GuidePedia

CATATAN empirik Indonesia merdeka pasca Perang Kemerdekaan 1945-1949, menunjukkan betapa sejumlah duri yang tumbuh dan bersemayam dalam daging di tubuh bangsa ini, tak kunjung berhasil dibersihkan. Maka, tubuh bangsa ini senantiasa didera kesakitan dan demam sepanjang waktu. Duri terbanyak adalah perilaku korupsi yang tak terlepas dan bahkan berakar kuat pada kekeliruan memahami dan menjalankan kekuasaan negara. Duri korupsi itu, dicabut satu, tumbuh sepuluh. Dicabut sepuluh tumbuh seratus. Dan karena tak pernah berhasil dicabut seratus, duri-duri itu dengan 'bebas' bertumbuh menjadi seribu. Tapi angka-angka ini bukan sebuah statistik, melainkan sebuah metafora, untuk menunjukkan bahwa langkah pemberantasan korupsi selalu kalah oleh laju pertumbuhan tindakan korupsi. Karena, sementara pemberantasan korupsi berjalan dalam pola deret hitung dengan bilangan penambah yang kecil, dalam waktu yang sama perilaku korupsi justru berganda dalam pola deret ukur.

[KARIKATUR IRONI PEMBERANTASAN KORUPSI OLEH TPK TAHUN 1968. 
"Pendongkrakan harga itu terlalu fantastis dan berani. Keberanian, khususnya keberanian melanggar hukum, biasanya muncul, bila sesuatu perbuatan dilakukan bersama-sama. Terlihat, dalam kasus-kasus seperti tersebut di atas selalu terselip, sesuatu yang seolah-olah adalah 'operasi penyelamatan para jenderal'. Kalau ada yang perlu dikorbankan, cukup perwira menengah atau perwira pertama saja". Karikatur Harjadi S, 1968.]

Selain bertumbuh secara kuantitatif, ditandai merasuknya korupsi ke dalam berbagai bagian dari tubuh bangsa ini, bukan hanya di kalangan kekuasaan tetapi juga merasuk dalam berbagai bentuk ke tengah masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan, korupsi juga mengalami pertumbuhan kualitatif. Korupsi lama kelamaan menjadi suatu bentuk kekuasaan tersendiri, bukan kekuatan biasa yang sekedar mampu melawan, melainkan juga menjadi kekuatan yang dianalisa sanggup melakukan serangan balik. Benturan keras yang dialami KPK hari-hari ini dalam penanganan kasus korupsi dalam pengadaan alat simulasi ujian SIM Korlantas (Korps Lalu Lintas) Mabes Polri, tampaknya perlu diamati dalam kacamata analisa tersebut di atas. Begitu pula, kasus yang menimpa Ketua KPK periode lalu, Antasari Azhar, yang diadili dengan tuduhan keterlibatan pembunuhan saat KPK sedang giat menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kalangan kekuasaan, perlu dicermati kembali untuk menemukan apakah di sini sedang terjadi semacam serangan balik kekuatan korup.

Kasat mata, selama ini memang terlihat pemberantasan korupsi berjalan tertatih-tatih. Penanganan politisi sipil –di lembaga-lembaga legislatif maupun eksekutif– yang terlibat suap dan korupsi menghadapi tingkat kesulitan yang cukup tinggi, karena kuatnya pembelaan-pembelaan subjektif dari kalangan partai politik masing-masing. Tak kalah tinggi, untuk tak menyebutnya paling tinggi tingkat kesulitannya, adalah bila yang terlibat suap dan korupsi itu adalah para perwira militer atau kepolisian, khususnya para jenderal in position. Bahkan di masa lampau, dengan hanya sedikit pengecualian karena hal-hal khusus, para jenderal militer maupun kepolisian menjadi golongan yang tak mungkin tersentuh oleh hukum. Mereka ada di atas hukum, terutama bila mereka berada dalam pusat kekuasaan. Ada semacam salah sangka, bahwa itu adalah akibat bekerjanya kesetiaan korps. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa korupsi uang negara kala itu dilakukan bersama-sama –sekaligus, dinikmati ramai-ramai– secara terstruktur di balik mekanisme dana non budgetair. Itulah dasar 'solidaritas' utamanya.

Hingga kini, sebelum kehadiran KPK, tak kurang dari delapan pelembagaan –semacam TPK, Komisi-4 dan Opstib– telah dibentuk oleh pemerintahan negara untuk memberantas korupsi. Meski KPK sudah ada pun, Presiden SBY masih merasa perlu mengeluarkan Kepres No. 11 tahun 2005 pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) beranggotakan 45 orang. Sementara di internal Kejaksaan Agung dibentuk Tim Pemburu Koruptor diketuai Wakil Jaksa Agung (waktu itu) Basrief Arief, untuk memburu koruptor Indonesia di lima negara. Belum terhitung gerakan-gerakan insiatif generasi muda seperti 'Mahasiswa Menggugat' dari Bandung dan KAK (Komite Anti Korupsi) di Jakarta, tahun 1970. Semua gagal, tidak cukup berhasil atau terbentur oleh unsur-unsur tertentu di kalangan kekuasaan sendiri. Tinggal KPK yang perjalanan selanjutnya masih tanda tanya, di antara harapan terakhir dan aroma skeptis.

Bukan insiden biasa. Ketika sebuah tim dari KPK Senin 30 Juli yang lalu mengadakan penggeledahan mencari barang bukti di Mabes Korlantas Polri dalam kaitan korupsi pengadaan simulator uji SIM, terjadi sebuah insiden. Penggeledahan yang berlangsung sejak pukul 16.00 tiba-tiba dihentikan oleh sejumlah perwira menengah Polri yang datang pada pukul 22.00. Kabareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Sutarman yang datang kemudian, juga memperkuat perintah penghentian penggeledahan tersebut. Perundingan tengah malam antara tiga pimpinan KPK –Abraham Samad, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto– dengan Komjen Sutarman, hanya menghasilkan kesepakatan yang diambil melalui suatu dialog yang alot bahwa penggeledahan bisa dilanjutkan kembali 03.30 Selasa 31 Juli. Tetapi, barang bukti yang disita tak boleh dibawa keluar, dan hanya dikumpulkan di sebuah ruangan Mabes Korlantas. Komjen Sutarman bersikeras bahwa barang bukti itu juga dibutuhkan Polri karena kasus itu juga sedang mereka tangani. Baru beberapa jam kemudian, keesokan harinya barang bukti bisa dibawa ke KPK, yakni setelah pimpinan KPK bertemu Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo.

Kasus korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara sekitar 100 milyar rupiah tersebut –hasil penggelembungan harga dalam tender menjadi sekitar 180 milyar rupiah untuk barang senilai tak sampai 80 milyar rupiah itu– kini seolah-olah diperebutkan penanganannya oleh Mabes Polri dan KPK. Kabareskrim berdalih bahwa Polri telah lebih duluan menangani. Tetapi sepanjang yang bisa diketahui hingga terjadinya insiden, pihak Polri belum menetapkan tersangka dengan alasan belum menemukan unsur pidana dalam kasus yang dianggap lebih bersifat perdata karena wanprestasi salah satu sub-kontraktor. Nanti setelah KPK menetapkan Irjenpol Djoko Susilo –mantan Kepala Korlantas, yang kini menjabat Gubernur Akpol– sebagai tersangka bersama Wakil Kepala Korlantas Brigjen Polisi Didik Purnomo, barulah juga Bareskrim menetapkan Brigjen Polisi Didik Purnomo sebagai tersangka bersama perwira pelaksana tender. Minus Irjen Djoko Susilo.

Berdasarkan UU Anti Korupsi dan UU KPK, bila KPK melakukan penanganan suatu kasus korupsi, tentu dengan suatu pertimbangan tertentu, maka instansi penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian dan Kejaksaan harus menghentikan penanganan. Maka sikap bersikeras Kabareskrim yang bersikeras melanjutkan penanganan dan melontarkan tuduhan bahwa KPK mengkhianati kesepakatan (MOU) dengan Polri, menjadi berlebihan dan tidak proporsional. Sejak kapan suatu MOU mengalahkan UU yang lebih tinggi posisi hukumnya? Kecuali negara ini menganut paham persekongkolan hukum. Maka, sikap Polri, khususnya Bareskrim, yang menimbulkan tanda tanya, perlu dicermati lebih lanjut. Ada apa di belakangnya?

