Dari pengalaman melewati meja imigrasi di beberapa negara, ada satu hal yang saya pelajari, tak perlu berusaha ramah pada para petugas. Serahkan paspor, tak usah tersenyum, jawab singkat jika mereka bertanya, setelah selesai, ucapkan terima kasih.
Tetapi kali ini, petugas imigrasi di bandara Tiruchirapalli ini tersenyum dan mengajak saya bercakap-cakap.
“Apakah kamu bisa berbicara bahasa Inggris?” tanya dia.
“Bisa.”
“Oh baguslah kalau begitu. Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, dan ketika saya bertanya sesuatu pada mereka dalam bahasa Inggris, mereka tidak menjawab. Mereka hanya berdiri di situ, dan terus-terusan tersenyum,” kata perempuan itu sambil tertawa. “Selamat datang di India.”
“Apakah kamu bisa berbicara bahasa Inggris?” tanya dia.
“Bisa.”
“Oh baguslah kalau begitu. Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, dan ketika saya bertanya sesuatu pada mereka dalam bahasa Inggris, mereka tidak menjawab. Mereka hanya berdiri di situ, dan terus-terusan tersenyum,” kata perempuan itu sambil tertawa. “Selamat datang di India.”
Paspor saya pun dicap.
“Terima kasih.”
***
Semua rencana itu akhirnya terwujud. Saya dan seorang teman tiba juga di India pada 14 Oktober 2010 lalu. Kami melihat dari jendela saat pesawat bersiap mendarat, tanah datar berwarna jingga mendominasi. Dengan waktu yang kami miliki (10 hari), negara bagian Tamil Nadu menjadi pilihan. Tiruchirapalli, atau Trichy untuk singkatnya, salah satu kota dengan bandara internasional di negara bagian Tamil Nadu, menjadi perhentian pertama kami lewat Kuala Lumpur.
Tak banyak wajah asing yang kami temui selama berperjalanan di Tamil Nadu. Meski di sana-sini, kadang kami disapa oleh warga negara Malaysia keturunan Tamil yang memang datang ke berbagai kuil di negara bagian ini untuk berziarah dan beribadah. Tamil Nadu memang lebih sering menjadi tujuan perjalanan religius dibanding daerah wisata.
Salah satu alasan yang membuat saya memilih negara bagian ini adalah adanya beberapa lokasi yang memiliki keterkaitan dengan candi-candi Asia Tenggara. Saya sering melihat Prambanan, saya jatuh cinta pada Angkor Wat, maka menelusuri akar candi-candi itu sampai ke Tamil Nadu rasanya pas.
Jika dibandingkan dengan kota-kota lain yang kami kunjungi, Trichy termasuk tenang. Tak membuat kepala hampir pecah karena serangan bunyi klakson. Bis kota menjadi moda transportasi dalam sebagian besar perjalanan ini. Tiketnya murah (antara Rs3-Rs5 per perjalanan atau Rp 600-Rp 1000!) dan kami bisa melewati bagian-bagian kota yang menjadi pusat keramaian penduduk lokal.
Dan lewat perjalanan bus menuju Rock Fort Temple itulah saya baru sepenuhnya menyadari bahwa saya sedang berada di tempat asing, di sebuah tempat yang baru. Bus kami melewati semacam pasar induk berukuran kecil, tumpukan tomat, cabai, dan deretan gerobak dorong yang diparkir menjadi sebuah pemandangan yang fotogenik. Deretan rumah tua berukuran kecil malah membuat saya teringat pada rumah-rumah tradisional di Malaka, atau di Kota Tua, Jakarta, dan beberapa yang masih tersisa di kawasan Kampung Melayu. Ledakan warna dan kekayaan objek seperti inilah yang nantinya akan terus-terusan terjadi selama perjalanan.
Tujuan pertama kami di Trichy adalah Rock Fort Temple. Ada dua kuil yang terdapat di sebuah tebing tinggi, kokoh mencuat di tengah-tengah keramaian bazaar Chinnar. Buku petunjuk yang saya pegang menyebut ada 437 anak tangga menuju kuil di puncak bukit, tempat pengunjung bisa melihat pemandangan lansekap kota dan luasan sebaran permukiman Trichy.
Seperti halnya berkunjung ke tempat-tempat suci, perhatikan mulai dari mana batas alas kaki harus dilepas. Salah satu kuil di tebing itu, Sri Thayumanaswamy, tak boleh dimasuki oleh mereka yang tidak memeluk Hindu. Padahal bagian inilah yang menarik, karena kuil tersebut dipahat di bukit batu. Tampaknya kami harus mulai terbiasa dengan peringatan ‘only Hindus allowed‘ dalam perjalanan ini.
Kami pun kembali menaiki tangga sampai puncak bukit untuk melihat Trichy. Lalu inilah yang saya dapati, kepadatan gedung-gedung berbentuk kotak dengan cat-cat warna pastel yang sudah mulai mengelupas dan jalan-jalan yang rapi membelah kota. Ada juga atap-atap gopura dari kuil-kuil berikutnya yang akan kami lihat nanti di seberang sungai, menyembul dari pohon-pohon kelapa yang masih
banyak terlihat.
banyak terlihat.
