haris, jika tak bisa berlaku adi, akibatnya akan terjadi tirani minoritas yang diekspresikan oleh penguasa dan media di Indonesia. (Hidayatullah)
Post a Comment Blogger Facebook