-Catatan ARTAWIJAYA-
Tulisan bersambung ini akan mengulas sepak terjang ideologi Pancasila, dan rekam jejaknya dalam memposisikan Islam an kaum Muslimin di negeri ini.
Asas adalah pondasi, pijakan, pokok tempat bertolak, ruh dan nafas dalam aktivitas kehidupan. Bagi kaum Muslimin, Islam adalah asas kehidupan, ruh dan napas perjuangan, pokok pijak dalam melakukan segala tindak dan perbuatan.Islam adalah ad-dien, sistem dan aturan hidup, yang mengatur kaum Muslimin, dari bangun tidur sampai terlelap kembali.
Islam mengatur umatnya dalam berorganisasi, berpolitik, bermuamalah, dan sebagainya. Karenanya, jika asas yang pokok ini menggunakan aturan lain selain Islam, apalagi “ideologi buatan manusia”, lantas bagaimana dengan keyakinan kita, bahwa Islam adalah sistem hidup yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (paripurna)?
Mari bercermin pada sejarah, mengambil i’tibar dari peristiwa masa lalu, dimana umat Islam diposisikan sebagai lawan oleh penguasa dan Pancasila menjadi alat penindas yang begitu ganas…
Rezim Orde Baru yang mulai mengkhawatirkan bangkitnya kekuatan Islam pasca keberhasilan TNI dan umat Islam memberangus gerakan Komunis, mulai melakukan langkah-langkah ‘pengamanan’ dengan memberlakukan penafsiran mutlak atas Pancasila.
Setiap gerakan yang dianggap berseberangan dengan tafsir tunggal pemerintah terhadap Pancasila, diposisikan sebagai lawan. Istilah “ekstrem kanan” (Eka) dilekatkan kepada gerakan Islam yang ingin membangun kembali cita-cita politik Islam yang menginginkan tegaknya syariat Islam di Indonesia.Sementara cap “ekstrem kiri” (Eki) dilekatkan kepada setiap gerakan yang mengarah kepada upaya membangkitkan kekuatan komunis di Indonesia.
Pada masa itu, rakyat ditabukan untuk bicara politik, terutama terkait dengan keberadaan Pancasila yang dianggap ‘keramat’ dan menjadi ideologi tunggal yang dipaksakan kepada partai politik dan organisasi masyarakat.
Pancasila oleh penguasa saat itu diletakkan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada. Dijadikan pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara dari segala pedoman yang ada. Dan, benar-benar menjadi belenggu tirani yang memberangus aspirasi politik rakyat yang dianggap berseberangan dengan penguasa.
Soekarno-Soeharto, dari Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila
Akibat dari itu semua, hubungan umat Islam dengan pemerintah berlangsung panas. Bagi umat Islam, inilah kali kedua Pancasila ditafsirkan secara tunggal oleh penguasa. Soekarno menafsirkan Pancasila, maka muncul istilah “Demokrasi Terpimpin” dan “Nasakom”.
Soeharto menafsirkan Pancasila, maka timbul sebutan “Demokrasi Pancasila”, yang ironisnya jauh dari nilai-nilai demokratis dan jauh dari nilai-nilai yang terkandung di sila-sila lain dalamPancasila. Bahkan yang terjadi adalah pengekangan terhadap asas-asas lain di luar Pancasila.
Hal ini makin membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi yang bisa dimasuki oleh kepentingan apa saja, terutama bagi mereka yang berkuasa. Ini disebabkan, seperti kata tokoh NU KH Masjkur dalam Sidang Konstituante, Pancasila adalah formula kosong, dan perwujudannya tergantung siapa yang mengisinya. “Kalau diisi oleh orang atau golongan yang mempertuhankan pohon, Ketuhanan dalam Pancasila itu akan berupa pohon,” ujar KH Masjkur saat itu.
Sebelum Pancasila dibicarakan sebagai asas tunggal, rezim Soeharto sudah memasukkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Persidangan terkait P4 ini berjalan sangat alot, bahkan fraksi PPP yang saat itu menolak keras P4 dimasukkan dalam GBHN kemudian melakukan aksi walk out.PPP menyatakan tidak bertanggungjawab terhadap hal itu.
