Pendakian gunung sumbing ini adalah bagian kedua dari rangakain ekspedisi Ramadlan setelah ekspedisi sebelumnya sahur di gunung cikurai. Pilihan untuk berbuka di gunung sumbing ini bisa dibilang mendadak, karena rencana awal adalah gunung burangrang. Tapi karena waktu Ramadlan yang hampir habis dan saya harus mudik ke Klaten, maka dipilihlah gunung sumbing yang tidak begitu jauh dari klaten sekalian mudik. Oke, daripada bertele-tele, langsung saja
Gunung sumbing adalah gunung bertipe strato, dengan ketinggian 3372 mdpl. Terletak di kabupaten Wonosobo dan Temanggung. Keadaan alam di sekitar gunung sumbing sudah cukup parah karena banyak dieksploitasi untuk ladang tembakau dan mencari kayu bakar oleh warga.
Sabtu (27 agustus) malam; Sekitar pukul 20 saya sampai rumah di Klaten dan segera beristirahat karena sesuai rencana, pendakian akan dilakukan besok pagi bersama teman saya dari Jogja.
Minggu (28 agustus) pagi: Sekitar pukul setengah enam, kawan saya sudah datang menjemput saya. Setelah melakukan pengecekan bekal dan meninggalkan barang yang tidak perlu, sekitar pukul 6 kami segera memacu bebek besi menuju gunung sumbing. Pendakian kami akan menggunakan jalur garung Wonosobo. Oh iya, karena target pendakian ini adalah untuk berbuka di puncak dan segera turun, maka kami tidak membawa perlengkapan memasak maupun berkemah. Itulah alasannya, kenapa sebagian barang yang dibawa teman saya ditinggal agar tidak terlalu membebani pendakian.
Setelah hampir 3 jam menembus dinginnya angin pagi jalanan Klaten-Jogja-Semarang-Temanggung akhirnya sampailah kami di perbatasan Temanggung-Wonosobo. Dari gapura perbatasan ini, untuk mencapai pos pendakian hanya dibutuhkan waktu sekitar 10 menit sehingga kami menyempatkan berhenti untuk mengambil beberapa foto kenangan.
diperbatasan:
sindoro:
aing:
sumbing dari perbatasan:
gapura wonosobo:
memasuki garung:
Pukul sembilan lebih, kami berdua sampai di basecamp STICKPALA di dekat masjid yang biasa digunakan untuk istirahat pendaki sebelum memulai pendakian. Tapi ternyata pos perijinan ada dibawah sehingga kami harus kembali untuk menitipkan kendaraan dan mendapat ijin pendakian. Di pos perijinan, sebenarnya ketika pembayaran registrasi pendakian ternyata kami membayar terlalu mahal dan tidak mendapat kembalian, tapi tidak perlu dibahas disini.
Setelah packing ulang, pukul 10 kami memulai pendakian melalui jalur lama. Karena berjalan dari pos perijinan, maka trek awal yang kami lalui adalah jalan kampung selama sekitar sepuluh menit. Di kampung ini, setiap harinya tercium bau tembakau yang merupakan komoditas utama. Dari usaha tembakau ini, warga di kampung Butuh tergolong cukup makmur. Dan seperti pada umumya kampung di daerah jawa tengah, warga di kampung butuh termasuk ramah dan murah senyum.
Selepas kampung, jalur berikutnya adalah ladang tembakau. Jalan di jalur ladang tembakau ini sama seperti jalan di kampung, batu-batuan yang ditata sangat rapi. Perjalanan di sini sebenarnya kurang menyenangkan karena belum melakukan pendakian yang sebenarnya. Namun keadaan ini terobati oleh pemandangan sekitar kebun tembakau yang sangat indah dengan latar gunung sindoro yang menjulang gagah. Saya yang ingin segera sampai pintu hutan harus sering berhenti menunggu kawan saya yang mengambil foto pemandangan yang memang sangat indah.
jalur ladang:
sindoro:
sindoro:
ladang:
ladang:
ladang:
Setelah 45 menit berjalan di jalur kebun tembakau, sampailah kami di perbatasan hutan dan ladang yang biasa disebut bosweisen. Dari pintu hutan, jalan yang kita lalui adalah jalan berdebu dibawah naungan pohon-pohon yang tidak terlalu lebat sampai di pos 1. Perjalanan menuju pos 1 ini kami lalu dengan cepat karena memang tidak begitu banyak yang cukup menarik untuk diambil gambarnya.
Dari pos 1, tidak berapa lama jalur berubah semakin terbuka karena di samping kiri merupakan lereng dengan vegetasi semak. Kami tidak berhenti di pos 2 selain karena memang ingin segera sampai puncak, juga karena lokasi pos 2 ini sangat tertutup oleh semak-semak sehingga kurang nyaman untuk istirahat. Kami berhenti tepat ketika adzan dzuhur berkumandang di tempat yang disebut engkol-engkolan. Di tempat ini, pemandangan kearah pemukiman dan kearah gunung sindoro cukup terbuka.
jalur genus:semak:
di engkol-engkolan:
Tidak jauh setelah engkol-engkolan, kita telah sampai di pos 3. Jalur setelah pos 3 ini tergolong tandus dengan vegetasi rumput. Namun karena merupakan daerah terbuka, pemandangan disini sangat indah terutama kalau bukan musim kemarau seperti waktu saya melakukan pendakian ini. DInding batu yang hitam dikombinasikan dengan rumput sabana yang hijau kekuningan, cukup untuk membuat saya berkali-kali berhenti untuk sejenak menikmati pemandangan.
jalur pos 3: trek tandus dimulai:
kiri jalan:
narsis dikit boi:
narsis lagi boi:
Setelah perjalanan dengan frekwensi berhenti yang cukup sering, sampailah kami di kawasan Pestan atau kadang disebut juga Pasar Setan. Kawasan Pestan ini merupaka kawasan yang sangat tandus dan menurut penuturan banyak orang sering terjadi angin yang cukupkuat, sehingga tidak disarankan mendirikan tenda di sini. Di Pestan, kami menyempatkan berhenti sejenak untuk mengatur nafas yang mulai sesak oleh debu yang beterbangan… tentu saja sambil mengambil beberapa foto.
jalur pestan:
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
kiri jalan:
narsis dikit boi:
narsis lagi boi:
Setelah perjalanan dengan frekwensi berhenti yang cukup sering, sampailah kami di kawasan Pestan atau kadang disebut juga Pasar Setan. Kawasan Pestan ini merupaka kawasan yang sangat tandus dan menurut penuturan banyak orang sering terjadi angin yang cukupkuat, sehingga tidak disarankan mendirikan tenda di sini. Di Pestan, kami menyempatkan berhenti sejenak untuk mengatur nafas yang mulai sesak oleh debu yang beterbangan… tentu saja sambil mengambil beberapa foto.
jalur pestan:
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
Post a Comment Blogger Facebook