H Agus Salim gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sempat ditangkap dan diasingkan Belanda. Gigih berbicara di forum internasional demi Indonesia. Cerdik, pintar dan menguasai sedikitnya sembilan bahasa. Hanya satu kekurangannya: Melarat.
"Beliau jenius dalam bidang bahasa. Barangkali ia paling pandai dari seluruh mereka itu. Beliau mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu semasa hidupnya melarat," ujar Mohamad Roem mengagumi teladan bangsa yang satu ini.
Tapi itulah bukti pria kelahiran 8 Oktober 1884 ini tidak silau oleh harta. Sikapnya teguh, dan bersahaja. Agus Salim bersama Cokroaminoto mengembangkan Sarikat Islam. Dia pernah duduk di Volksraad atau Dewan Rakyat mewakili Sarikat Islam tahun 1921-1924. Di sini Agus Salim dikenal jago berdebat dan berpidato dalam bahasa Belanda. Agus Salim mundur karena mengetahui Belanda tak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan nasib pribumi.
Dari awal perkenalan, M Roem sudah terkesan dengan kesederhanaan Agus Salim. Keduanya bertemu tahun 1925. Sebagai tokoh Sarikat Islam dan mantan anggota dewan, seharusnya Agus Salim hidup layak. Tapi tidak, dia tinggal di sebuah gang di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Rumahnya sangat sederhana.
"Sampai Stasiun Senen jalannya sudah diaspal, seterusnya masih tanah dan banyak berlobang. Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak," tulis M Roem dalam buku 'Bunga Rampai dari Sejarah'.
Kemudian Agus Salim pindak ke Gang Toapekong. Lagi-lagi kondisi rumahnya pun tidak layak. Ada meja dan kursi di ruang depan. Sisanya kosong melompong. M Roem merasa terenyuh dengan kondisi keluarga Agus Salim.
Setelah itu mereka pindah menumpang di Jatinegara. Tinggal berjejal dalam sebuah kamar. Lalu pindah ke Bogor. Agus Salim juga sempat tinggal di Gang Lontar I.
"Kalau mau ke Gang Lontar I, maka kita harus masuk dulu ke Gang Kernolong kemudian masuk lagi ke Gang Lontar I. Rumahnya lebih sederhana dari rumah-rumahnya yang terdahulu," tulis M Roem.
Agus Salim terkenal keras. Dia tidak segan mundur dari perusahaan penerbitan yang dipimpinnya. Alasannya, pemilik perusahaan khawatir dengan kritik-kritik Agus Salim yang terlalu keras. Walau harus tidak punya uang dan terpaksa pindah rumah. Agus Salim juga tidak mementingkan materi, waktunya habis untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengajar agama.
Kelak setelah kemerdekaan, Agus Salim menjadi menteri muda luar negeri dalam kabinet Sjahrir. Kemudian Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947 dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949.
Sosoknya masih sama sederhana seperti dulu. Pengabdiannya tidak diragukan. Kekurangannya cuma satu, hidupnya melarat.