Bagi umat Islam, dengan dijadikannya Pancasila sebagai pedoman, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan, apalagi dimasukkan dalam GBHN, adalah ketetapan yang berbau syirik dan melecehkan akidah umat Islam. Apalagi selanjutnya Pancasila dipaksakan sebagai ideologi yang mengatur moral masyarakat, dan dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah, yang terkenal dengan sebutan Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Umat Islam saat itu melihat kebijakan pemerintah untuk menjadikan standar ukuran moral bangsa ini dengan berpedoman pada Pancasila, ideologi buatan manusia yang kebenarannya sangat relatif dibandingkan moral dalam ukuran agama, adalah tindakan yang melecehkan ajaran Islam.
Karena itu, tokoh Islam seperti M. Natsir menolak keras upaya menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya sumber ajaran moral bangsa ini. Apalagi setelah itu banyak muncul aliran kebatinan yang mengatasnamakan Penghayat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan, penghayat kepercayaan yang tadinya diposisikan sebagai bukan agama, melainkan kebudayaan, ternyata diberi peluang untuk mengadakan perkawinan sendiri.
Kolom “agama kepercayaan” pun muncul dalam formulir-formulir birokrasi.Para ulama dan tokoh masyarakat Islam yang tidak setuju dengan keberdaan buku PMP kemudian mendatangi DPR pada 23 Agustus 1982. Mereka menyampaikan petisi kepada pimpinan DPR/MPR untuk meninjau secara “menyeluruh dan mendasar” buku pedoman moral tersebut.
“Buku PMP ini jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran ‘kewarganegaraan’ (civic). Namakanlah ‘Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila”.Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah ‘moral’ mempunyai konotasi lain bagi umat beragama samawi. Kosongkan sama sekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama mana pun. Jangan diteruskan menanamkan ajaran aliran kebatinan dan sinkretisme kepada anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama ‘moral Pancasila’. Soal agama adalah soal sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing,” demikian intisari dari petisi tersebut seperti ditulis Natsir dalam Majalah Panji Masyarakat No. 375 Tahun 1982.
Dalam buku PMP yang kontroversial itu, setidaknya ada beberapa kalimat yang menyesatkan akidah umat Islam, sebelum akhirnya dikoreksi oleh pemerintah.Seperti dalam halaman 14 buku tersebut ditulis bahwa “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya.” Setelah dikoreksi, kalimat tersebut berbunyi,”semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya, menurut agama masing-masing.”
Koreksi ini, kata Natsir, bukan memperjelas, tapi membingungkan. “Mana pula ada satu agama yang tidak menganggap dirinya sendiri suci dan benar? Apakah dianggap perlu benar, PMP mengajarkan kepada anak keturunan kita yang sedang tumbuh itu umpamanya, kertas putih ini warnanya putih!?” tulis Natsir
Kemudian dalam buku PMP untuk tingkat SD hal 13, dikatakan bila kita melayat jenazah yang berbeda agama, “sebagai makhluk beragama ‘wajib’ berdoa semoga yang meninggal diampuni dan diterima Tuhan Yang Maha Esa”.
Setelah dikoreksi, kata “wajib” diganti menjadi “sebaiknya”, kata yang mempunyai makna dalam istilah fiqih sebagai “sunnah”, yaitu berpahala jika dilakukan, dan tak apa jika ditinggalkan. “Padahal menurut syariat Islam mendoakan jenazah yang berbeda agama itu hukumnya ‘haram’, yatu ‘terlarang’, berdosa bila dilakukan,”tegas Natsir dalam artikel berjudul “Tolong Dengarkan Suara Kami” tertanggal 1 Oktober 1982.
Sebelumnya Daud Yusuf di harian Suara Karya, 10 Juli 1982, juga mengatakan,”meniadakan PMP berarti meniadakan Pancasila.” (bersambung)
[www.globalmuslim.web.id]
Follow @wisbenbae