Perjalanan ke Taman Nasional Tesso Nilo hanya memakan waktu empat jam dari kota Pekanbaru, Riau. Saya dan teman-teman menyewa mobil seharga Rp500.000 untuk sekali jalan (termasuk ongkos pak supir dan uang makannya) dari Pekanbaru ke taman nasional menuju Flying Squad Camp. Jangan bayangkan di sana menginap dengan tenda karena akomodasi di Tesso Nilo semuanya rumah-rumah kecil untuk tamu walaupun namanya “camp“. Biayanya? Gratis, asalkan menghubungi Flying Squad Camp yang ada sebelum perjalanan. Biaya untuk penginapan bisa dialihkan ke anggaran makan yang berkisar antara Rp15.000 – Rp25.000 per sekali makan.
Kamar tempat menginap saya
“Tesso Nilo” diambil dari nama dua sungai besar yang ada di Riau, Sungai Tesso dan Sungai Nila. Kira-kira 20 menit dari camp, ada jembatan yang melintas Sungai Nila. Nah, di sini tempat masyarakat mencuci baju, mandi dan memancing. Kebetulan saya dan teman-teman gemar mandi di sungai, jadi tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Air sungai sedikit kemerahan karena bercampur gambut. Yang unik, pinggiran sungai semuanya pasir putih mirip pantai. Kami menemukan batang kayu besar mencuat dari bukit samping sungai dan lompat ke air dari situ secara bergantian. Ketika hari mulai gelap kami naik dan duduk-duduk di pasir putih sambil menunggu mobil jemputan.
Sebelum tahun 2000, taman nasional ini “habis” dirambah para pembalak liar. Jangan heran jika memasuki wilayah taman nasional, jarang ditemui pohon hutan alam karena didominasi pohon akasia (pohon akasia merupakan pohon tanaman industri pulp dan kertas). Adanya pohon akasia menandakan daerah ini dulunya ditebang habis, kemudian ditanami kembali oleh satu jenis pohon saja demi keperluan bisnis.
Sebelum tahun 2000, taman nasional ini “habis” dirambah para pembalak liar. Jangan heran jika memasuki wilayah taman nasional, jarang ditemui pohon hutan alam karena didominasi pohon akasia (pohon akasia merupakan pohon tanaman industri pulp dan kertas). Adanya pohon akasia menandakan daerah ini dulunya ditebang habis, kemudian ditanami kembali oleh satu jenis pohon saja demi keperluan bisnis.
“Mahout” melatih gajah
Nama “Flying Squad” sendiri terkait dengan program elephant flying squad, yaitu sebuah program yang dirintis WWF-Indonesia, sebuah organisasi konservasi, untuk melatih gajah liar menjadi “jinak” demi mitigasi konflik manusia dan gajah di kawasan Tesso Nilo. Gajah-gajah ini dilatih melakukan patroli di hutan dan menghalau gajah liar untuk meminimalisir konflik antara masyarakat dan gajah liar yang masuk ke desa-desa. Walaupun terdengar menyenangkan, pekerjaan melatih gajah sangat berat. Para pelatih disebut “em&mahout“, berasal dari Bahasa India. Nyawa adalah taruhan terbesar dalam pekerjaan mereka. Menghalau gajah liar yang marah adalah pekerjaan yang hasilnya tidak bisa diprediksi.
Tujuan perjalanan saya ke Taman Nasional Tesso Nilo untuk bertemu para mahout serta peneliti harimau Sumatra. Tiap hari saya mendengar kisah pekerjaan mereka yang begitu inspiratif dalam melatih gajah atau mencari jejak harimau, termasuk bertemu dengan masyarakat lokal.
Masing-masing gajah memiliki karakter tersendiri. Ada 10 gajah latih di sana bernama Ria, Lisa, Indro, Rahman, Nofi, Dono, Tesso, Nela, Imbo dan Jambo.
Mahout memandikan gajah
Penduduk sekitar mandi dan mencuci baju
Bagi yang datang ke sana dan tertarik melihat gajah sedang mandi, para mahout akan senang menemani. Satu peringatan dari saya saat naik gajah: pegang talinya yang erat! Saya sendiri jatuh ke sungai saat naik gajah. Pengalaman lucu yang tak terlupakan. Selama dekat gajah, pakai lotion anti serangga karena banyak lalat yang menempel di badan gajah, atau ambil satu ranting dengan beberapa cabang daun dan tepuk badan gajah agar lalat pergi.
capek....
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !