Hari kedua di Pau adalah hari pertama bersepeda menjajal rute kondang Tour de France. Jarak totalnya hanya hampir 60 kilometer. Tapi, tanjakan dan siksaannya bikin yang pengalaman bilang, Aduuuuhhh....
Catatan AZRUL ANANDA
BAGI penggemar berat bersepeda, khususnya road bike (sepeda balap), ada satu tujuan yang menurut saya merupakan esensi dari hobi ini: menaklukkan suffering alias penderitaan. Semakin cepat dan semakin jauh bersepeda, semakin berat suffering-nya. Semakin tinggi tanjakannya, semakin berat lagi suffering-nya.
Dan, semakin mahal serta semakin cepat sepeda yang kita beli, semakin jauh dan semakin parah suffering yang bisa kita kejar dan bisa kita taklukkan. Salah seorang teman saya pernah bilang, Ini olahraga yang tidak bisa bohong. Kalau main sepak bola atau basket, kita bisa sembunyi. Tidak mengejar bola atau tidak bergerak tanpa bola. Kalau balap sepeda, semua kemampuan dan kemauan kita akan terlihat jelas oleh semua.
Eddy Merckx, Michael Jordan-nya balap sepeda, pernah bilang bahwa dirinya meraih sukses karena punya kapasitas mengalahkan suffering lebih besar daripada yang lain. Setelah hari pertama bersepeda di Pau, Prancis, rombongan Jawa Pos Cycling baru benar-benar sadar bahwa beberapa hari ke depan akan disuguhi banyak menu suffering.
***
Senin lalu (16/7) merupakan hari pertama 16 peserta rombongan penggemar sepeda Indonesia merasakan betapa sulit dan hebatnya rute Tour de France. Ketika sirkus yang sebenarnya menjalani etape 15 dari Samatan ke Pau, rombongan kami diajak keluar sedikit dari Pau menuju salah satu rute tanjakan paling terkenal dalam sejarah Tour de France.
Kami diajak menuju Col de Marie-Blanque, salah satu jalur menuju salah satu puncak di pegunungan Pyrenees. Sebelum berangkat, ketika memilih program tur yang ditawarkan Discover France dan Amaury Sport Organisation (ASO) sebagai organizer Tour de France, kami memilih yang moderate. Seharusnya tidak terlalu berat, hanya kira-kira 60 km sehari.
Hari itu kami langsung menyadari apa itu moderate. Bagi penggemar sepeda amatir yang non pembalap, walaupun sudah punya pengalaman tahunan, moderate-nya Prancis itu sama dengan Aduh, ternyata berat!
Col de Marie-Blanque memang tidak dilintasi Tour de France 2012. Rute lomba setiap tahun memang berubah supaya setiap tahun tantangan-tantangannya berbeda. Tapi, Col de Marie-Blanque ini salah satu yang paling kondang. Sejak 1978, sudah 14 kali dijadikan salah satu menu tanjakan Tour de France. Kali terakhir pada 2010, ketika Juan Antonio Flecha (Team Sky) menjadi yang pertama mencapai puncaknya.
Dari hotel kami di Pau, jarak menuju ke sana sekitar 60 kilometer. Berdasar brifing yang kami terima dari pemandu kami, Francois Bernard dan Martin Caujolle, kami dijadwalkan berangkat pukul 08.30 pagi.
Lalu, ketika berhasil menaklukkan Col de Marie-Blanque, kami bisa balik hotel, mandi, dan ganti baju. Lalu, sebagai hadiah, sorenya langsung menuju tengah kota menyaksikan finis Etape 15 Tour de France 2012.
***
Karena baru tiba Minggu sore (15/7), rombongan masih melawan jet lag pada Senin pagi. Tidak perlu makan pagi hingga pukul 07.30-an, beberapa anggota rombongan sudah bangun beberapa jam sebelum itu. Beberapa orang bahkan sudah menaiki sepedanya putar-putar kawasan hotel.
