Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau yang secara resmi akan dibuka Presiden RI Selasa (11/9) nanti, merupakan PON ketiga di luar Jawa setelah Sumsel (2004) dan Kaltim (2008). Namun dibanding pelaksanaan di luar Jawa sebelumnya, persiapan Riau yang terburuk.
Kamis sore (6/9), berita seluruh jaringan televisi nasional dan lokal serta radio didominasi oleh informasi robohnya canopy venues cabang olahraga (cabor) tenis PON Riau. Berita robohnya canopy berukuran raksasa lebih dari 40 x 20 meter itu semakin menambah carut marut pelaksanaan PON.
Kondisi itu sudah bahkan disadari oleh Kontingen Sumsel. Terbukti, dalam pesannya saat pelepasan atlet, gubernur Sumsel memberi pesan agar atlet ’Sumsel Gemilang’ tidak menjadikan minimnya fasilitas di Pekanbaru sebagai hambatan. Tetapi justru dijadikan motivasi untuk berprestasi.
Meski sudah siap mental dengan fasilitas minim, ternyata kondisi di lapangan jauh lebih parah dari yang digambarkan. Akibatnya, rombongan atlet wushu dengan kekuatan tujuh orang terpaksa meninggalkan wisma atlet dan pindah ke Hotel Grand Zurri. Sementara 17 atlet dan pelatih anggar terpaksa meninggalkan Rusunawa di Kompleks Lancang Kuning dan pindah ke Hotel Angkasa. Mereka mpindah karena wisma atlet dan rusunawa tak layak huni.
Berdasarkan Pantauan , didapati kenyataan yang mengenaskan. Memang kedua tempat tersebut sangat tidak layak untuk dihuni. Setidaknya Jumat (7/9) malam lalu. Di wisma atlet, sebenarnya kontruksi bangunan dan penataan ruangan cukup layak untuk penginapan atlet. Bangunan yang dibuat kembar dan letaknya berdampingan dengan masing-masing empat lantai itu tampak megah. Hanya karena pengerjaan yang belum selesai maka wisma atlet terpaksa ditinggalkan. Malam itu tak hanya kontingen Sumsel yang angkat koper, tapi dari petugas wisma juga ada lima kontingen yang juga angkat koper.
Jumat malam sekitar pukul 22.15 WIB, nyaris belum ada kamar yang sudah ‘sempurna’. Kalau pun ada kamar yang dikatakan panitia siap pakai, maka kondisinmya masih kotor berdebu dan bau pengap serta bau bahan kimia (cat?) yang bisa membuat pusing bagi nyang tidak tahan.
Di kamar memang sudah disediakan sebuah bed (tempat tidur) besar lengkap dengan lemari, meja dan kursi. Namun keadaannya juga masih kotor dan jauh dari kata ‘siap huni’. Bahkan bagi yang mau menginap harus berprofesi dulu sebagai housekeeping. Membersihkan kamar mulai dari menyapu, mengepel, membersihkan (bukan hanya merapikan) tempat tidur hingga membersihkan sarang laba-laba yang menghiasi ruangan.
Sementara di luar, teras wisma bertumpuk puluhan bed yang masih terbungkus plastik. Sedangkan puluhan pekerja tampak sibuk. Ada yang membersihkan kaca, ada yang memasang pintu, ada yang membersihkan lantai. Sementara beberapa orang tampak duduk-duiduk mengawasi pekerja. Debu tampak memenuhi ruangan depan yang sedang dikerjakan.
Jika kondisi di wisma atlet menjadi tak layak huni karena pengerjaan belum selesai, di rusunama kondisinya lebih parah. Rusunawa memang tak layak huni untuk atlet kalas nasional. Rusunawa yang terdiri dari 100 kamar (empat lantai, 20 kamar di masing-masing lantai), fasilitasnya sangat minim. Yang paling mencolok adalah fasilitas kamar mandi.
Kamar mandi memang jumlahnya ‘memadai’. Yakni 24 di masing-masing lantai yang terletak di kedua ujung bangunan. Namun kenyataannya bukan kamar mandi. Yang disebut kamar mandi, luasnya kira-kira hanya 1 x 1,2 meter. Fasilitas di dalamnya hanya sebuah kran yang menempel di dinding setinggi lutut, closet jongkok, sebuah ember dan gayung. Tidak ada sama sekali fasilitas lainnya. Jangankan shower, gantungan handuk dan tempat sabun saja tidak ada.
Fasilitas lainnya ? Tak kalah mengenaskan! Di dalam kamar seluas 3 x 4 meter untuk 2 orang memang sudah dilengkapi dua bed ukuran 80 x 180 cm2, dua lemari, satu meja serta dua kursi. Namun kondisinya benar-benar belum layak huni.
Sarang laba-laba menghiasi hampir semua kamar. Lantai dan kaca berdebu. Juga lemari, meja, serta bed. Sangat kotor di tangan ketika diraba atau diusap. Belum lagi pintunya yang tidak dilengkapi kunci pengaman. Bahkan grendel pun tidak ada.
Penerangan ? Hanya ada satu bola lampu di tengah langit-langit kamar. Bukan lampu neon panjang. Mungkin hanya 25 atau maksimal 40 watt. Ketika Palembang Pos mencoba membaca koran, tulisan tak bisa jelas karena penerangan tidak cukup.
Pemandangan yang juga mengenaskan di ruang makan. Ruangan yang disediakan dari rumah tenda (seperti fasilitas ruang pameran Sriwijaya Ekspo di BKB beberapa tahun lalu), dalam kondisi gelap. Hanya ada kursi tanpa meja. Atlet dan pelatih terpaksa makan dengan penerangan lilin. Memang tidak semua fasilitas PON Riau kondisinya buruk. Namun kedua penginapan tersebut menggambarkan bagaimana Riau mempersiapkan PON kali ini. (**)
Kamis sore (6/9), berita seluruh jaringan televisi nasional dan lokal serta radio didominasi oleh informasi robohnya canopy venues cabang olahraga (cabor) tenis PON Riau. Berita robohnya canopy berukuran raksasa lebih dari 40 x 20 meter itu semakin menambah carut marut pelaksanaan PON.
Kondisi itu sudah bahkan disadari oleh Kontingen Sumsel. Terbukti, dalam pesannya saat pelepasan atlet, gubernur Sumsel memberi pesan agar atlet ’Sumsel Gemilang’ tidak menjadikan minimnya fasilitas di Pekanbaru sebagai hambatan. Tetapi justru dijadikan motivasi untuk berprestasi.
Meski sudah siap mental dengan fasilitas minim, ternyata kondisi di lapangan jauh lebih parah dari yang digambarkan. Akibatnya, rombongan atlet wushu dengan kekuatan tujuh orang terpaksa meninggalkan wisma atlet dan pindah ke Hotel Grand Zurri. Sementara 17 atlet dan pelatih anggar terpaksa meninggalkan Rusunawa di Kompleks Lancang Kuning dan pindah ke Hotel Angkasa. Mereka mpindah karena wisma atlet dan rusunawa tak layak huni.
Berdasarkan Pantauan , didapati kenyataan yang mengenaskan. Memang kedua tempat tersebut sangat tidak layak untuk dihuni. Setidaknya Jumat (7/9) malam lalu. Di wisma atlet, sebenarnya kontruksi bangunan dan penataan ruangan cukup layak untuk penginapan atlet. Bangunan yang dibuat kembar dan letaknya berdampingan dengan masing-masing empat lantai itu tampak megah. Hanya karena pengerjaan yang belum selesai maka wisma atlet terpaksa ditinggalkan. Malam itu tak hanya kontingen Sumsel yang angkat koper, tapi dari petugas wisma juga ada lima kontingen yang juga angkat koper.