Saat ini, publik tak percaya kepada Polri bila menangani masalah korupsi internal. Setumpuk kasus tak tertangani lanjut memenuhi daftar: Antara lain kasus rekening gendut perwira Polri, dan penanganan lanjut indikasi yang diberikan whistle blower Komjen Pol Susno Duadji tentang keterlibatan dua jenderal dalam penyimpangan penanganan perkara Gayus Tambunan. Informasi dari salah seorang dua tersangka sipil dalam kasus alat simulasi ujian SIM ini, bahwa ia telah mengalirkan dana suap sebesar 8 dan 7 milyar rupiah kepada Induk Koperasi Polri serta 2 milyar rupiah kepada Irjenpol Djoko Susilo, sebelum ini, memperkuat dugaan tentang luasnya keterlibatan dan jumlah penikmat dari pendongkrakan harga dalam pembelian alat ini. Selain itu, jumlah pendongkrakan harga yang lebih dari dua kali lipat, merupakan suatu petunjuk tersendiri. Pendongkrakan harga itu terlalu fantastis dan berani. Keberanian, khususnya keberanian melanggar hukum, biasanya muncul, bila sesuatu perbuatan dilakukan bersama-sama.

Terlihat, dalam kasus-kasus seperti tersebut di atas selalu terselip, sesuatu yang seolah-olah adalah 'operasi penyelamatan para jenderal'. Kalau ada yang perlu dikorbankan, cukup perwira menengah atau perwira pertama saja. Dalam kasus penyimpangan penanganan Gayus Tambunan, dua perwira menengah 'dikorbankan', sedang dua jenderal yang disebut-sebut dalam kasus yang sama, tak disentuh lanjut. Kalau ada jenderal yang kemudian digebuk beramai-ramai, tak lain adalah Komjen Susno Duadji, karena ia ini 'berani-beraninya' menyerang institusi. Maka, 'dosa-dosa' lamanya saat menjadi Kapolda Jawa Barat dan dalam kasus PT Arwana, dibuka, yang berlanjut dengan menyeretnya ke meja hijau peradilan. Susno dijatuhi pidana penjara 3,5 tahun di pengadilan tingkat pertama maupun banding, ditambah denda uang.

Sementara itu, lontaran-lontaran informasinya tentang kekotoran di tubuh institusinya, tidak diperhatikan. Dan, keterangannya di persidangan kasus Antasari Azhar yang memberi petunjuk yang semestinya penting, tentang adanya konspirasi tingkat tinggi dalam kasus tersebut, pun sepenuhnya diabaikan.

Insiden beraroma perlawanan dan serangan balik terhadap penegakan hukum yang terjadi dalam kasus korupsi di Korlantas Polri ini, mengingatkan kepada suatu peristiwa hampir serupa dalam kasus Ginandjar Kartasasmita –mantan menteri penting dalam rezim Soeharto– beberapa tahun lalu, di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman. Persamaannya terutama terletak pada adanya kesan pola penyelamatan para jenderal agar lolos dari jeratan kasus korupsi. Ginandjar Kartasasmita adalah seorang Marsekal TNI-AU yang masih aktif dalam kurun waktu tuduhan korupsi yang dikenakan Kejaksaan Agung. Persamaan lainnya barangkali terletak pada bila seseorang melakukan korupsi dan tak lupa kepada korps, ia akan diselamatkan. Tapi bila hanya untuk memperkaya diri sendiri, tunggu saja…..

PERSAMAAN lain antara kasus Korupsi Korlantas 2012 dengan kasus Ginandjar Kartasasmita Maret 2001, adalah terjadinya 'polemik' soal kewenangan penanganan perkara. Dalam kasus Ginandjar Kartasasmita, terjadi 'polemik' tentang kedudukan Jaksa Agung sebagai koordinator dalam penanganan perkara koneksitas Ginandjar Kartasasmita yang adalah Marsekal Madya TNI-AU dan pada waktu perbuatan terjadi masih berstatus militer aktif.

[DARI DULU MENIKMATI PENYELESAIAN LUAR SIDANG. 
"Pada dasarnya, memang telah tercipta semacam tradisi bahwa bilamana seorang anggota militer, khususnya para perwira tinggi, terlibat dalam korupsi di luar institusi-institusi militer, kemungkinan besar akan diselamatkan". Karikatur D. Sudiana, 1970.]

Ginandjar Kartasasmita pertama kali diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung pada 27 Maret 2001 dalam kasus dugaan korupsi dalam pelaksanaan Technical Assistance Contract (TAC) antara PT Pertamina dengan PT UPG di empat sumur minyak. Selain dari Kejaksaan Agung, ada 4 perwira pemeriksa dari Oditur Jenderal TNI dan Oditur Militer Tinggi. Dalam kasus tersebut dinyatakan 4 orang, yakni mantan Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe, Mantan Menteri Pertambangan Mayjen I.B Sudjana, dan pimpinan PT UPG, selain Ginandjar Kartasasmita, yang "cukup bukti untuk dikwalifikasikan sebagai tersangka-tersangka".

Pemeriksaan yang berlangsung sampai petang, dilanjutkan keesokan paginya 28 Maret 2001. Tapi, pada pagi itu, Ginandjar yang agaknya mendapat 'kisikan' akan segera ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, bergegas meninggalkan Gedung Bundar. Terjadi drama. Ginandjar yang dibentengi sejumlah pengacaranya dan 'barisan' pengawalnya berhasil menembus keluar dari gerbang belakang Gedung Kejaksaan Agung melewati Keamanan Dalam Kejagung. Ginandjar dan rombongannya menuju Rumah Sakit Pertamina. Ia beralasan sakit dan memerlukan perawatan. Dalam surat Bagian Medis RS Pertamina, disebutkan Ginandjar dirawat di sana sejak 29 Maret 2001 jam 13.41. Dengan berada di rumah sakit itu, Ginandjar selama 8 hari bisa menghindari penahanan. Penampilannya selama di rumah sakit, juga cukup dramatis. Saat ia dijenguk oleh mantan Wakil Presiden Sudharmono yang akan meninggalkan rumah sakit yang sama, usai perawatan sejak beberapa hari sebelumnya, Ginandjar mengenakan kembali alat penopang leher yang beberapa saat sebelumnya sempat dilepas.

Dalam Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Fachri Nasution, 31 Maret 2011, disebutkan Ginandjar yang mantan Menteri Pertambangan dan saat itu masih menjabat Wakil Ketua MPR disebutkan "diduga keras turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam persetujuan Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT UPG (Ustraindo Petro Gas) pada lapangan minyak Pendopo, Prabumulih, Jatibarang dan Bunyu yang mengakibatkan kerugian negara". Sumur-sumur tersebut diperhitungkan bisa menghasilkan produksi 200.000 barrel per hari. Suatu angka yang termasuk tinggi.

Setelah 8 hari di Rumah Sakit Pertamina, akhirnya penahanan bisa dilakukan juga oleh Kejaksaan Agung. Itupun berlangsung dramatis. Ginandjar Kartasasmita ditahan di Rutan Kejaksaan Agung, meski semula direncanakan akan ditahan di Rutan Salemba. Sejumlah pengacara senior yang sudah berusia 60 tahun ke atas setia mendampingi, dan bahkan ikut menemani menginap di sel Rutan Kejagung. Mereka menyebutnya sebagai tanda solidaritas terhadap klien mereka yang tak seharusnya ditahan.

