Setiap menjelang akhir September, bangsa Indonesia dihadapkan pada kenangan buruk G30S. Sejarah versi Orde Baru mencatatnya sabagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi sebaliknya, pelaku dan saksi sejarah peristiwa itu selalu dihantui pertanyaan mengapa peristiwa itu bisa terjadi.
Tan Swie Ling adalah saksi korban peristiwa itu. Ia ketua Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) yang harus menderita karena kedekatannya dengan Sudisman -- pengganti DN Aidit. Ia dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Boedi Oetomo bersama sejumlah tokoh penting lainnya. Dua diantaranya Sjam Kamaruzaman dan Brigjen Soepardjo. Bersama Sudisman, Pak Tan -- demikian lelaki usia 76 itu biasa dipanggil -- menjadi figur paling dihormati; orang komunis atau bukan, militer dan sipil, salah satunya karena ia menolak berita acara pemeriksaan di Mahkamah Militer Luar Biasa.
Pekan ini, Tan Swie Ling meluangkan waktu untuk berbincang dengan Darmawan Sepriyossa, Teguh Setiawan dan Irwan Ariefyanto dari INILAHCOM.
Sebagai Napol golongan A yang tergolong tokoh penting di PKI, Anda pernah tahu akan ada G30S sebelumnya?
Begini, kami ini selalu disebut kaum yang berontak. Itu yang membuat saya selalu bertanya-tanya, sejak dalam penjara bahkan,” Kok kami ini selalu disebut berontak? Apa betul?” Itu selalu jadi pertanyaan di batin saya. Orang yang berontak itu seperti apa sih?
Saya beruntung sempat melihat Imam Samudra setelah dia tertangkap. Setiap kali kamera menyorot dia, selalu Imam mengacungkan tangan terkepal dan berteriak,”Allahu akbar! Allahu akbar!” Saya terpesona melihat dia. Dia tahu dan yakin dengan apa yang ia perjuangkan. Dia tahu harga yang harus dia bayar. Dia siap untuk membayar itu. Dia siap mati. Itulah gambaran saya tentang orang yang sadar dengan apa yang dilakukannya.
Nah, gambaran itu tak tampak pada barisan saya. Kenapa? Bahkan yang ada, barisan kami ini dikenal loyo. Jadi saya terus berpikir, apa betul kami ini dulu mau memberontak? Sepanjang pengalaman dan perjumpaan saya dengan tokoh-tokoh penting PKI, saya tak merasakan itu.
Maksud Anda?
Saya tak melihat dari para tokoh itu, paling tidak secara ideologis pernah melakukan sesuatu yang besar, yang persiapan mentalnya masih tersisa. Tidak. Saya pernah bertemu, berinteraksi dengan Sudisman (ketua umum PKI pengganti DN Aidit), Paris Pardede (pimpinan Komisi Kontrol Comite Central dan calon anggota Politbiro PKI), dengan Syam Kamaruzzaman dan sebagainya. Bahkan dari Brigjen Soepardjo dan Sujono Pradigdo, saya tak melihat itu. (Red: Sujono Pradigdo adalah kepala komisi Verifikasi CC PKI. Dari penangkapan Sujono Pradigdo, didapat keterangan rahasia tentang keberadaan tokoh PKI lain yang kemudian ditangkap melalui operasi kalong. Tokoh PKI lain yang dalam persembunyian itu antara lain: Sudisman, Tjugito, Anwar Sanusi, Tan Swie Ling, Rewang, Oloan Hutapea, Subadi, Sidik Kertopati.).
Anda yang akrab dengan banyak petinggi partai, tak tahu akan ada G30S?
Banyak hal yang kurang dapat dimengerti dari kejadian itu. Saya merasa tenang-tenang saja. Dari siang tanggal 30 September, dan malam itu, jam 20 malam baru pulang bersama Sudisman. Jalan kaki ke Tomang, yang waktu itu belum beraspal. Jalan tanah. Tak ada apa-apa, tak tahu akan ada apa-apa.
Yang jelas saya tak tahu. Tapi tanggal 1 Oktober itu naluri saya merasa, kok ada yang aneh. Saya waktu itu mencari-cari Sukatno, pimpinan tertinggi Pemuda Rakyat (organ pemuda onderbouw PKI). Saya ke rumahnya, kosong, gelap. Saya hanya bertemu dengan ketua PKI Jakarta Raya di jalan. Dia juga sedang gentayangan kebingungan. Tetapi setahu saya, Sujono Pradigdo itu setiap malam, begitu jam malam berlaku, ya kebingungan.
Setelah G30S, Anda dikejar-kejar?
Awalnya saya rasa tidak. Hanya memang setelah itu tekanan begitu berat. Setiap malam saya tak tidur di rumah, mencari tempat-tempat yang aman. Sujono juga meminta saya mencarikan dia tempat menginap. Saya bawa saja ke tempat saya sering menginap, di sekolah-sekolah Cina yang sudah ditinggalkan. Kan begitu G30S, langsung sekolah-sekolah Cina dihentikan. Saya selalu tidur di Sin Ming Hoei (Red:Sekolah Cina, kini Gedung Candranaya, kalau masih ada). Saya suka, karena di zaman itu, di situ sudah ada televisi. He he he...
Apa yang membuat Anda bisa diterima baik penjaga Sin Ming Hoei?
Itu tempat nongkrong saya. Sebelum G30S pun saya sering datang nongkrong, melihat Sajuti Melik main catur di sana. Jadi dengan penjaganya ya sudah saling kenal.
Belum lagi saya berasal dari daerah, dari Pekalongan. Di Jakarta saya nggak punya tempat bermalam. Saya aktif di Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI). Markasnya di Gedung Tunas Jaya—sekarang gedung bakmi Gajah Mada. Saya dikasih kamar di sana. PPI itu aktif dalam kesenian, terutama tari-tarian. Dalam soal ini kami mengalahkan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra, onderbouw PKI). Setelah G30S, markas kami sering malam-malam dilempari batu. Suatu hari, ada serombongan massa datang mengobrak-abrik tempat saya. Saya menyelinap ke seberang jalan, ke Jalan Gajah Mada sekarang, melihat orang-orang mengobrak-abrik tempat kegiatan kami.
Anda ditangkap ketika sedang berada di Sin Ming Hoei?
Tidak. Di rumah. Tahu yang melaporkan saya dan membawa tentara mengepung rumah saya? Sujono Pradigdo.
Tan: PKI Susun Ulang Kekuatan Itu Shit!
Ok, kalau masing-masing petinggi PKI tak tahu soal rencana G30S, pernahkah di dalam penjara mereka saling menyalahkan?
Otomatis. Andai kata tak ada begitu, paling tidak kan organisasi ini setelah terpukul bisa bangkit. Petinju yang di-KO pun dihitung 10 kali, bangun lagi, misalnya. Ini sudah sekian lama nggak bangun-bangun. Mengapa? Karena salah menyalahkan. Ini salah Aidit! Ini salah kamu! Semua saling mengaku pintar. Ini menyedihkan. Semua ingin berada paling depan. Dan itu yang membuat organisasi ini sampai setengah abad nggak bangkit-bangkit!
Bukan karena pelarangan di zaman Orba?
Bukan. Kalau pelarangan itu sih dari dulu juga PKI dilarang.
Menurut Ben Anderson, benarkah hanya Anda dan Sudisman yang menolak Berita Acara Pemeriksaan (BAP)?
Begini, saat sidang Mahmilub, hakim meminta saya menerangkan soal pembangunan kembali PKI. Saya jawab, dan itu berkali-kali,” Saya tak mengerti pertanyaan Yang Mulia.” Itu membuat hakim marah dan menunjukkan BAP yang di sana tertera tanda tangan saya.
