Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Masyarakat menjerit karena takut biaya kebutuhan pokok akan ikut merangkak naik. Di sejumlah pasar, harga-harga sudah naik 10-25 persen.
BBM memang salah satu kebutuhan vital. Bukan hanya bagi rakyat, BBM juga sangat dibutuhkan dalam operasional militer. Karena itu dalam setiap perang, pertempuran memperebutkan sebuah kilang minyak selalu berlangsung heroik.
Ceritanya tahun 1948, Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah kepemimpinan Muso memberontak pada Republik Indonesia dan duet Soekarno-Hatta. Pemberontakan ini juga diikuti oleh batalyon-batalyon TNI dan laskar rakyat yang kecewa dengan kebijakan Wapres sekaligus Menteri Pertahanan Mohammad Hatta. Hatta mengurangi jumlah personel TNI yang dinilai terlalu banyak. Hatta ingin membentuk TNI yang profesional. Apalagi saat itu perekonomian Indonesia morat-marit karena Agresi Militer Belanda I.
Bayangkan saat itu ada satu Batalyon yang hanya punya 30 pucuk senjata, tapi anggotanya ada 300 orang. Atau ada seorang Panglima Laut yang markasnya malah di hutan belantara. Jumlah laskar lebih banyak lagi. Disipilin mereka kurang dan kerap bentrok dengan TNI reguler.
Salah satu pasukan yang ikut memberontak adalah Laskar Minyak di Cepu, Jawa Tengah. Sesuai namanya, mereka bertugas mempertahankan Blok Minyak Cepu dari serangan Belanda. Tapi kemudian mereka menyerang markas TNI di Cepu tanggal 27 September 1948.
Serangan berlangsung dahsyat. TNI terdesak dan meminta bantuan dari Divisi Siliwangi yang sudah menghancurkan kekuatan-kekuatan PKI di Madiun.
Perintah untuk merebut Cepu datang langsung dari Menhan Mohammad Hatta. Kolonel Hidayat dari Markas Angkatan Perang RI terbang naik pesawat Cureng milik AURI ke Maospati Magetan. Hidayat membawa surat untuk Mayor Daeng. Isinya tegas, Batalyon Daeng ditugaskan ke utara merebut Cepu. Kondisi perjuangan sangat membutuhkan BBM dari kilang minyak Cepu.
Jalannya pertempuran ini dikisahkan Letjen (Purn) Himawan Soetanto dalam buku Perintah Presiden Soekarno: Rebut Kembali Madiun, terbitan Pustaka Sinar Harapan. Saat itu Himawan masih berpangkat letnan.
Pertempuran di Cepu berlangsung sengit. Selama delapan hari, Blok Minyak Cepu berganti tangan empat kali! Awalnya TNI berhasil merebut, tapi PKI merebut lagi, begitu berkali-kali. Di siang hari TNI memegang kendali, di malam hari Laskar Minyak yang mengambil alih kendali Cepu.
Tanggal 4 Oktober 1948, Laskar Minyak ditambah 1 Batalyon dari Brigade 6 Soegiarto mengadakan serangan balik. Serangan dahsyat itu berhasil merebut sebagian Kota dan Blok Cepu. Batalyon TNI di bawah Mayor Soedono terdesak.
TNI terbantu Batalyon Daeng yang datang dari Selatan. Mereka memukul balik Laskar Minyak keluar dari Cepu. Sebelum lari, Laskar Minyak membakar kilang minyak dan merusak bangunan-bangunan untuk menghalangi pengejaran.
Pasukan TNI berhasil merebut Cepu dan Kilang Minyak tanggal 8 Oktober. Saat merazia rumah-rumah penduduk di Cepu, mereka terkejut karena hampir setiap rumah ditemukan tanda-tanda bekas digunakan pemberontak PKI.
Pertempuran di Cepu merupakan salah satu yang tersulit. Selanjutnya Batalyon Kemal Idris dan Batalyon Daeng tak mengalami perlawanan berarti saat merebut Blora secara keseluruhan.
Tak lama kemudian, seluruh pemberontakan PKI dipadamkan. Muso tertembak dalam pengejaran.(mdk/ian)
Follow @wisbenbae