Akan tetapi perlawanan paling kuat yang mereka lakukan adalah pengajuan pra peradilan sampai dua kali. Pra peradilan pertama dilakukan terhadap penahanan Ginandjar Kartasasmita. Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan –yang kala itu dikenal sebagai kuburan bagi berbagai kasus korupsi– menyatakan bahwa tindakan Kejaksaan Agung melakukan penyidikan, penahanan dan pembantaran dalam kasus Ginandjar Kartasasmita itu "sebelum tanggal 9 April adalah tidak sah". Dan ketika Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah penahanan baru, 17 April, kembali para pengacara Ginandjar Kartasasmita mem-pra-peradilan-kan Kejaksaan Agung. Surat Perintah Penahanan baru itu dianggap tidak sah karena tidak ikut ditandatangani oleh jaksa-jaksa militer yang ikut menjadi tim pemeriksa. Lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Ginandjar Kartasasmita. Dengan adanya pra peradilan kedua itu, Mingguan Berita Tempo lalu melontarkan pertanyaan "sampai kapan kasus korupsi Pertamina ini bisa ke pengadilan?".

Terkait perkara Ginandjar ini, setidaknya bisa dicatat, sikap institusi TNI, melalui surat dua petingginya. Pertama, surat berkategori konfidential, dari Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal Djamari Chaniago, 9 April 2001, yang ditujukan kepada tim pengacara Ginandjar Kartasasmita. Di situ disebutkan, memang ada pengiriman 4 personil oditur militer ke Kejaksaan Agung dalam rangka penyidikan. Namun, "Kewenangan penahanan tidak ada pada keempat personil Oditur Militer tersebut, tetapi kewenangan penahanan a/n Marsdya TNI (Purn) Ginandjar Kartasasmita hanya ada pada Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)/Papera". Sebelumnya, 20 Maret 2001, Komandan Pusat Polisi Militer, Mayor Jenderal TNI Djasri Marin juga memberi tips dalam suratnya kepada para pengacara Ginandjar, bahwa "Dalam periode 1988-1993 Prof. Dr. Ir. H Ginandjar Kartasasmita sebagai Mentamben adalah sebagai Militer Aktif, dan apabila yang bersangkutan melakukan Tindak Pidana pada periode tersebut, maka Peradilan yang berwenang mengadili tindak pidana yang diduga dilakukan oleh yang bersangkutan adalah Peradilan Militer".

Praktis, dengan melihat dua kekalahan pra-peradilan itu, Kejaksaan Agung yang kala itu dipimpin Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang menangani banyak kasus korupsi, secara khusus kandas dalam menangani kasus Ginandjar dan kawan-kawan, yang merugikan negara USD 24,8 juta. Sebagai suatu perkara koneksitas, dibutuhkan kerjasama oditur militer. Sementara itu bisa dipastikan para petinggi militer, sebagaimana yang bisa diikuti dari pernyataan sejumlah pejabat di bidang hukum militer, berkecenderungan kuat untuk mencegah kasus itu sampai ke pengadilan. Tak lain karena Ginandjar adalah perwira militer –non Akmil– dengan pangkat terakhir Marsekal Madya TNI-AU. Mereka mengabaikan bunyi UU Anti Korupsi –UU No.3 tahun 1971 maupun UU No. 31 tahun 1999– yang menempatkan Jaksa Agung sebagai koordinator dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan militer aktif bersama pelaku sipil dan bahwa proses peradilannya pun harus di pengadilan umum. Kalau para oditur militer tak mau bekerjasama lalu apa yang bisa dilakukan?

Terlihat bahwa dalam praktek, ketentuan penanganan koneksitas atas perkara-perkara yang melibatkan pelaku-pelaku militer dalam kejahatan bersama pelaku sipil, cenderung menjadi faktor penghambat penegakan hukum. Tadinya diharapkan, bahwa adanya peradilan koneksitas bisa membuka cakrawala baru, karena sebelumnya, data empiris memperlihatkan betapa mahkamah-mahkamah militer itu hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Para perwira tinggi yang melakukan kejahatan keuangan di luar institusi militer tak mungkin bisa diadili melalui peradilan militer. Dan pada sisi lain bisa dikatakan hampir tak pernah ada peradilan korupsi internal dilakukan melalui peradilan militer. Penyelesaian cenderung menggunakan mekanisme ankum (atasan yang menghukum). Ada sikap lindung melindungi, yang tak boleh tidak berpangkal kepada keterlibatan bersama dalam melakukan dan atau menikmati hasil korupsi. Pun tak boleh dilupakan, bahwa 'membantu' dalam penyelamatan pelaku korupsi dengan angka jarahan besar, merupakan ladang untuk ikut mengais rezeki. Ada yang mengais rezeki secara sah dan terbuka, yakni para pengacara, tapi tak kurang banyak yang mengais rezeki gelap di belakang layar. Dari skala puluhan dan ratusan juta sampai skala milyaran rupiah.

Pada dasarnya, memang telah tercipta semacam tradisi bahwa bilamana seorang anggota militer, khususnya para perwira tinggi, terlibat dalam korupsi di luar institusi-institusi militer, kemungkinan besar akan diselamatkan. Apalagi bila sang pelaku tak melupakan korps atau rekan-rekan militernya yang masih bertugas di institusi induk. Akan tetapi bila yang dicuri adalah langsung uang milik institusi itu sendiri, tunggu akibatnya. Di masa Soeharto hanya sekali terjadi peradilan militer terhadap perwira yang korupsi, yaitu ketika sasaran korupsinya adalah keuangan Markas Besar Angkatan Darat. Namun, belakangan, ada juga beberapa kasus, yakni penjualan aset bangunan dan atau dana kesejahteraan bersama yang non budgetair seperti dana perumahan prajurit/Asabri, tidak ditangani melalui proses peradilan, melainkan sekedar sanksi karir sebagai suatu penyelesaian internal. Jenderal-jenderal pelakunya diberi jalan tengah berupa pemutasian, ke jabatan militer lainnya yang sedikit berkonotasi degradasi, ataupun ke jabatan sipil. Terutama bila kasus-kasus itu melibatkan cukup banyak pelaku internal. Atau ada dana yang disisihkan untuk 'kesejahteraan' bersama, misalnya di bidang pengadaan. Pokoknya, jangan bermain sendirian.

DI TUBUH Kepolisian RI, seorang Deputi Kapolri, Letnan Jenderal Polisi –kini disebut Komisaris Jenderal– Siswadji, pernah diadili dan dihukum melalui suatu peradilan terbuka, karena melakukan korupsi keuangan institusinya, sebesar 44 milyar rupiah (kala itu, tergolong sebagai jumlah yang besar). Kapolri waktu itu adalah Jenderal Widodo Budidarmo. Dalam suatu kebetulan yang naas, putera sang Kapolri, terlibat kecelakaan penggunaan pistol dinas yang menyebabkan tertembaknya ajudan Kapolri. Mau tak mau, peristiwa itu menjadi tanggungjawab Widodo Budidarmo. Akumulasi dua peristiwa ini, menyebabkan dipanggilnya Letnan Jenderal Polisi Awaluddin Djamin di tahun 1978 dari pos Duta Besar RI di Jerman Barat untuk menjabat sebagai Kapolri. Menhankam/Pangab waktu itu, Jenderal Muhammad Jusuf, memberi perintah, "Kau benahi kepolisian seluruhnya". Jenderal Jusuf mengatakan, citra dan wibawa Kepolisian RI saat itu sedang merosot. Ketika itu dianggap tak ada perwira teras dalam internal institusi yang bisa dipercaya untuk memperbaiki Polri, karena semuanya telah terkontaminasi berbagai jenis kebobrokan. "Sudah bahaya betul, kalau begini", kata Jenderal Jusuf. Maka Awaluddin Djamin, seorang perwira Polri yang sudah lama berada di luar institusi dipanggil untuk pembenahan.

Keterlibatan Letnan Jenderal Siswadji dalam kasus korupsi yang menggerogoti tubuh institusinya sendiri, sebenarnya cukup mengejutkan banyak pihak. Siswadji saat masih berpangkat perwira menengah, termasuk barisan perwira yang melawan pengaruh Brigjen Polisi Sutarto, wakil Dr Subandrio di BPI (Biro Pusat Intelijen), yang berorientasi kiri. Setelah Peristiwa 30 September 1965, Siswadji yang dianggap perwira cemerlang, ikut berjuang membersihkan Kepolisian RI yang sarang pendukung Orde Lama menjadi Orde Baru. Ia juga memimpin pengelolaan Universitas Res Publica milik Baperki yang diambil-alih menjadi Universitas Trisakti.

[SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. 
"Di sisi lain, pada waktu yang sama, tak kurang dari Istana Presiden Soekarno sendiri yang menjadi pelopor pesta tari lenso di malam hari. Pesta yang dihadiri selain para menteri, juga dihadiri oleh para pengusaha dan dimeriahkan perempuan selebrities yang serba rupawan dan gemerlap". "Di masa kekuasaan Jenderal Soeharto, konsep dwifungsi yang sebenarnya ideal untuk proses transisi bila dijalankan dengan baik dan benar oleh ABRI, justru menjadi jalan baru bagi tentara untuk tetap bertahan dalam posisi-posisi kekuasaan sekaligus payung pelindung bagi ekses kekuasaan yang terjadi"]

Bukan kekebalan yang kebetulan. 'Naas' penindakan yang menimpa Jenderal Polisi Siswadji di paruh kedua tahun 1970-an itu bisa diterangkan dari beberapa arah pandang. Semestinya, sebagai jenderal lapis kedua di angkatannya, ia ikut memiliki 'kekebalan' tradisional para jenderal. Tetapi, ia telah melanggar suatu pakem penting di tubuh angkatan bersenjata kala itu, yang didominasi Angkatan Darat, yakni jangan 'menggerogoti' keuangan internal. Kalau ingin makanan ekstra di luar takaran, hendaknya jangan mengais di lumbung sendiri. Apalagi, saat itu lumbung anggaran Kepolisian sedang mengalami keterbatasan. Secara tradisional anggaran angkatan-angkatan di luar Angkatan Darat memang selalu lebih kecil dari pemegang hegemoni.

Maka, sebaiknya kreatif menciptakan rezeki melalui keleluasaan dalam wewenang yang dimiliki terhadap masyarakat –sekecil apapun wewenang itu. Asalkan, tidak mengganggu ladang angkatan lain, khususnya ladang angkatan darat, apalagi ladang milik para dewa dalam kekuasaan. Untuk yang disebut terakhir, yakni para dewa, kepolisian harus ekstra tutup mata. Hal lain yang membuat Siswadji naas dan terkena bala, karena ia melakukan korupsinya di masa Jenderal Muhammad Jusuf menjadi Menteri Hankam/Panglima ABRI –yang sangat antusias membangun citra ABRI yang manunggal dan tidak ingin 'menyakiti' hati rakyat.

Kepolisian Indonesia, sejak awal kemerdekaan didisain sebagai polisi profesional, sejak terbentuk di bulan September 1945. Di samping itu, berbeda dengan sejumlah besar negara lain, Kepolisian Indonesia pun dirancang sebagai polisi nasional dalam Negara Kesatuan RI, bukan polisi wilayah yang berada di bawah otoritas pemerintah daerah yang artinya dengan sendirinya juga berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Polisi Indonesia diletakkan langsung di bawah pimpinan pemerintah pusat cq Presiden. Konsep polisi nasional ini dikukuhkan 1 Juli 1946, yang hingga kini selalu dirayakan sebagai Hari Kepolisian atau Hari Bhayangkara. Ini diharapkan memperkuat profesionalitas Kepolisian Indonesia, dan dengan demikian menghindarkan polisi dipolitisasi.

Karena relatif bersih dari pengaruh politik, tercatat bahwa setidaknya dalam satu setengah dasawarsa awal Indonesia merdeka, polisi tak segan menangkapi politisi yang duduk dalam pemerintahan bila melakukan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Kepala Kepolisian RI pertama, Komisaris Jenderal R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo –yang memangku tugas tersebut 29 September 1945 sampai 14 Desember 1959– selalu dikenang dalam konteks tersebut. Di masanya menteri pun bisa ditangkap bila melanggar hukum. Hanya ketentuan SOB yang bisa dan telah mencegah polisi merambah menangkapi tentara-tentara pelanggar hukum. Padahal, sejak tahun 1950 sampai tahun 1965, terdapat begitu banyak komandan-komandan wilayah di seluruh Indonesia yang menjalankan kekuasaan bagaikan warlord, sama dengan yang terjadi di China daratan di masa kekuasaan kaum nasionalis. Untuk memperkuat logistiknya masing-masing, komandan-komandan wilayah itu tak segan-segan melakukan penyelundupan dan barter untuk memperoleh senjata dan keuntungan finansial. Penindasan ke akar rumput dengan sendirinya menjadi ekses yang melekat. Di banyak daerah, tentara yang pada masa perang kemerdekaan dicintai, menjadi monster yang dibenci dan ditakuti rakyat. Dalam situasi seperti itu, polisi jauh lebih dicintai rakyat, kendati mereka pun tak cukup berdaya menghadapi tentara, kecuali di beberapa wilayah kota besar.

Namun, saat Soekarno berubah menjadi otoriter setelah Dekrit 5 Juli 1959, proses politisasi polisi pun dimulai. Kepolisian dijadikan sebagai satu angkatan tersendiri. Kepolisian menjadi bagian dari kekuasaan, tepatnya menjadi alat dari pemimpin rezim kekuasaan, yang sepertinya masih berlangsung hingga kini. Penggunaan polisi sebagai alat kekuasaan, dan bukan sebagai alat negara, dilakukan Soekarno, dan diwarisi oleh Soeharto dan kemudian coba dipertahankan para pemimpin pemerintahan berikutnya karena dianggap menguntungkan dari segi pemeliharaan kekuasaan.

Akan tetapi, situasi itu agak terganggu di masa kepemimpinan Kepolisian RI diserahkan ke tangan Komisaris Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso (9 Mei 1968 – 2 Oktober 1971. Polisi di tangan Hoegeng sempat menjadi musuh Cendana, ketika ia misalnya menghadang dan menangkapi mobil-mobil mewah yang diselundupkan dengan pesawat Hercules melalui Halim Perdanakusuma. Penyelundupan itu berlangsung dengan sepengetahuan sejumlah perwira Angkatan Udara yang di belakangnya ada backing tokoh penguasa rezim. Hanya pelaku lapangan, Robby Tjahjadi yang bisa diadili, bersama dua pejabat menengah bawah, dan selanjutnya Hoegeng tak bisa merambah lebih jauh. Peristiwa-peristiwa kebuntuan ironis seperti ini berkali-kali dialami Hoegeng, tak berhasil menuntaskan kasus hingga titik kebenaran sesungguhnya karena ia harus bertekuk lutut di hadapan kekuasaan otoriter. Bagaimanapun, sebaik-baiknya ia sebagai polisi, suka atau tidak suka, ia toh berada di dalam tubuh kekuasaan otoriter itu. Hoegeng antara lain gagal dalam kasus terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Louis Coenrad dan kasus perkosaan gadis penjual telur Sum Kuning, yang seluruhnya terjadi di tahun 1970. Semuanya tak bisa tuntas di bawah tekanan kekuasaan, yang tak menginginkan beberapa lekuk-liku khusus dalam kasus itu terbuka, baik yang berupa masalah kebijakan maupun keterlibatan putera-putera tokoh yang perlu dilindungi nama baik dan 'kehormatan'nya.

Maka, ketika beberapa tahun kemudian Deputi Kapolri Letnan Jenderal Polisi Siswadji ditangkap dan diadili karena korupsi, peristiwanya menjadi semacam klimaks dari suatu anti klimaks terhadap sejarah Kepolisian sebelumnya, khususnya terkait keteguhan dan keberanian tokoh kepolisian seperti Jenderal Raden Said Soekanto dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Di masa lampau, polisi hanya dianggap melakukan dosa-dosa kecil dengan melakukan pungli di jalan terhadap para pengemudi yang melanggar peraturan –populer sebagai isu prit jigo– lalu meningkat ke pemerasan-pemerasan skala kecil dan menengah terhadap mereka yang berurusan masalah hukum di kantor polisi. Dengan kasus Siswadji, perilaku hitam polisi membesar ke skala milyar sebelum akhirnya menjadi lebih besar-besaran seperti yang terjadi hingga kini. Seakan-akan polisi menjadi pewaris kenyamanan dan keleluasaan ala masa dwi fungsi yang dinikmati oleh tentara sebagai ekses di masa Soeharto. Dengan posisinya sekarang dalam kekuasaan, khususnya dalam penegakan hukum di era tertib sipil, prospek benefit besar-besaran memang terbuka lebar untuk dipetik polisi, cukup dengan meninggalkan idealisme profesional, dedikasi dan kesadaran etikanya, dibuang entah di mana. Seorang Brigadir Jenderal Purnawirawan, menceritakan bahwa ketika ia menjabat sebagai Kapolres di suatu daerah, ia dipanggil oleh Kapolda, yang dengan ringan berkata, "Coba kau peras dulu si Anu… supaya kita dapat dana".

Dalam hal penyalahgunaan kekuasaan, kepolisian agaknya banyak berguru kepada tentara, khususnya Angkatan Darat yang memiliki jam terbang lebih banyak dalam pengelolaan dana besar-besaran terkait kekuasaan. Debut tentara dalam pengelolaan dana skala besar, adalah dalam masa nasionalisasi aset-aset usaha Belanda di Indonesia pada tahun 1957-1958. Bersamaan dengan dimulainya kampanye mengembalikan Irian Barat ke tangan Indonesia, gerakan massa yang dianggap spontan –tetapi di back up oleh sejumlah perwira militer– pada akhir 1957 melakukan aksi pengambilalihan aset dagang Belanda di Indonesia. Pada Desember 1957 misalnya, massa mengambilalih dan menduduki Nederlandsche Handel Maatschappij NV, lalu diserahkan ke pemerintah dan belakangan dijadikan Bank Dagang Negara.

Nasionalisasi itu kemudian meluas dan berjalan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958. Angkatan Bersenjata cq Angkatan Darat, di bawah Jenderal AH Nasution, mendapat peran utama menempatkan perwira-perwiranya untuk mengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi tersebut. Perusahaan-perusahaan dagang Belanda itu –mulai dari Percetakan de Unie, Borsumy Wehri, Philips, Escompto Bank sampai dengan KPM, KLM dan perusahaan minyak BPM– dirubah menjadi perusahaan-perusahaan nasional dengan pengelola baru dari kalangan tentara yang samasekali belum punya pengalaman dagang. Umumnya perusahaan itu tidak bisa berkembang, merosot bahkan rontok di tangan para pengelola baru. Akan tetapi, pada pihak lain, dengan pengelolaan itu, tentara bisa memiliki sumber keuangan yang kelak sangat berguna tatkala tentara makin dalam terlibat di kancah politik dan kekuasaan. Namun tak terhindarkan, tercipta barisan perwira koruptor sebagai ekses.

Adalah Jenderal AH Nasution sendiri yang pada suatu waktu merasa gerah, ketika perilaku korupsi itu makin menguat di kalangan perwira, lengkap dengan perilaku komsumtif, hidup mewah dan hedonisme. Di masa Angkatan Darat dipimpin Letnan Jenderal Ahmad Yani, sebagai Menko Kasab, Jenderal Nasution pernah mengingatkan Jenderal Ahmad Yani agar mengendalikan para perwiranya yang berperilaku mewah, termasuk menegur kebiasaan membawa selebritis cantik kala berkunjung ke daerah-daerah. Jenderal AH Nasution pun pernah melancarkan Operasi Budi, namun karena dijalankan setengah hati oleh para pelaksananya, tak memberi hasil yang berarti untuk menghentikan penyakit penyelewengan di tubuh Angkatan Bersenjata. Di sisi lain, pada waktu yang sama, tak kurang dari Istana Presiden Soekarno sendiri yang menjadi pelopor pesta tari lenso di malam hari. Pesta yang dihadiri selain para menteri, juga dihadiri oleh para pengusaha dan dimeriahkan perempuan selebrities yang serba rupawan dan gemerlap.

Kegagalan Operasi Budi, mengindikasikan betapa cukup meluasnya perilaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Bagaimana tidak, Jenderal Nasution sendiri tak mampu menjamin 'kebersihan' para perwira yang ditempatkannya dalam pengendalian Operasi Budi itu. Situasi inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya kekebalan perwira tentara terhadap hukum yang akhirnya menjadi seolah-olah kekebalan permanen. Di masa kekuasaan Jenderal Soeharto, konsep dwifungsi yang sebenarnya ideal untuk proses transisi bila dijalankan dengan baik dan benar oleh ABRI, justru menjadi jalan baru bagi tentara untuk tetap bertahan dalam posisi-posisi kekuasaan sekaligus payung pelindung bagi ekses kekuasaan yang terjadi. Dan lama kelamaan, apa yang semestinya dianggap ekses, berubah menjadi sesuatu yang dianggap kewajaran yang melekat dalam kekuasaan. Tentara menjadi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati bahkan camat. Lembaga-lembaga perwakilan rakyat dipimpin atau setidaknya didominasi pengaruh tentara. Jadi siapa yang berani mengontrol tentara yang menjadi presiden, gubernur dan bupati, bila Ketua DPR dan Ketua DPRD hanyalah perwira yang berpangkat lebih rendah? Bila sang Gubernur masuk ke ruang sidang DPRD untuk memberikan laporan pertanggungjawaban di akhir tahun kerja, sang Ketua DPRD menyambut dan dengan sikap tegak memberi hormat. Ucapan sang Gubernur, akan dijawab "Siap, laksanakan".

Telah tercipta kekebalan yang bukan kekebalan kebetulan.

Jenderal-jenderal istimewa. Di masa kekuasaan Jenderal Soeharto, bisa ditemukan sejumlah jenderal yang istimewa. Bergelimang dana, secara sistematis menguasai jalur-jalur 'penciptaan' dana besar, dengan wewenang khusus, sehingga tak mungkin disentuh penyelidikan maupun penanganan hukum. Bisa dirasakan, ada yang tak beres di balik dana-dana besar itu, tetapi ibarat angin yang keluar dari belakang tubuh, hanya bisa tercium baunya namun tak bisa kasat mata, tak bisa disadap, tak bisa direkam apalagi dipotret. Berikut ini, akan kita pinjam beberapa kutipan dari buku "Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter" (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas, 2004) sebagai referensi.

[PAMAN GOBER BERSELUNCUR DI ATAS KOIN EMAS. 
"Apapun, mereka sangat kaya untuk ukuran Indonesia. Meskipun pasti masih kalah dari Paman Gober tokoh bebek kaya, paman dari Donald Bebek, dalam komik Disney, yang memiliki kekayaan dengan satuan angka fantasylyuner. Setiap hari ia berenang di tengah koin emas, dan sesekali berseluncur di atas tumpukan emas itu". ]

PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia tahun 1970-an, selain melahirkan para cukong cikal bakal konglomerat besar Indonesia masa depan, juga menelurkan sejumlah jenderal dan pejabat tinggi negara yang kaya raya. Booming produksi minyak bumi dan gerak pengadaan pangan besar-besaran oleh rezim Soeharto menjadi dua di antara sumber rezeki bagi para pengelola kegiatan di bidang-bidang tersebut.

Begitu besar rezeki yang berhasil dikeruk dari dua kegiatan prioritas itu, bisa terlihat dari fakta empiris bahwa anak-cucu dari tokoh-tokoh yang berperan dalam pengelolaannya, maupun kalangan penguasa yang menentukan jalannya pembangunan Indonesia secara keseluruhan kala itu, masih bertahan mengapung hingga kini di bagian atas kelompok kaya di negara ini. Kaya tujuh turunan ternyata bukan sekedar metafora, tetapi memang ada di dunia nyata. Saat ini, turunan para penikmat utama hasil pembangunan Indonesia sejak 1970-an itu, sudah mencapai lapis keempat. Dan karena menurut 'hukum' ekonomi yang tertulis maupun tak tertulis, uang beranak uang, maka bisa jadi metafora tujuh turunan akan berubah menjadi 12 turunan.

