Guru besar Fakultas Dakwah Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Moh. Ali Aziz kembali menjadi imam Tarawih dan penceramah Ramadan di masjid-masjid luar negeri. Salah satunya di Jepang. Berikut catatan Prof Ali Aziz dari Tokyo. ----------
SETIAP warga Indonesia di Jepang pasti mengenal SRIT (Sekolah Republik Indonesia Tokyo). Gedung tiga lantai di atas tanah 25 x 50 meter yang terletak di Meguro itu bukan hanya tempat sekolah formal bagi anak-anak Indonesia, tapi juga pusat kegiatan masyarakat Islam Indonesia. Termasuk, salat Jumat, berbuka bersama, dan salat Tarawih selama Ramadan. "Gedung ini dibangun pada 1971 atas prakarsa Dirut PN Pertamina Letjen Ibnu Soetowo dan direnovasi oleh beberapa duta besar sejak 1975," jelas Mohamad Harun, kepala perwakilan Pertamina Tokyo, yang menjemput saya di Bandara Narita, Sabtu (20/7).
Saya bertugas di Jepang atas undangan Komunitas Masyarakat Islam Indonesia (KMII) yang bekerja sama dengan KBRI Tokyo dan beberapa BUMN di Negeri Sakura itu. Antara lain, Pertamina, Garuda Indonesia, BNI, Bank Indonesia, Antam (Aneka Tambang), serta Badan Kerja Sama Penanaman Modal. Menurut Pak Harun, seandainya pendahulu kita tidak membeli lahan untuk SRIT saat itu, mungkin sampai hari ini kita tidak punya sentra kegiatan masyarakat Indonesia di Jepang. "Jangankan membeli lahan seluas itu, membeli tanah untuk makam saja kita tidak mampu. Karena itu, orang Indonesia yang meninggal harus dibawa pulang ke tanah air. Begitu pula jenazah muslim Pakistan, India, Bangladesh, Malaysia, dan negara lain," papar Harun. Mantan Ketua Asosiasi Muslim Jepang Khalid M. Higuchi menerangkan, tanah pemakaman sebenarnya tersedia, tapi khusus untuk penduduk muslim Jepang dan berjarak sekitar 100 km dari Tokyo. "Masyarakat Jepang pada umumnya tidak membutuhkan tanah makam karena jenazah langsung dibakar dan abunya dititipkan di kuil-kuil untuk kebahagiaan arwahnya," kata Higuchi.
Sore itu suasana acara buka bersama di SRIT sangat gayeng. Puluhan jamaah, sebagian warga Indonesia dan lainnya muslim Jepang, berbaur dan terlibat dalam diskusi yang mengasyikkan. Sampai tak terasa, jam menunjukkan pukul 18.45 waktu setempat (20.45 WIB), saatnya berbuka puasa. Aneka makanan ringan disajikan untuk takjil. Tak lama kemudian azan dikumandangkan Ustad Jamal, guru agama SRIT. Seperti di negara-negara nonmuslim lainnya, azan di Jepang tidak boleh terdengar dari luar gedung. Cukup terdengar bagi muslim di dalam ruang salat. Dilarang ada suara apa pun yang mengganggu hak asasi ketenangan setiap orang.
Puasa di Tokyo kira-kira tiga jam lebih lama daripada di Indonesia. Subuh pukul 02.45 dan waktu berbuka pukul 19.00. Salat Tarawih dimulai pukul 21.00 sebanyak delapan rakaat dengan dua kali salam dan tiga rakaat salat Witir dengan sekali salam. Ayat Alquran yang dibaca juga tidak panjang-panjang. Setiap usai salam, Mohamad Munir, staf lokal KBRI, membaca salawat dengan suara nyaring seperti yang dilakukan banyak masjid di Indonesia. "Ya untuk istirahat, ya untuk persiapan rakaat berikutnya, juga untuk doa," kata laki-laki 40 tahun dari Bandung itu. Selain Minggu, setiap malam, Tarawih dan ceramah yang diikuti 50"70 muslim Indonesia dan penduduk muslim Jepang yang menikah dengan warga Indonesia disiarkan secara dengar pandang (audiovisual) melalui internet atas inisiatif pelajar-pelajar Indonesia yang sedang berkuliah di Jepang.
Dengan demikian, muslim di Jepang maupun di luar negeri, termasuk di Indonesia, bisa mengaksesnya. Pukul 22.00 semua kegiatan harus diakhiri karena banyak jamaah yang datang dari jauh. Selain itu, mereka harus menyiapkan makan sahur pukul 02.00. Di antara jamaah Tarawih itu, ada anak muda bersarung dan berpeci bulat yang selalu berada di barisan salat terdepan. "Kenalkan, nama saya Kurdi, Pak, dari Sampang (Madura), menikahi perempuan Jepang ketika kerja di Bali dan akhirnya bermukim di sini," katanya sambil menjabat tangan saya. Dia tinggal di Yokohama, kira-kira 40 km dari Tokyo. "Jika tidak kemari (Tokyo), saya bisa tidak Tarawih sama sekali. Kan Tarawih hanya ada di sini (SRIT)," ujar Kurdi. Yang dimaksud Kurdi, Tarawih yang ala Indonesia hanya ada di SRIT. Memang ada juga masjid yang menggelar salat Tarawih cara Arab Saudi dan Turki. Tapi, dia lebih sreg bila berada di tengah komunitas muslim Indonesia.