Saya jawab akhirnya. Saya katakan, pemerintah saat itu sudah menganggap kami hama yang harus dibasmi. Bukan lagi manusia. Jadi, sebagai hama kami sudah tak lagi punya HAM. Kami sudah diperlakukan sampai pada taraf yang tak pernah kami pikirkan sebelumnya. Jadi, sudah tak relevan lagi kalau di sana ada tanda tangan kami. Kami akan melakukan apa pun yang diperintahkan. Kami tak akan mau lagi mengalami lebih buruk yang sudah dialami. Saya, saat itu duduk bener saja nggak bisa.
Hanya saja, mungkin Ben Anderson menganggap kami-kami waktu itu singa, yang bisa mengaum. Padahal, semua orang PKI saat itu sudah pecah nyalinya. Termasuk saya. He he he...
Omong-omong, kapan Anda masuk PKI? Apa saat itu sudah atheis?
Begini, saya dibaptis jadi PKI itu di dalam bui. Yang baptis saya sebagai anggota PKI itu penguasa. Tapi benar kalau saya aktif di PPI. Saya beragama. Hanya agama itu bagi orang-orang seperti saya kan ‘cair’. Ke kelenteng itu kami cair saja. Tidak ada keharusan seperti umat Islam yang mayoritas, misalnya.
Tapi PPI itu onderbouw PKI kan?
Benar, kalau itu.
Di penjara Anda sempat bertemu Syam Kamaruzzaman?
Ya, di Rumah Tahanan Militer di Jalan Boedi Oetomo. Itu sebetulnya penjara untuk ‘orang-orang besar’ PKI. Tapi karena orang-orang besar udah nggak ada, ya bolehlah kere-kerenya (Tan tertawa). Saya sempat bertemu Syam di sana, seperti juga dengan Sudisman.
Bagaimana Anda melihat sosok Syam, yang bagi banyak orang begitu misterius?
Singkatnya, saya orang yang sangat tidak hormat kepada Syam. Banyak orang PKI, yang meskipun bersikap tak semestinya, masih bisa saya hormati. Satu-satunya orang yang paling tidak bisa saya hormati, ya Syam. Satu-satunya orang PKI yang sangat saya hormati, Sudisman.
Saya cerita sedikit. Semua tahanan waktu itu kekurangan makan. Kami sangat ingin makan. Syam ini kalau diperiksa, ketika keluar pemeriksaan, kalau jalan, gambarannya seperti dukung bayi. Kesulitan, hampir jatuh. Yang dibawa dengan susah payah itu kayak karung. Isinya rokok, beras, roti, gula, kopi, susu, biskuit. Saya juga pengen, tapi saya sadar sampai keringat saya jadi darah, tak mungkin saya diperlakukan kayak Syam. Kami akhirnya berpikir, tak ada yang bisa makan gratis ya. Pasti ada sesuatu dengan Syam ini.
Anda curiga Syam ‘menyanyi’?
Ya, begitulah. Bahkan lebih dari itu. Setiap kali dia diperiksa di Mahmilub, dia selalu ‘setor orang’. Sama seperti Sujono Pradigdo, dia juga selalu setor orang kalau diperiksa. Itu yang membuat orang-orang PKI kalut dan lari ke Blitar. Jendral Soepardjo itu yang ‘setor’ ya Sujono Pradigdo.
Apakah siksaan di tahanan membuat mereka begitu?
Masalah karakter, menurut saya. Tetapi bisa jadi penahanan pun membawa banyak perubahan. Sujono itu dalam dua tahun sudah seperti orang 70-an lebih. Jalannya susah, rambut di kepalanya rontok. Tangannya gemetaran, tremor. Itu hanya dalam setahun lebih.