Para jenderal dalam rezim Soeharto, menurut buku "Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter" tersebut, tak mampu mengendalikan diri dan larut dalam hasrat dan fakta hidup mewah. Nilai lama berpadu dengan tren baru. Selain memiliki curiga (keris) yang merupakan simbol senjata, ada yang tak puas sebelum melengkapi syarat kaum pria lainnya seperti kukila (burung) untuk mengibaratkan fasilitas dan segala kenikmatan hidup lainnya, serta wanito (wanita) dalam artian sebenarnya. Dan tentu saja, semua itu mungkin ada dan terpelihara berdasarkan kemampuan mengakumulasi harta.

Jenderal Purnawiran Abdul Harris Nasution –yang di masa lampau tak berhasil dengan gebrakan Operasi Budi– berkali-kali dalam bulan Mei 1973 menunjukkan kejengkelannya terhadap kehidupan bergelimang kemewahan dari sementara Jenderal. "Hidup bermewah-mewah tak serasi dengan kehidupan keprajuritan", ujarnya kepada pers, namun amat terbatas jumlah pers yang memberitakan ucapannya itu yang disampaikannya di Jakarta dan di Bandung. Dalam ceramahnya di Bandung ia mengingatkan pula, "pemerataan keadilan sosial sudah dapat dimulai sejak sekarang, tak usah menunggu sampai makmur dulu". Meski tak menyebutkan nama-nama jenderal yang ditudingnya, tapi umumnya orang dapat membenarkan apa yang dikatakan Nasution. Di Jakarta misalnya, dengan mudah masyarakat menemukan etalase kemewahan, berupa deretan rumah mewah bagaikan istana dengan beberapa biji mobil mewah di halamannya, yang kebetulan pemiliknya adalah jenderal-jenderal.

Dan kemudian sebuah media generasi muda, Mingguan Mahasiswa Indonesia, menyebutkan beberapa nama jenderal yang tergolong kaya raya waktu itu. "Pada waktu ini, memang amat banyak perusahaan yang diatur oleh kalangan tentara, semisal PT Tri Usaha Bhakti dan sebagainya", tulis koran yang diasuh para mahasiswa Bandung itu. "Tentu tak mengherankan kalau menaksir umpamanya Brigadir Jenderal Sofjar sebagai Jenderal yang berpenghasilan tinggi, mengingat bahwa bekas Ketua Umum Kadin Pusat ini duduk dalam beberapa perusahaan swasta bermodal kuat seperti perusahaan penerbangan Seulawah dan Mandala, selain menjadi Direktur Utama PT Garuda Mataram yang mengassembling mobil VW (Volks Wagen) yang laris di negeri kita". Jenderal Sofjar, juga dikenal sebagai pengelola Yayasan Dharma Putera Kostrad, dan adalah atas nama Kostrad yang panglimanya adalah Jenderal Soeharto di masa peralihan Soekarno-Soeharto itu, Sofjar leluasa memobilisir bisnis penghasil dana.

Pun di Pertamina bukan hal yang mengherankan kalau terdapat jenderal-jenderal yang kaya raya. Di luar Jenderal Ibnu Sutowo sendiri, Mingguan itu menyebut nama Brigjen Pattiasina yang belum lama sebelumnya diberitakan pers mempersunting seorang penyanyi muda belia dan menghadiahkan untuk sang isteri sebuah rumah mewah berharga 42 juta rupiah. Waktu itu, sebuah mobil sedan Jepang kelas 1300 cc semacam Mazda atau Toyota berharga di bawah 3 juta rupiah per buah. (Namun berita perkawinan ini pernah dibantah, dan memang nyatanya sang jenderal kemudian ternyata memperisteri seorang gadis muda, juara kontes ratu kecantikan di Bandung, yang seusia dengan puterinya sendiri). Selain jenderal, terdapat pula kolonel-kolonel yang menikmati posisinya di perusahaan pertambangan minyak negara itu, dan menjadi kaya raya karenanya. Sjarnubi Said, misalnya, kemudian menjadi pemilik PT Krama Yudha yang terutama bergerak sebagai pengusaha assembling dan distributor mobil Mitsubishi. Sementara itu, pada PT Krama Yudha Las, ia berbaik hati mengikutsertakan tokoh-tokoh muda eks pergerakan 1966 sebagai pemegang saham, yang meskipun kecil-kecil, cukup mendorong beberapa dari mereka menjadi orang muda kaya.

Satu lagi. "Tempo hari, di samping yang lain, juga ramai disorot Brigadir Jenderal Suhardiman yang memimpin PT Berdikari". PT ini didirikan tahun 1966 untuk menangani pengelolaan modal dan kekayaan eks PT Aslam, PT Karkam, PT Sinar Pagi dan beberapa perusahaan kalangan Istana Soekarno yang diambil alih penguasa baru. Di pertengahan tahun 1967 PT PP Berdikari sudah memiliki unit-unit usaha yang berbentuk PT juga, tak kurang dari 6 buah. Bidang geraknya antara lain perbankan, asuransi, pelayaran, ekspedisi muatan kapal, industri, produksi dan perkebunan. Belakangan sang jenderal yang satu ini lebih senang berkecimpung di bidang politik, mendirikan SOKSI yang menjadi salah satu Kino yang tangguh di Golkar.

Pada berbagai penerbitannya mingguan itu mengungkap pula beberapa nama lain dalam kalangan kekuasaan yang tergolong sebagai orang kaya. Dan akan senantiasa ditemukan betapa mereka yang berada dalam posisi-posisi penghasil dana, selalu ada kaitannya dengan jalur-jalur dan faksi-faksi yang berperan dalam kekuasaan. Adalah menarik bahwa tak jarang tokoh-tokoh penghasil dana ini bisa sekaligus punya jalinan dengan lebih dari satu faksi dalam kekuasaan. Meski bila ditelusuri pada kedua ujungnya, di hulu maupun di muara, tetap saja terpaut pada Jenderal Soeharto. Dana memang penting bagi pemeliharaan kekuasaan dan merupakan satu 'ideologi' tersendiri.

Sementara itu di 'lingkaran' Soeharto lainnya, di bawah koordinasi Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, sejumlah pengusaha kalangan non-pri, menjadi sumber dana dengan cara memberikan mereka akses dan kemudahan untuk mendapat pekerjaan dan proyek atau keleluasaan dagang. Ada pula lingkaran lain, yakni Jenderal Alamsyah Prawiranegara, yang menjalankan tugas dan kepentingan Soeharto yang lainnya lagi. Jenderal Alamsyah ini, pernah menjadi dutabesar, Menteri Agama dan Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat.

Mereka semua bukan jenderal-jenderal biasa. Mengatur lalu lintas uang berjumlah besar, tanpa pernah berhasil disentuh oleh tangan hukum, meskipun selalu disentuh oleh sorotan pers.

Bagaimana dengan jenderal-jenderal yang berada di lapangan selaku pemegang komando? Bagi mereka ini, ada cara dan jalannya yang tersendiri untuk mendapat dana. Pertama, melalui donasi-donasi dari unit-unit usaha yang dikendalikan oleh rekan-rekan mereka yang berada di luar tugas komando. Kedua, meskipun ada tradisi jangan 'mencakar' rezeki dari keuangan internal, toh ada keleluasaan untuk mendapat komisi-komisi dari pengadaan logistik angkatan, termasuk dalam pengadaan alutsista. Di masa Soekarno, ada seorang jenderal logistik sampai mendapat saham bonus dari perusahaan senjata Carl Gustav. Di masa Soeharto, rezeki bonus itu berlanjut lancar dalam pengadaan, dari senapan sampai peluncur roket, dari kendaraan operasional roda empat sampai panser, tank maupun kapal tempur dan jet tempur. Tetapi seringkali, irama dan harmoni ini terusik ketika kalangan lebih tinggi –dan keluarganya– dalam kekuasaan, mulai turut campur secara detil dalam penentuan pengadaan barang. Menteri Ristek BJ Habibie misalnya menghendaki pembelian jet tempur Mirage buatan Perancis, yang lain menghendaki F-16, tapi yang dibeli akhirnya Hawk buatan Inggeris, karena yang lebih tinggi menghendaki demikian. Tak jarang terjadi, jeruk melawan jeruk.