Kuil kedua di puncak bukit ini sebenarnya biasa saja. Ukurannya seperti rumah dengan dua kamar, jendelanya berteralis besi, lantainya marmer, dan ada sebuah ruangan gelap di tengah ruangan yang menyimpan patung Ganesha. Di kuil inilah saya pertama kali mengambil foto seorang anak India, objek favorit para turis asing yang datang ke subkontinen ini. Anak lelaki itu tampak senang ketika saya tunjukkan bagaimana wajahnya terlihat di layar LCD kamera.
Kami melanjutkan perjalanan dengan bis kota menuju kuil Sri Jambukeshwara. Karena kami datang pada hari Jumat, maka kami berkesempatan melihat aktivitas lelang kain sari. Kuil-kuil kerap menerima pemberian kain sari dari orang-orang yang merasa bersyukur doanya sudah dikabulkan. Setiap Jumat, kain-kain ini kemudian dilelang. Si pemberi kain sari pun ikut hadir dalam acara lelang. Tawar-menawar atau harga akhir harus disetujui oleh pemberi kain.
Kami bertemu keluarga dengan dua anak praremaja yang siang itu membeli kain. Si ibu menjelaskan bahwa nantinya kain tersebut akan diberikan pada ibu mertuanya. Mereka memutuskan membeli karena kain tersebut pernah dikenakan oleh (patung) para dewa sehingga terberkahi.
Oh ya, salah satu hal yang menyenangkan dari berkunjung ke kuil-kuil ini adalah mereka selalu menyediakan keran air dan gelas stainless steel yang bisa digunakan oleh siapa saja.
Higieniskah?
Saya tidak mengalami keluhan kesehatan apa pun selama dalam perjalanan. Dan orang-orang yang kami temui punya kebiasaan minum tersendiri. Baik di tempat makan, atau di kuil, orang-orang meminum air dari gelas stainless steel ini tanpa menyisipnya dari bibir gelas. Dari gelas, mereka menuang air ke mulut. Butuh latihan tersendiri tentunya untuk bisa melakukan itu tanpa menumpahkan air ke pangkuan, sesuatu yang sering terjadi pada saya sampai akhirnya saya menyerah.
Kuil terakhir yang kami datangi siang itu adalah Sri Ranganathaswamy. Ada tujuh gerbang gapura yang harus dilewati sebelum masuk ke kuil inti. Di setiap lapisan gerbang yang mengelilingi kuil, terdapat permukiman dan pasar. Ramai oleh orang-orang yang menjual perlengkapan ibadah, minuman ringan bagi para peziarah, biji kopi, bunga, sayur-sayuran, toko perhiasan, toko pakaian, dan kantor pos.
Di kuil ini tampaknya kami harus menggunakan seorang pemandu. Pemandu kami bernama Bruce Lee. Pemuda Tamil itu meyakinkan kami bahwa itulah nama sebenarnya, dia menunjukkan tato nama tersebut di lengannya, dan teman-temannya pun memanggil dia dengan nama itu.
Satu hal yang menonjol dari bepergian mengunjungi kuil-kuil ini adalah Anda akan selalu dimintai sumbangan meski sudah membayar tanda masuk plus tiket untuk kamera. Di Sri Ranganathaswamy pun Bruce Lee memperingatkan, “Para brahma di sini adalah mafia. Mereka akan menjebak Anda untuk memberikan sumbangan yang sangat banyak. Tapi Anda aman jika bersama seorang pemandu.”
Oh-oh.
Setidaknya harga yang ditawarkan Bruce Lee atas jasanya jauh lebih murah dari yang ia klaim akan dikenakan oleh para brahma ke pengunjung kuil.
Bagian paling menarik dari kuil ini adalah tiang-tiang batu dengan ukiran kuda serta pahatan para serdadu yang menaikinya. Bruce Lee menunjukkan, patung seekor harimau yang tenggorokannya ditusuk tombak oleh serdadu yang menaiki kuda. Menurut dia, dalam perang Hindu-Islam, harimau melambangkan Islam, maka patung itu menggambarkan pasukan Hindu yang berhasil membunuhi orang-orang
Islam. Sementara di patung lain ada sosok Marco Polo yang muncul.
Islam. Sementara di patung lain ada sosok Marco Polo yang muncul.
Pola ukiran ulir dalam pilar-pilar ini mengingatkan saya pada Angkor Wat dan candi-candi di Jawa Tengah. Hanya saja, jika batu yang digunakan oleh candi-candi di Jawa Tengah adalah batu kali yang hitam, di sini yang digunakan adalah batu pasir berwarna merah muda.
Kedetilan pahatan di pilar-pilar itu membuat saya takjub. Jika saya tidak bersama orang lain, saya bisa terus-terusan berada di situ, mengamati setiap ukiran, dan membayangkan kehidupan sehari-hari sebuah peradaban yang menghasilkan karya seperti ini. Untungnya ini baru sekelumit dari peninggalan sejarah kebudayaan Tamil yang kami lihat. Masih ada kuil-kuil dan candi-candi berikutnya.
http://feedproxy.google.com/~r/ranselkecil/~3/SHPgGr2rXOM/menjadi-peziarah-di-trichy
Post a Comment Blogger Facebook