Jadi sebenarnya bukan sekadar jet lag, tapi juga masih sangat excited, bersemangat tak sabar segera bersepeda. Ketika keluar itu, kami sadar bahwa ada tantangan lain yang harus kami lawan: hawa dingin pagi di kawasan Pyrenees. Meski musim panas dan sorenya akan panas, suhu di pagi hari hanya di kisaran 15 derajat Celsius.
Pagi itu kami akhirnya berangkat terlambat sekitar 30 menit. Bukan disebabkan terlambat siap, tapi karena ada banyak masalah sepeda kecil-kecil yang harus diatasi. Karena malam sebelumnya buru-buru merakit sepeda, ada saja yang terlupakan atau belum pas.
Para peserta pun saling membantu. Bernard dan Caujolle juga dengan cekatan membantu.
Ketika akhirnya berangkat, Caujolle memandu dengan mengendari van di depan. Bernard berpisah dulu, belanja menyiapkan makan siang kami sebelum bergabung di jalur menanjak.
Saat itu kami belajar mengikuti aturan Prancis (tertib satu-satu, tertib dua-dua). Lalu, kami diminta untuk menjaga jarak sekitar 15 meter di belakang van.
Jalanan kota berpenduduk 84 ribu orang itu kami lalui. Jalanan kampung-nya pun kami lalui. Lalu, naik perbukitan yang cukup menantang, beberapa kali berhenti untuk menunggu yang ketinggalan dan berfoto. Atau berhenti ketika ada sepeda yang masih butuh disetel lebih baik.
Saat melintasi perbukitan itu kami sadar, wah, kok tanjakannya berat-berat ya Itu masih pemanasannya. Habis ini kita bergabung dulu di jalan utama, lalu baru masuk rute tanjakan Col de Marie-Blanque, jelas Caujolle.
Meski berat, peserta masih senyum-senyum. Apalagi, pemandangannya begitu indah dan udaranya begitu bersih.
Ketika mulai naik Col de Marie-Blanque, baru senyum-senyum itu berubah menjadi wajah penuh konsentrasi menaklukkan siksaan. Ungkapan-ungkapan kekaguman berubah jadi aduh, aduh, aduh.
***
Di Indonesia, kami semua sering mengikuti rute tanjakan. Yang di Jawa Timur, ada rute Pacet, Pandaan, Sarangan, dan Gunung Kelud. Masalahnya, kami tak pernah bisa mengukur secara kuantitatif, itu beratnya seberapa.
Di Prancis, dan di Tour de France, semua tanjakan diukur. Ada kategori 4, 3, 2, 1. Semakin kecil angka, semakin berat tantangannya. Tapi, masih ada yang paling berat, namanya Hors Categorie (HC). Nah, Col de Marie-Blanque masuk kateri 1!
Panjang total tanjakan ini adalah 15 km. Ketinggian di puncak mencapai 1.035 meter. Rata-rata persentase (%) tanjakannya memang tidak terlihat ajaib, hanya di kisaran 5%. Tapi, di kaki sampai tengahnya benar-benar membunuh. Kira-kira 5 km punya kemiringan 7,5% sampai 8,5%.
Seberapa membunuh? Kecepatan rata-rata hanya sekitar 7-10 km/jam, dan itu rasanya beraaaaaaaattt sekali. Di beberapa bagian yang benar-benar curam, naik sepeda dan jalan kaki bisa sama kecepatannya!
Kalau seperti ini, Sarangan ke Camar Sewu (di dekat Madiun, Red) tidak ada apa-apanya, celetuk Sony Hendarto, peserta dari Madiun, yang menunggangi sepeda karbon custom, Independent Fabrication.
Tantangan itu terasa lebih berat karena peserta tidak dalam kondisi seratus persen fit. Ya gara-gara jet lag. Kekuatan kita ini masih sekitar 80 persen, komentar Sun Hin Tjendra, 40, jagoan lomba dan tanjakan Surabaya Road Bike Community (SRBC).
Beberapa peserta memang rontok. Karena kram, terpaksa diangkut naik van menuju puncak.
Saya sendiri harus berhenti beberapa kali. Bukan karena kram, tapi untuk menenangkan diri. Detak jantung saya terus menembus 170 bps (detak per detik) karena nafsu ingin mencapai puncak secepat mungkin.
Beberapa teman terus mengingatkan untuk tenang. Untuk lebih cepat sampai ke puncak, kadang harus dilakukan dengan kecepatan lebih rendah, tapi konstan dan sabar.
Apalagi, kita sudah jauh-jauh ke Prancis. Rugi kalau tidak bisa finis di tantangan pertama. Untuk menenangkan diri, saya ya nyanyi-nyanyi saja: Aduh, aduh, ke puncak gunung. Sudah telanjur bayaaaaaaaar.
Sun Hin dan Bambang Poerniawan, 57, merupakan jagoan tanjakan kami hari itu (dan selama ini memang jagoan tanjakan di komunitas sendiri). Duluan sampai ke puncak.
Saya dan beberapa yang lain harus berjuang mengalahkan diri sendiri. Mencari pengalih perhatian agar tenang dan semangat ke puncak.
Djoko Andono, ketika bersama saya melintasi salah satu kawasan tempat orang berpiknik, lihat kanan-kiri saja mengagumi keindahan. Apalagi ketika ada aliran sungai kecil yang airnya begitu jernih. Pemandangannya bikin semua terbayarkan. Udaranya juga tidak bisa kita dapatkan di Indonesia, celetuknya.
Khoiri Soetomo dari SRBC juga termasuk yang sampai ke puncak duluan. Tapi, kami suka bercanda kalau dia mengajak putranya, Muhammad Satrio Wicaksono, 16, untuk menyiksanya. Sebab, Satrio selama ini belum pernah latihan naik sepeda balap!
Walau belum sanggup menempuh jarak jauh, Khoiri menyebut anaknya itu memecahkan rekor dunia. Siapa lagi yang pengalaman pertama dalam hidupnya naik sepeda balap langsung di rute Tour de France. Sebelum ini dia sama sekali belum pernah naik balap, ucapnya lantas tertawa.
***
Semangat untuk mencapai puncak, mengalahkan diri sendiri, terus mendorong saya dan teman-teman untuk finis. Untungnya, di setiap kilometer ada penanda yang memberi tahu jarak dan persentase tanjakan ke depan.
Dan untungnya, dua kilometer terakhir tergolong ringan. Ketika kurang 2 km, persentasenya 0 alias datar. Meski karena mata saya mulai kabur, saya sempat mengira 0% itu adalah 8%.
Begitu sadar 0%, saya langsung geber sepeda lagi sampai 30-an km/jam. Lalu, kilometer terakhir adalah 3%. Kecepatan turun lagi ke 10 km/jam. Di ujung, teman-teman yang sampai duluan sudah menyambut dan bertepuk tangan.
Puas rasanya!
Meski demikian, kami semua sepakat Champion kita hari itu adalah Prajna Murdaya. Meski dia mencapai puncak terakhir setelah satu jam sesudah yang pertama.
Sebagai penggemar berat road bike, Prajna tidak bisa banyak latihan karena kesibukan yang luar biasa. Tapi, dia benar-benar bertekad untuk finis di atas sepeda walau di tengah-tengah sempat kram dan harus berhenti.
Martin Caujolle mengendarai vannya menuju ke bawah, untuk menjemput Prajna. Tapi, Prajna tak mau diangkut mobil. Caujolle pun menyemangati dia dengan terus membunyikan klakson di belakang sepeda Prajna!
Ketika akhirnya sampai, Prajna pun mengepalkan tangan. Semua yang melihat bersorak dan bertepuk tangan. I am going to die! Never surrender! (Saya rasanya akan mampus! Tapi, saya tak mau menyerah!) teriak Prajna.
Dia juara hari ini. Saya tadi melihat bahwa dia itu sudah tidak sanggup. Tapi, dia terus ngotot untuk finis. Itu semangat luar biasa. Mentalnya kuat sekali, puji Liem Tjong San, peserta dari Makassar Cycling Club (MCC).
Saya tidak jauh-jauh ke sini dan membayar mahal untuk finis jalan kaki ...