Menurut Didin, kebocoran tersebut bisa mencapai Rp 1.000 triliun, bahkan tidak mustahil mencapai Rp 7.200 triliun, sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia menjelaskan, hal tersebut terjadi akibat inefisiensi penggunaan modal, yang tercermin dari besarnya Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Didin menuturkan, semakin tinggi nilai ICOR, itu artinya semakin tidak efisien modal yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Artinya pula, semakin tinggi nilai inefisiensinya.
Berdasarkan data BPS, nilai ICOR Indonesia di kisaran lebih dari 4. Bahkan pada 2009 nilai ICOR mencapai 5,4. Padahal ICOR yang efisien biasanya berada pada kisaran angka 3.0-4.0. “Ada lagi analisa lebih tajam dengan input dan output analisis oleh Prof Mathias Aruf dari ITB orang teknik industri. Sebanyak 52-40 persen kebocoran pajak atau yang dibilang Prabowo itu opportunity loss karena kita menyerahkan atau transfer keuntungan ke asing, maka ada kebocoran ke luar negeri. Bener juga dia, karena mustinya masuk ke Indonesia ditransfer keluar negeri oleh Freeport, Chevron, Shell. Itu kebocoran bener,” jelas Didin.
“Angka yang disebut Prabowo Rp 1.000 triliun, itu ya mendekati 52 persen. Ditambah, tidak hanya kebocoran di APBN, tapi juga opportunity loss yang menurut KPK Rp 7.200 triliun, dihitung dari migas, pertambangan lain, energi, listrik yang lari ke asing, tidak masuk ke kita,” katanya.
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook