GuidePedia

0
Saya akhirnya memotong lengan kaos merah saya. Selepas dari Camp 3, hutan hujan tropis di ketinggian 2000 mdpl ini sudah semakin terasa panas. Jalan dengan beban ransel di punggung di bawah terik matahari membuat beberapa di antara kami berlima memutuskan untuk memakai kaos kutung saja, bukan lengan panjang pelindung dari terik ataupun dari duri-duri tanaman. Saat itu jam menunjukkan pukul 3 sore. Ketinggian semakin bertambah hingga kami mencapai posisi Camp 4 jalur Doropeti. Saatnya mencari mata air yang menurut pemandu kami Bang Jon ada di sekitaran Camp 4. Hanya dia dan Tuan Chow yang telah sampai duluan di Camp 4 untuk memutuskan segera mencarinya dan mulai memasak makan siang kami yang agak terlambat itu.

Kemudian kami menemukannya di sebuah ceruk kecil di bawah Camp 4. Sebuah genangan air yang terus berair, tak lebih dari seukuran ember timba. Persediaan air kami bisa dipenuhi kembali, seraya memasak makan siang kami di sana. Ceruk kecil itu begitu teduh, cocok sekali untuk lokasi pendirian shelter. Tetapi kami tahu, kami harus lanjut hingga titik terdekat dengan puncak, sebelum malam tiba, pada hari kedua pendakian kami ke Gunung Tambora, Sumbawa, NTB sana.

Kami sudah memilih Gunung Tambora sebagai tujuan pendakian berikutnya. Cerita kesohor perihal Tambora telah lama mengusik rasa penasaran saya pribadi. Bekas letusan besar yang mempengaruhi iklim dunia di tahun 1815 itu selalu menghantui pikiran saya, jauh hari sebelum keberangkatan misi kawan-kawan 1N3B di pulau Sumba. Saya tak sabar ingin melihat sendiri sisa kengerian itu; sebuah kaldera raksasa dengan bentang diameter 4 km dan kedalaman 900 meter yang letusan sulfurnya menyebabkan Tahun Tanpa Musim Panas dan gagal panen di belahan bumi utara dan mengubur hidup-hidup 4 kerajaan di semenanjung Sanggar. Dan tentu juga cerita-cerita yang menyebut nama Napoleon Bonaparte.
---

HARI SATU
Minggu, 1 Agustus 2010

Gunung Tambora dilihat dari sisi selatan saat matahari tenggelam.

Awalnya kami tiba di dusun Doropeti pada hari sabtu. Perjalanan ini adalah menyambung dari perjalanan kami bertiga di pulau Sumba seminggu sebelumnya. Kami naik penyeberangan ferry selama 6 jam perjalanan. Setelah turun dari KMP Cakalang di dermaga Sape, Sumbawa, kami bertiga mendapat tumpangan menuju Bima dengan truk. Lumayan mengirit ongkos transportasi. Hari telah malam, dari Bima beruntung kami mendapat bis kecil menuju Dompu, kota terdekat dengan Gunung Tambora, di mana kami akan bertemu seorang pemandu gunung Tambora. Dan, hei... di atas bis, ya tepatnya di atas kap bis, kami bertiga menahan dingin dan angin selama 2 jam perjalanan ke Dompu! Duduk di atas sana dikenakan tarip lebih murah daripada duduk di dalam bis. Jelaslah kami mencari yang termurah, sekaligus yang mendebarkan. Asyik juga, pikir saya.

Inilah persinggahan kami bertiga pertama kali di Dompu, sebuah kota kecil di Sumbawa sebagai penghubung menuju gunung Tambora. Kami bertemu Bang Adun, seorang tinggi besar namun ramah yang akan menjadi pemandu kami nanti. Bermalam di tempatnya, kami akhirnya istirahat untuk memulai perjalanan esok hari.

Esoknya, kami harus menempuh 5 jam perjalanan menuju Doropeti dengan bus dan duduk di atasnya lagi. Setelah berbelanja logistik di pasar Dompu, kami segera ke terminal, tempat Bang Adun memesan bis untuk kami. Seharusnya pagi berangkat, tetapi ada penundaan hingga sore hari.

Saya benci memakai kata "beruntung", tetapi jika tak ada delay, kami tak bisa menikmati matahari terbenam di padang rumput Tambora yang begitu indah itu. Jika kalian sempat ke sana nanti, kombinasi semburat merah-oranye di ufuk barat dan tebaran ratusan binatang-binatang ternak di sabana beserta latar belakang gunung Tambora dan laut teluk Saleh di semenanjung Sanggar itu tak akan mudah dilupakan.

Hari itu kami akhiri dengan singgah di Doropeti dan menemui satu pemandu lagi, yaitu Bang Jon. Dijamu makanan desa plus cabe yang saya bawa dari Sumba, kami berlima sesudahnya merencanakan pendakian pada esok hari.

HARI DUA
Senin, 2 Agustus 2010
Pendakian dimulai dari titik 30 mdpl, tepat di depan rumah Bang Jon. Kami terus berjalan menuju timur laut ke arah gunung Tambora. Usut punya usut, uniknya pendakian di tanah Sumbawa adalah dimulainya dari titik terendah. Jadi, hingga titik 2850 mdpl nanti akan kita tempuh lebih panjang, yaitu sekitar 26 km. Ini pengalaman baru bagi saya, yang terbiasa dengan pendakian gunung-gunung terutama di Jawa yang titik mulainya sudah cukup tinggi. Walhasil, hari itu akan menjadi hari panjang bagi kami berlima.

Jalur Doropeti memiliki 4 camp atau pos. Begitu menurut Bang Adun dan Bang Jon pemandu kami. Jarak sepanjang itu yang hanya memiliki 4 camp terasa sangat menjemukan. Di titik jenuh, di akhir perjalanan hari pertama akhirnya kami putuskan untuk membuka shelter di bawah Camp 3 di ketinggian 2000 mdpl. Sementara saya mendirikan tenda di samping bivak merah, sebagian yang lain memasak. Bang Jon memperkenalkan Sup Asam khas Doropeti. Dia bilang itu adalah penawar lelah. Enak menurut lidah saya, dan yang lain akhirnya ikut mencicipinya. Aaahhh... segarrr...

HARI TIGA
Selasa, 3 Agustus 2010
Pada awal pendakian kemarin, jalur Doropeti ini terasa landai. Tetapi emosi makin diuji seiring dengan naiknya derajat kemiringan dan banyaknya tumbuhan gatal di atas 2000 mdpl. Selepas melewati Camp 3 yang lumayan jauh jaraknya dari Camp 2, vegetasi sekeliling mulai berubah dari ekosistem tumbuhan tinggi ke tumbuhan perdu. Saya tidak hafal jenis-jenis pohon, tetapi dominasi pinus sudah mulai terlihat di ketinggian 2300 mdpl. Seringkali langkah kami terhambat oleh banyaknya pohon tumbang yang melintang jalan. Saya sendiri malah kena potongan kayu yang menjorok tepat mengenai kepala saya. Darah sempat mengalir banyak membuat saya terduduk pusing, mengaduh sebentar lalu mungkin karena udara dingin, darah berhenti mengucur. Ini juga kali pertama bagi saya berdarah di kepala saat gunung.

Salah satu sudut jalur Doropeti. Pepohonan besar yang menghiasi jalur dari Camp 2 menuju Camp 3.

Hingga ketinggian ini, pendakian kami sebagian besar melewati punggungan. Itu adalah satu hal yang penting dilakukan saat mencari jalur. Lembah boleh dilewati, tetapi sebaiknya ambil punggungan agar lokasi kita bisa tetap terpantau lebih baik. Sementara, tak lupa Fedi, salah seorang anggota tim kami, memasukkan koordinat setiap camp dan titik-titik penting ke GPS-nya.

Salah satu tumbuhan gatal di jalur Doropeti.

Istirahat kecil di Camp 3 jalur Doropeti.

Pukul 3 sore kami mencapai Camp 4 di atas sebuah puncakan kecil. Rupanya bibir kaldera yang selama ini kita tunggu-tunggu belum juga kelihatan dari sini. Makan siang kita buat di mata air di bawah Camp 4, lalu setelah kenyang kami berjalan menuju titik pendirian shelter di bawah puncak. Jalur sudah landai dari Camp 4, kami tinggal menyusuri gigiran datar ke arah utara mendekat ke bibir kaldera. Hari itu kami akhiri dengan membuka shelter di sebuah ceruk yang terlindung dari angin, 400 meter di bawah puncak Tambora.

... (bersambung)
Kirim Perjalanan anda yg lebih menarik di sini !
http://www.kaskus.us/

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top