Sudisman saja yang tegar, hanya dalam dua tahun rambutnya berubah perak semua. Ada mayor udara pelatih relawan di Lubang Buaya. Waktu masuk gagah, hanya setahun sudah berubah seperti umur 80-an. Dan itu bukan karena siksaan fisik. Tetapi vonis mati itu membuat Anda merasa sudah jadi mayat ketika masih bernafas.
Apakah Sudisman juga begitu, pulang diperiksa bawa sembako?
Kalau Sudisman begitu, saya juga akan kehilangan rasa hormat. Sudisman itu dihormati bahkan oleh para penjaga kami, para militer. Sudisman itu diperlakukan agak istimewa, punya ranjang, pakai kelambu. Kalau ia tertidur dan kelambunya belum terpasang, itu dipasangkan penjaga. Di mata penjaga, Sudisman itu dihormati.
Itu karena salah satunya wibawa Sudisman yang tinggi, karena perilaku yang baik. Sudisman juga tegas, lurus. Dia tak mau diperiksa sebelum syarat dipertemukan dengan DN Aidit, MA Lukman, dengan Sakirman. Mereka itu empat sekawan di partai. Dia bersedia diperiksa kalau dipertemukan lebih dulu dengan tiga temannya itu.
Dia itu diperiksa di selnya sendiri, caranya dikasihkan dokumen. Dia hanya diminta mengatakan benar atau tidaknya dokumen itu. Sudisman saja kalau diperiksa itu dimohon-mohon, “Agar Bapak dimohon bersedia diperiksa.”
Tapi soal kepribadian itu ya memang tak bisa dibuat-buat. Sudisman itu lurus. Saat ditanya apakah ia beragama, ia bilang,”Saya ateis.” Padahal semua orang PKI bilang, ya beragama. Saya kira buat Sudisman itu bukan soal jujur atau tidak. Ia adalah pengganti DN Aidit. Satu-satunya orang yang paling berkewajiban menyelamatkan partai. Dan penyelamat partai itu harus lurus, jangan belok-berkelok. Dan dia tahu, harga perjuangannya ya mati. Ya sudah, mau apa lagi? Memang itu sudah harga dia.
Dia kan tak mungkin menjawab, katakanlah, Islam. Mungkin kalau begitu dia akan ditanya, masjid mana saja yang ia datangi, dan sebagainya. Itu akan merepotkan orang saja. Rupanya itu juga dihargai militer.
Bukankah pasca-G30S PKI disebut-sebut berencana kembali menyusun kekuatan di Blitar?
Kalau ada orang bilang PKI mau menyusun kekuatan kembali itu, maaf kalau kalau saya bilang kasar, taikitu! Nggak ada itu. Gombal! Yang namanya peristiwa bersenjata di Blitar itu sesungguhnya kecelakaan. Gara-gara Sujono ditangkap, seluruh pimpinan PKI kalang kabut. Itu karena dia orang yang tahu banyak. Sementara pengkhianat itu dia. Dalam kalang kabutnya itu, mungkin saja,” Ya sudah, kita ke Blitar saja.” Ke Blitar itu menyelamatkan diri, bukan untuk berperang. Isi Blitar itu orang-orang desersi. Bagaimana bisa berjuang dengan pasukan desersi. Okelah dalam kondisi biasa mereka, pasukan itu, simpatisan PKI. Tapi setelah G30S itu kondisinya lain. Ya gampang saja digulung Operasi Trisula.
Tan: G30S itu Bikinan CIA
Setelah Reformasi, Anda melihat ada peluang PKI melakukan revivalisme, bangkit lagi?
Itu susah dijawab. Kalau saja para petinggi PKI tidak ‘adu pintar’ mungkin bisa. Kan yang terjadi tidak begitu. Selain itu sudah tak ada lagi figur. Sudah banyak pula yang meninggal. Sisa-sisa PKI itu kini bertempur dengan waktu, dengan usia.
Kalau simpatisan ahistoris, yang tak punya kaitan sejarah? Generasi muda saat ini, misalnya?