Episentrum korupsi. Tesis bahwa istana adalah salah satu episentrum korupsi, banyak bukti berlakunya dari masa ke masa. Begitu pula tesis segitiga korupsi yang terdiri dari istana, pemegang senjata dan konglomerat hitam, telah teruji kebenaran(empiris)nya. Bahkan kini, disebutkan ada episentrum baru, yakni di lembaga perwakilan rakyat, DPR. Sekaligus ini terkonotasi dengan partai-partai politik.

Dalam soal istana sebagai episentrum korupsi, orang selalu merujuk kepada Jenderal Soeharto. Betulkah, selain jasa-jasanya yang besar bagi Indonesia, sang jenderal yang berkuasa 32 tahun itu juga memungut uang jasa yang besar pula dari negaranya? Berapa kekayaan Soeharto (dan keluarga) sebenarnya?

Majalah Fortune 1997 menyebutkan angka kekayaan Jenderal Soeharto sebesar USD 16 milyar –setara 152 trilyun rupiah– dan menempatkannya sebagai orang terkaya ke-6 di dunia. Namun setelah kejatuhannya di tahun 1998, majalah yang sama menempatkannya di urutan ke-80 dengan jumlah kekayaan 'hanya' USD 4 milyar. Dua belas tahun sebelumnya, menurut Theodore Friend penulis buku Indonesia Destinies, seorang pejabat Kedutaan Besar AS di Jakarta, menyebutkan Jenderal Soeharto sebagai "the world's richest man". Terhadap angka-angka itu, Indonesianis Professor Jeffrey Winters, memberi angka perkiraan 'tandingan', sebesar USD 30 milyar (285 trilyun rupiah). Sementara itu Majalah Time menulis bahwa sekitar 1998, putera-puteri Soeharto secara akumulatif memiliki kekayaan USD 5.405 milyar (hampir lima setengah milyar dollar), setara 51, 3475 trilyun rupiah. Apapun, mereka sangat kaya untuk ukuran Indonesia. Meskipun pasti masih kalah dari Paman Gober tokoh bebek kaya, paman dari Donald Bebek, dalam komik Disney, yang memiliki kekayaan dengan satuan angka fantasylyuner. Setiap hari ia berenang di tengah koin emas, dan sesekali berseluncur di atas tumpukan emas itu.

Bagaimana dengan para jenderal masa kini yang berada di bawah rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang seperti halnya Soeharto, juga berlatar belakang militer dengan pangkat terakhir dalam karir militernya adalah Letnan Jenderal?

['HUBUNGAN SIPIL-MILITER'. 
"Tepatnya, mereka terlepas keluar dari pusat hegemoni kekuasaan, sehingga mereka pun terlepas dari arus utama korupsi kekuasaan. Padahal dalam hegemoni masa dwifungsi, tentara seakan menjadi putera-putera terbaik yang selalu berada di urutan pertama berbagai kesempatan, sampai-sampai dalam kehidupan sosial menjadi idola, termasuk sebagai idaman kaum perempuan. Sebenarnya, bisa saja ini menjadi semacam blessing indisguise bagi militer generasi baru, untuk menempuh karir sebagai militer profesional, bukan militer politik". Karikatur Harjadi S, 1967.]

Korupsi di masa 'supremasi sipil'. SETIDAKNYA pada dua masa kepresidenan terakhir, yakni pada pemerintahan Megawati Soekarnoputeri dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang adalah seorang jenderal purnawirawan– kasat mata titik berat korupsi beralih ke partai-partai politik. Meski, itu bukan berarti, kalangan tentara telah bersih dari perilaku korupsi. Sejalan dengan makin menyusutnya peranan tentara dalam kehidupan politik dan kekuasaan di masa pasca Soeharto, kesempatan korupsi juga sedikit menyusut. Tentara menjadi tidak menonjol lagi dalam urusan ini, karena tenggelam oleh hingar bingar korupsi yang dilakukan kaum sipil yang menjadi pelaku-pelaku baru dalam kekuasaan negara. Tetapi sebaliknya, berbeda dengan tentara, kepolisian justru makin masuk dalam sorotan, bersamaan dengan makin berperannya institusi tersebut dalam era supremasi sipil, seakan menggantikan peran dan posisi tentara di masa dwifungsi ABRI.

Wewenang 'baru' polisi untuk ikut menangani perkara korupsi –sebagai pidana khusus– yang tadinya dibatasi hanya menjadi wewenang Kejaksaan Agung, menimbulkan fenomena baru: korupsi dalam penanganan masalah korupsi. Di sini, korupsi oleh kaum sipil menjadi peluang para perwira dan penyidik kepolisian yang tak kuat iman untuk mengais rezeki di jalan yang tak halal. Sejumlah perwira kepolisian, dari perwira pertama, perwira menengah sampai perwira tinggi, telah tersandung dalam ekses yang satu ini. Salah satunya, sebagai contoh, adalah Kabareskrim, Komisaris Jenderal Suyitno Landung, yang tahun 2005 tersandung saat menangani kasus pembobolan 1,2 trilyun rupiah Bank BNI oleh pengusaha Adrian H. Waworuntu dan kawan-kawan. Bersama Suyitno Landung, terseret pula Brigjen Polisi Samuel Ismoko bersama sejumlah perwira bawahan. Kedua jenderal polisi ini diadili dan mendapat hukuman penjara di tahun 2006.

KORUPSI di era 'supremasi' sipil ini, menanjak grafiknya sejalan dengan makin kuatnya gejala wealth driven politic. Kekuatan uang telah menjadi senjata utama dalam kancah kehidupan politik Indonesia, melebihi kiat politik lainnya. Untuk saat ini, tak ada cara lain yang lebih efektif dalam penghimpunan dana politik, kecuali korupsi yang memanfaatkan kekuasaan. Kalau ada pimpinan partai mengatakan bahwa mereka mengandalkan iuran anggota dan kontribusi dana dari kader potensial, itu 90 persen bohong. Bagian benarnya hanyalah bahwa beberapa partai memang menjalankan ketentuan iuran bagi para anggotanya, namun belum tentu menutupi 10 persen kebutuhan partai.

Sumber utama dana partai adalah dari 'kader potensial', yakni mereka yang duduk di lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif, serta yang berprofesi 'pengusaha'. Namun seperti yang terungkap dari hari ke hari, cara 'kader potensial' itu memperoleh dana, tak lain melalui berbagai perilaku korup dan penyalahgunaan. Jalan pintas apa lagi yang tersedia, kecuali korupsi? Di jalan pintas itu, para politisi partai terlibat sebagai makelar proyek pemerintah, terlibat kolaborasi proyek fiktif, 'menyewakan' partai sebagai perahu dalam pilkada dan sebagainya. Sementara itu, mereka yang menyewa partai sebagai perahu pilkada umumnya juga telah meng'ijon'kan diri kepada para pemilik uang yang pada saatnya akan menagih proyek bila sang kandidat memenangkan pilkada.

Dalam kancah politik selama beberapa tahun terakhir ini, ketika uang menjadi penentu utama, semua orang yang terjun ke dunia politik, dengan hanya sedikit pengecualian, menjadi ganas dalam mengejar uang. Dan karena upaya pembasmian korupsi ibaratnya selalu salah obat, bahkan menggunakan obat palsu, serta salah dosis, maka virus korupsi menjadi lebih virulent dan lebih kebal. DPR yang menjadi salah satu tempat utama berkiprahnya para politisi partai, disebutkan sebagai salah satu episentrum baru korupsi. Bentuk korupsinya, mulai dari sekedar suap menyuap dalam kaitan jual beli persetujuan DPR, sampai kepada pengorganisasian perencanaan proyek yang akan dikorup habis-habisan –baik proyek dengan model biaya mark-up maupun sekalian proyek fiktif. Hanya saja, dalam korupsi 'atas nama' partai, terjadi pula "korupsi dalam korupsi". Meminjam cerita seorang pengamat, Boni Hargens, kader-kader partai yang korup itu, sebenarnya hanya menyumbangkan bagian kecil dari hasil korupsinya untuk partai dan memasukkan jauh lebih banyak ke kantongnya sendiri.