Kurdi malam itu mengendarai motor gede (moge) Yamaha 1.500 cc putih. Saya sempat terheran-heran melihatnya. Dengan santainya dia mengendarai moge tersebut bersarung, berbaju koko, dan tanpa jaket. Kendaraan-kendaraan mewah berjejer di halaman parkir SRIT. Saya lihat ada Mercy, Alphard, BMW, Honda Elegant, dan sejenisnya. Hanya satu-dua sepeda motor, salah satunya milik Kurdi. Yang banyak justru sepeda pancal. Warga Indonesia di Jepang sudah terbiasa bersepeda angin sebagaimana warga setempat. Mereka tidak malu memarkir sepeda di sebelah mobil-mobil mewah dan tak malas bersepeda karena diyakini menyehatkan dan hemat. Mereka yang bersepeda ini datang dari daerah sekitar radius 3"5 km dari SRIT. Dengan bersepeda pancal, orang Jepang memang tampak lebih sehat dan kuat. Terus terang, saya iri dengan mereka yang memiliki usia harapan hidup rata-rata berkisar 80"85 tahun. Di mana-mana saya jumpai orang berusia 90"100 tahun dengan fisik yang masih kuat dan gesit. Ebara, sopir yang mengantar saya ke mana-mana selama bertugas di Tokyo, luar biasa kuat fisiknya. Padahal, usianya sudah 67 tahun.
Berdasar statistik, muslim terbanyak di Jepang berasal dari Indonesia. Bisa jadi ini disebabkan semakin banyaknya pelajar dan tenaga kerja dari Indonesia yang mengais rezeki di negara itu. Saat ini jumlah tenaga kerja Indonesia mencapai 100.000 orang, sedangkan pelajar 5.000 orang. Tak heran bila setiap Tarawih selalu terdengar suara tangis anak-anak Indonesia di sana-sini. Ada juga balita yang berlari di depan jamaah. Sekalipun demikian, saya tidak pernah mendengar ada jamaah yang mengingatkan kegaduhan anak itu atau meminta para ibu mengendalikan anak-anaknya. Para jamaah sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu. "Anak-anak itu diajak Tarawih karena orang tuanya sangat berkeinginan beribadah dan bertemu dengan sesama warga Indonesia. Juga karena tidak ada yang jaga anak di rumah," kata Lisza, istri mahasiswa Indonesia dari ITS Surabaya.
Hari Kedua Buka bersama yang dilanjutkan salat Tarawih di SRIT pada Minggu (21/7) sangat ramai diikuti jamaah. Setidaknya ada 200 umat muslim. Maka, ruangan seluas 10 x 15 meter itu pun terasa padat. Seperti pada hari pertama, suasana semarak. Selain beramah-tamah, jamaah antusias menikmati menu buka puasa yang khas Indonesia. Di antaranya, ada kolak kentang dan nangka, es campur, telur bali, mi jawa, dan tahu jepang goreng dengan isi wortel rasa pedas. "Seperti di Blauran, Surabaya, bukan di Tokyo," kata saya kepada Pak Effendi Azis, warga Rungkut yang mendampingi perjalanan saya dari Surabaya. Pak Soesilo, guru silat dan olahraga SRIT yang asli Surabaya dan sudah puluhan tahun tinggal di Tokyo, hanya menganggukkan kepala sambil menikmati hidangan yang tersedia. Satu meja disediakan khusus untuk pengurus KMII, pejabat dari KBRI, kepala BUMN, tokoh muslim Jepang, dan penceramah dari Indonesia.
Di meja itu ada tokoh gaek (80 tahun) yang menjadi pusat perhatian jamaah. Dia adalah Khalid M. Higuchi, mantan presiden Asosiasi Muslim Jepang. Masyarakat Indonesia sangat senang melihat Higuchi berbaur dan menikmati makanan Indonesia. Apalagi, di depannya hadir pula Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin yang menyilakan tamu istimewanya untuk menyantap hidangan, "Brother, please have Indonesian food." Sekalipun mengalami gangguan pendengaran, Higuchi tampak antusias mengikuti acara demi acara. Mulai pembacaan ayat suci Alquran oleh pelajar Indonesia hingga ceramah saya yang bertema "Salat, Sarana Kebahagiaan Masyarakat Modern". Saya lihat Prof Din sesekali membisikkan terjemahan ceramah saya ke dalam bahasa Inggris ke telinga Higuchi.
Pertanyaan paling banyak ditujukan kepada Prof Din setelah menyampaikan ceramah. Ada dua pertanyaan auidens yang menarik. "Mengapa negara modern yang tidak memberikan pelajaran agama di sekolah justru berperilaku lebih islami daripada kita bangsa Indonesia dengan kurikulum pelajaran agama di semua jenjang sekolah?" kata Soepardo, kepala SRIT. Pertanyaan kedua lebih tajam. "Apakah tokoh Islam dengan predikat ustad atau kiai masih berhak mendapatkan panggilan itu setelah keluar dari penjara karena kasus korupsi?" Pertanyaan pedas tersebut bisa dimaklumi karena banyak pelajar Indonesia, yang menempuh studi S-2 atau S-3 di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Jepang, yang hadir pada acara buka puasa itu. Mereka sekarang berjumlah lebih kurang 5.000 orang.