Justru harapannya kita menumbuhkan hal itu. Saya selalu katakan, kalau masih mau melangkah ke depan, gunakan prinsip kebalikan membakar obat nyamuk. Membakar obat nyamuk kan melingkar dari luar yang besar, ke dalam yang kecil. Sebaliknya, ya buat sebaliknya, mulai dari dalam, ke luar, hingga membesar. (Red: Kami mengasumsikan, lakukan gerakan kebalikan dari involutif, yang hanya akan membuat lingkaran PKI mengecil). Hanya dengan itu harapannya.
Soal lain, bukankah kini sudah tak ada lagi negara patron Komunis, macam Sovyet? Tiongkok pun sudah semi kapitalis?
Bagi saya, memang nggak bisa Komunis diharapkan begitu terus. Warna merah itu selalu begitu terus, misalnya. Nggak bisa. Segala sesuatu itu bergerak, berubah. Materi itu kan bergerak, dialektis. Tak ada yang bisa statis, kecuali ia dibingkai baja. Kalau Tiongkok itu berubah seperti saat ini, mungkin saja ia tengah mencari bentuk baru dari ideologinya. Bagi saya Sosialisme itu seutas kawat emas. Ia bisa dilengkungkan menjadi cincin, misalnya. Cincin itu tak berarti menyalahi Sosialisme itu.
Kembali ke Syam, Anda percaya ia agen ganda?
Ada orang bercerita, Syam ini orang yang ditanam PSI. Ada juga yang bilang Syam ini pisau bermata dua. Kalau ia pisau bermata dua, seharusnya intelektualitasnya hebat. Sepanjang penglihatan saya, kapasitasnya nggak begitu. Dia tak sebagaimana Anda katakan, dia tak cerdas.
Begini, kalau ada orang yang bisa bertahan diperiksa sekian lama, apakah itu karena ia cerdas, atau karena ia hanya bersiasat?
Adakah tahanan PKI yang di tahanan justru jadi relijius?
Oh banyak. Kebanyakan begitu. Saya ingat, ada teman dari Palembang, dia sekretaris Comite Daerah Besar (CDB) Palembang. Namanya Anwar Sanusi, kalau tak salah. Pagi-pagi dia sudah bangunkan orang dengan adzan. Dia bilang, “Aku kan bukan PKI. Aku kan calon (Politbiro).” Di dalam (tahanan) ia mengajar mengaji. Saya sendiri tak mempersoalkan itu.
Jadi menurut Anda, siapa dalang G30S?
Bagi saya, G30S itu menimbulkan banyak penderitaan. Juga bagi bangsa Indonesia. Itu penanda kehancuran nasionalisme. Pengalaman di penjara, saya menolak G30S itu karena PKI. Itu kesimpulan Soeharto. Semua dibawa ke situ, mungkin agar dia bersih. Saya lebih percaya, itu karena Perang Dingin. Kita tak sadar kita hanya jadi wayang dari Perang Dingin.
Hitam di atas putih saya punya dokumen. Dokumen dari Perang Dingin itu. Kegiatan itu dikerjakan dalam kerangka besar Perang Dingin. Semua digarap. Yang digarap terlebih otak. Bagaimana otak pemimpin dan ketua Partai Komunis Sovyet Mikhail Gorbachev bisa diubah, bisa digarap hingga justru dia yang membubarkan Partai Komunis Sovyet. Nah, di Indonesia, yang dipakai jadi alat itu PKI.
Kembali, jadi siapa Syam Kamaruzzaman?
Saya belum punya keberanian untuk mengatakan Syam itu orang Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA). Tetapi memang tingkah lakunya memang begitu. Jadi saya merasa, yang namanya PKI itu seharusnya tidak berlaku seperti itu. Wong dia punya pengalaman tahun 1948. Dengan begitu, yang namanya DN Aidit itu kan harusnya bukan anak kemarin sore. Dia harusnya berisi. Tetapi bagaimana dia menghadapi hal itu justru seperti mati berdiri.
Sebegitu hebatkah Syam?
G30S itu menurut saya tak akan ada tanpa segitiga Syam-Soeharto-Letkol Untung. Tak bakal ada. Tak akan meletus. Katakanlah, yang namanya Untung itu bola lampu. Yang stop kontaknya itu, yang di dalam rumah Indonesia itu, dua orang tadi: Soeharto dan Syam. Keduanya bagi Untung atasan. Soeharto itu komandan, sementara Syam itu bapak ideologis dia. Kata-kata dari keduanya tak pernah diragukan Untung.
Jadi Aidit diperalat juga?
Ya. Coba saja, dia bikin program (G30S) ini, buka medan di sini (Jakarta) tanggal 30 September. Tanggal 1 Oktober dia sudah ngacir, ke Jawa. Dan ke Jawa itu ternyata dia masuk perangkap. Malam menjelang tanggal 1 Oktober, dia sudah disediakan pesawat untuk berangkat. Sampai di Jawa dia keleleran. Aidit itu sengsara, sampai harus merampas sepeda orang di Boyolali.Itu karena dikadalin orang-orang itu. Syam itu.
Jadi di dalam Syam itu siapa sih? Dia ketua Biro Chusus, tak lain dari kamar tertutup di PKI yang tak bisa dimasuki orang lain di PKI. Dia bisa berbuat semaunya dengan aman di situ. Bagaimana ini, partai komunis terbesar di luar Tiongkok dan Sovyet yang dengan segera bisa digulung habis.
Dalam perbincangan dengan Brigjen Soepardjo, Anda yakin dia percaya adanya Dewan Jendral?
Kalau yang saya lihat, Pak Pardjo meyakini Dewan Jendral itu buatan. Itu kena makan isu lawan saja. Isu CIA. Dari situ saya yakin, peristiwa G30S itu buatan CIA.
Apa yang membuat Anda yakin G30S itu bikinan CIA?
Ada juga tulisan Pak Yusuf (?), seorang wartawan senior menulis terjemahan dokumen yang de-classified soal itu. Dokumen itu berasal dari surat menyurat CIA kepada pemerintah RI. Dari 637 halaman, saya kutip empat halaman. Isinya menerangkan soal kata-kata, jadi yang penting bagaimana mengadu domba Komunis-non Komunis di Indonesia.
Yang paling saya ingat, ada kata-kata,” Apa tidak mungkin kita mengulang dengan menimbulkan kerusuhan anti Cina?“ Itu benar-benar saya pegang. Tanggal dokumen itu September 1964, dan ada kerusuhan antiCina Mei 1963. Di tahun 1963 itu, satu-satunya kerusuhan, ya Mei itu.
Apakah Mei 1998 juga bukan buatan CIA? Jadi menurut saya, kegiatan antiCina itu selalu didaur ulang. Yang dikorbankan makin besar. CIA ini benar-benar pihak yang mengobok-obok Indonesia.
Kapan terakhir Anda melihat Syam?
Tahun 1967 di penjara. Setelah itu hilang. (Red: dokumen menyatakan Syam dieksekusi tahun 1986).
Kini, kemana Syam?
Menurut saya dieksekusi. Penguasa ini kan tak kenal jasa. Mereka melihatnya hanya alat, sudah pakai, ya buang. Lihat saja. Soeharto juga berkuasa, 32 tahun. Sukar sekali ditumbangkan. Tetapi mungkin karena penguasa melihat dia sudah tak bisa dipakai, ya digulingkan juga. Oleh mahasiswa? Yang benar saja. Lihat juga Saddam Husein, Marcos. Lihat Pak Harto, penguasa memperlakukannya lebih baik. Dia meninggal di Indonesia, tapi lihat, sampai meninggal, tak ada satu pun yang bisa menghukumnya.
Post a Comment Blogger Facebook