Sepanjang pemberitaan pers yang ada, tak ada partai parlemen yang tak terlibat melalui para kadernya dalam korupsi politik dan kekuasaan. Teristimewa partai-partai yang tergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat di bawah Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, karena mereka pun memiliki kader-kader yang duduk di kabinet. Akses ke dalam kekuasaan membuat partai-partai tersebut memiliki peluang terbesar untuk menikmati kue dari keuangan negara melalui berbagai rekayasa dalam penanganan proyek-proyek pemerintah: Proyek Hambalang, pembangunan sarana olahraga dalam rangka SEA Games maupun PON 2012 di Riau, proyek listrik tenaga surya, proyek fiktif dan setengah fiktif di lingkungan Kementerian Dikbud, penyimpangan dalam pengadaan kitab suci Al Qur'an di Kementerian Agama, suap menyuap di Kementerian Nakertrans, korupsi bantuan sapi dan mesin jahit di Kementerian Sosial, dan lain sebagainya.

Peta baru korupsi. PASCA Soeharto, peta korupsi mengalami perubahan sejalan dengan perubahan peta politik dan kekuasaan. Karena tentara makin terpinggirkan dari pusat kegiatan politik dan pemerintahan, bahkan terhapus dari peta legislatif (kecuali memakai baju partai), dengan sendirinya tentara pun keluar dari fokus sorotan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tentara terdorong keluar dari peluang-peluang korupsi di institusi sipil yang selama ini mereka duduki atas nama dwifungsi –jabatan-jabatan pemerintahan dan legislatif. Tepatnya, mereka terlepas keluar dari pusat hegemoni kekuasaan, sehingga mereka pun terlepas dari arus utama korupsi kekuasaan. Padahal dalam hegemoni masa dwifungsi, mereka seakan menjadi putera-putera terbaik yang selalu berada di urutan pertama berbagai kesempatan, sampai-sampai dalam kehidupan sosial menjadi idola, termasuk sebagai idaman kaum perempuan. Sebenarnya, bisa saja ini menjadi semacam blessing indisguise bagi militer generasi baru, untuk menempuh karir sebagai militer profesional, bukan militer politik. Tetapi persoalannya, bagaimanakah peluang dari rahmat terselubung ini akan diapresiasi oleh para perwira generasi baru di tubuh TNI masa kini tersebut?

Saat ini, tiga angkatan TNI dipimpin oleh jenderal-jenderal kelahiran tahun 1955, lulusan akademi militer tahun 1977, 1978 dan 1980: KSAU Marsekal Imam Sufaat, KSAL Laksamana Soeparno dan KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo. Mereka adalah jenderal-jenderal lapis ke sekian setelah angkatan pertama generasi penerus tentara generasi 1945, yakni Jenderal Try Sutrisno dan kawan-kawan yang adalah lulusan akademi militer pertama. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, yang kini Presiden Republik Indonesia, adalah lulusan Akabri 1973. Sebagian besar dari yang berpangkat jenderal saat ini, adalah perwira-perwira yang masih mengalami kekuasaan masa dwifungsi. Makin ke sini, perwira-perwira militer Indonesia sudah makin berjarak dari pengalaman kekuasaan masa dwifungsi. Namun perwira-perwira polisi justru seakan mengalami masa kekuasaan yang hampir setara dengan kekuasaan masa dwifungsi, pada masa 'supremasi sipil' sekarang ini.

Ada dua pergeseran terkait perilaku korupsi saat ini dalam korelasi dengan posisi kekuasaan negara. Perwira-perwira kepolisian menghadapi godaan yang makin besar dan gencar, berupa suap, jual beli kasus, kesempatan korupsi dan sebagainya. Sementara itu, perwira-perwira di dalam tubuh angkatan, makin terjauhkan dari sumber-sumber korupsi yang dominan dalam lalu lintas kehidupan pemerintahan sipil, sehingga bila toh tergoda melakukan korupsi, mereka akan melakukannya di sektor logistik dan pengadaan alutsista. Dan ternyata, ada kasus. Pers dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, menyodorkan sejumlah praduga dan atau sangkaan terjadinya gejala korupsi dalam pengadaan alutsista. Pers menyebutkan beberapa kasus dalam beberapa tahun terakhir: Kasus korupsi PT ASABRI, tukar guling tanah Kodam V Brawijaya, impor mobil tanpa bea masuk untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan fasilitas AD, mark-up harga dalam pembelian heli Mi-15, pembelian fiktif pesawat Fokker-50, mark-up dalam pembelian senjata sampai dengan pembelian jet tempur Sukhoi, dan terakhir heboh harga pembelian tank Leopard dari Jerman.

Beberapa dari kasus-kasus tersebut sudah ditangani, misalnya oleh Kejaksaan Agung, akan tetapi belum juga tertuntaskan hingga kini. Beberapa orang sudah diadili dalam korupsi PT ASABRI, namun ada jenderal yang diselamatkan dengan mutasi ke sektor pemerintahan dalam negeri. Pada umumnya, agaknya, korupsi di tubuh militer berlangsung bagai konser musik kamar di ruang tertutup.

Terhadap kasus-kasus suap dan korupsi di tubuh Polri, publik juga memiliki sejumlah keluhan. Tiga jenderal yang terlibat dalam ketidakberesan penanganan Gayus Tambunan, belum tersentuh tangan hukum semestinya, dan hanya sejumlah perwira bawahan yang diadili dan dihukum sebagai tumbal. Sementara itu, Komisaris Jenderal Susno Duadji sang whistle blower malah duluan diadili dan dihukum. Bagaimana pula dengan kasus rekening gendut perwira Polri? Dulu pernah juga ada berita tentang seorang Jenderal Polisi yang isi rekeningnya mencapai 1 trilyun rupiah lebih, tapi kini berita itu tenggelam hanya dengan bantahan-bantahan. Benarkah sejumlah oknum perwira Polri terlibat rekayasa dalam kasus Antasari Azhar yang terkait kepentingan tingkat tinggi, yang kejanggalannya pernah diungkap Susno Duadji? Terbaru, tentu saja mengenai kasus korupsi alat simulasi Korlantas Polri, yang paling tidak, melibatkan dua jenderal. Publik mencurigai sikap bersikeras Polri untuk menangani sendiri kasus yang sudah ditangani KPK itu. Apakah ada jalinan keterlibatan yang lebih tinggi dan lebih luas di tubuh Polri dalam kasus ini?

Ketersendatan penanganan berbagai kasus korupsi di tubuh Polri maupun di sektor Pertahanan Keamanan, bisa menimbulkan kerisauan ke depan. Soalnya, apalagi, sektor Hankam dan Polri berada dalam lima besar alokasi anggaran APBN tahun 2013. Lima besar APBN itu berturut-turut adalah Kementerian Pertahanan Keamanan (naik menjadi 77,27 trilyun rupiah), Kementerian Pekerjaan Umum (69,14 trilyun, turun dari 74,97 trilyun), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (66 trilyun, turun dari 74,97 trilyun), Kepolisian Republik Indonesia (naik menjadi 43,4 trilyun) dan Kementerian Agama (naik menjadi 41,73 trilyun). Justru sebagian besar dari kementerian itu, sedang dalam fokus sorotan beberapa waktu terakhir ini.

Tak kalah merisaukan, di atas segalanya, adalah fakta bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang secara retorik menempatkan pemberantasan korupsi sebagai mahkota pencitraannya, ternyata tak (pernah) membuktikan apa-apa yang cukup berarti, selain sekedar bicara……. dan 'mengeluh'. Tak pernah membantu KPK dengan perbuatan nyata, segan bertanya kepada Jaksa Agung dan lebih-lebih tak pernah bersuara apalagi 'bertindak' mendisiplinkan dan melecut Polri ke arah yang benar.

(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com).
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top