Cuaca hari Selasa pagi kemarin lumayan cerah, matahari bersinar dengan bersahabat menyambut sekitar puluhan anak SDN Srengseng Sawah 15 Pagi di Jalan Gardu RT 11/ RW 02, Kampung Bambon, Jagakarsa, Jakarta Selatan untuk beranjak masuk ke sekolah mereka. Namun, perjuangan sebagian dari mereka yang tinggal di seberang Kali Ciliwung, tepatnya di Jalan H Hasan, Pasir Gunung Selatan, Cimanggis, Depok tidaklah demikian ringan.
Boleh dibilang perjuangan mereka menimba ilmu, penuh dengan tantangan. Langkah kaki kecil mereka harus dipertaruhkan di atas jembatan yang terbuat dari balutan bambu beralaskan lempengan drum berkarat bekas pengelolahan aspal dicampur dengan batang pohon kapuk yang kini sudah sangat rapuh.
Suka tidak suka, terima tidak terima, itulah yang harus mereka telan setiap hari baik pulang maupun berangkat menuju ke sekolah.
"Nggak takut, karena sudah biasa dari kelas satu lewat sini," ujar Indah (10) siswa kelas V SD Negeri Srengseng Sawah 15 Pagi saat ditemui di jembatan gantung Kampung Bambon, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (4/12).
Kebetulan saat bertemu Indah, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 07.00 WIB. Indah dan ketiga temannya yang tinggal tepat di seberang Kali ciliwung tepatnya di Jalan H Hasan mulai beranjak melangkah menyeberangi kali dengan melintasi jembatan gantung. Bagi yang tidak terbiasa melintasi jembatan itu, mungkin akan takut tercebur kedalam derasnya aliran Kali Ciliwung, karena saat melintas membutuhkan keseimbangan tubuh.
Namun tidak bagi Indah dan temannya, karena sudah terbiasa, Indah tidak mempunyai rasa takut melintasi jembatan gantung yang kini sudah reot diterpa usia dan cuaca panas serta hujan. Indah memilih lewat jembatan itu, lantaran jika harus melintasi jalur darat memakan waktu yang lama dan lumayan jauh. Bahkan jika ditaksir dengan menggunakan angkutan ojek, biaya yang harus dikocek lumayan besar sekitar Rp 20 ribu.
"Nggak ah, habisnya jauh kalau tidak lewat jembatan," kata Indah.
Tidak berbeda dengan Indah, Sakti (11) siswa kelas VI SD Negeri Srengseng Sawah 15 Pagi mengatakan, dia sudah terbiasa melintasi jembatan gantung tersebut sejak dirinya duduk dibangku kelas I SD. Bahkan lantaran sudah terbiasa, rasa takut untuk melintasi jembatan gantung itu pun hilang.
"Nggak takut, walaupun jembatannya begini karena kan udah biasa," ucap Sakti.
Kendati demikian, Sakti mempunyai harapan tersendiri terhadap jembatan yang sudah menjadi moda transportasinya kesekolah. Dia berharap, agar jembatan gantung yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan itu segera bisa dirapikan.
"Ya, mudah-mudahan dibetulin deh," pinta Sakti.
Marhusin alias Husin (45) warga asli Jakarta yang kebetulan penggagas keberadaan jembatan gantung itu menceritakan, ide awal pembangunan jembatan itu tercetus pada tahun 1982. Saat itu, sebelum ada jembatan gantung, moda transfortasi masyarakat untuk menyeberang dari Pasir Gunung Selatan, Depok menuju Jalan Gardu, Jagakarsa, Jakarta Selatan harus menggunakan perahu eretan.
Namun lantaran debit Kali Ciliwung sering naik dan banyaknya anak yang sekolah di Jagakarsa ide membuat jembatan gantung pun tercetus.
"Awalnya dulu ini bukan jembatan, tapi eretan rakit. Karena banyak anak sekolah di sini, akhirnya bikin jembatan. Dulu kan kalau air kali naik sedikit aja rakit nggak bisa lewat, kasihan anak-anak sekolah pada muter jauh. Akhirnya saya bikin jembatan ajalah," papar Husin menceritakan
Berbekal keterampilan dan modal pribadi yang lumayan besar saat itu, Husin membeli besi bekas di bilangan Tanjung Priuk, Jakarta Utara untuk digunakan sebagai penopang bambu yang digunakan sekitar 600 batang. Dalam waktu tiga bulan pengerjaan jembatan itu, akhirnya Husin berhasil membuat jembatan gantung yang usianya sudah 30 tahun sampai saat ini.
"Saya bikin jembatan ini tahun 1982. Saya yang bikin sendiri, selama tiga bulan saya kerjain, baru jadi. Nggak mau saya dibantuin orang satu pun karena takut nggak terjamin kualitasnya," ujarnya.
Dijelaskan Husin, ketika jembatan itu baru dioperasikan, untuk warga dan juga anak sekolah di patok untuk membayar Rp 500 rupiah untuk melintasi jembatan tersebut. Namun setalah dimakan oleh waktu, akhirnya Husin mengikhlaskan jembatan karya dirinya yang bertahan hingga saat ini.
"Jadi, pentingnya memang buat anak sekolah, karena dari dulu banyak banget anak-anak sini yang sekolahnya di seberang," lanjut Husin.
Terakhir jembatan gantung karyanya itu direnovasi pada tahun 2002 silam. Saat itu ketinggian air di Kali Ciliwung hingga menutupi jembatan yang mengakibatkan bambu jembatan tersebut rusak berat. Namun demikian dari 13 jembatan gantung di sekitaran Kali Ciliwung, dikatakan Husen yang masih bertahan hingga saat ini hanya karya miliknya itu yang sampai saat ini masih bertahan tergerus zaman.
"Dari 13 jembatan di sepanjang Kali Ciliwung ini, cuma jembatan ini yang nggak putus. Sekarang jembatan kayak gini tinggal dua," paparnya.
Perjuangan para pelajar ini hampir sama di film Indiana Jones and The Temple of Doom. Jembatan gantung ala Indiana Jones juga pernah ada di Desa Sangiang Tanjung dan Desa Pasir Tanjung, Lebak Banten. Jembatan itu pernah disorot dunia. Jembatan di Lebak Banten kini sudah diperbaiki.