Jumat malam sekitar pukul 22.15 WIB, nyaris belum ada kamar yang sudah ‘sempurna’. Kalau pun ada kamar yang dikatakan panitia siap pakai, maka kondisinmya masih kotor berdebu dan bau pengap serta bau bahan kimia (cat?) yang bisa membuat pusing bagi nyang tidak tahan.
Di kamar memang sudah disediakan sebuah bed (tempat tidur) besar lengkap dengan lemari, meja dan kursi. Namun keadaannya juga masih kotor dan jauh dari kata ‘siap huni’. Bahkan bagi yang mau menginap harus berprofesi dulu sebagai housekeeping. Membersihkan kamar mulai dari menyapu, mengepel, membersihkan (bukan hanya merapikan) tempat tidur hingga membersihkan sarang laba-laba yang menghiasi ruangan.
Sementara di luar, teras wisma bertumpuk puluhan bed yang masih terbungkus plastik. Sedangkan puluhan pekerja tampak sibuk. Ada yang membersihkan kaca, ada yang memasang pintu, ada yang membersihkan lantai. Sementara beberapa orang tampak duduk-duiduk mengawasi pekerja. Debu tampak memenuhi ruangan depan yang sedang dikerjakan.
Jika kondisi di wisma atlet menjadi tak layak huni karena pengerjaan belum selesai, di rusunama kondisinya lebih parah. Rusunawa memang tak layak huni untuk atlet kalas nasional. Rusunawa yang terdiri dari 100 kamar (empat lantai, 20 kamar di masing-masing lantai), fasilitasnya sangat minim. Yang paling mencolok adalah fasilitas kamar mandi.
Kamar mandi memang jumlahnya ‘memadai’. Yakni 24 di masing-masing lantai yang terletak di kedua ujung bangunan. Namun kenyataannya bukan kamar mandi. Yang disebut kamar mandi, luasnya kira-kira hanya 1 x 1,2 meter. Fasilitas di dalamnya hanya sebuah kran yang menempel di dinding setinggi lutut, closet jongkok, sebuah ember dan gayung. Tidak ada sama sekali fasilitas lainnya. Jangankan shower, gantungan handuk dan tempat sabun saja tidak ada.
Fasilitas lainnya ? Tak kalah mengenaskan! Di dalam kamar seluas 3 x 4 meter untuk 2 orang memang sudah dilengkapi dua bed ukuran 80 x 180 cm2, dua lemari, satu meja serta dua kursi. Namun kondisinya benar-benar belum layak huni.
Sarang laba-laba menghiasi hampir semua kamar. Lantai dan kaca berdebu. Juga lemari, meja, serta bed. Sangat kotor di tangan ketika diraba atau diusap. Belum lagi pintunya yang tidak dilengkapi kunci pengaman. Bahkan grendel pun tidak ada.
Penerangan ? Hanya ada satu bola lampu di tengah langit-langit kamar. Bukan lampu neon panjang. Mungkin hanya 25 atau maksimal 40 watt. Ketika Palembang Pos mencoba membaca koran, tulisan tak bisa jelas karena penerangan tidak cukup.
Sementara kondisi bangunan secara umum, masih amburadul. Bahan bangunan berserakan di mana-mana. Mulai depan rusunawa, jalan masuk hingga di depan kamar. Ditambah air menggenang di sana sini. Air kotor bercampur lumpur. Sungguh pemandangan yang membuat siapa saja yang akan tinggal emosi berat. Wartawan saja membayangkan ikut emosi.
Pemandangan yang juga mengenaskan di ruang makan. Ruangan yang disediakan dari rumah tenda (seperti fasilitas ruang pameran Sriwijaya Ekspo di BKB beberapa tahun lalu), dalam kondisi gelap. Hanya ada kursi tanpa meja. Atlet dan pelatih terpaksa makan dengan penerangan lilin. Memang tidak semua fasilitas PON Riau kondisinya buruk. Namun kedua penginapan tersebut menggambarkan bagaimana Riau mempersiapkan PON kali ini. (**)
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !