
Berdua-dua mereka berboncengan motor menuju ke atas. Ada pula yang berjalan kaki. Semua dilakukan dengan gerak cepat, menuju titik-titik yang telah ditentukan saat briefing. Di antara rombongan beranggotakan sekitar 24 orang itu, Hidayat Wahid, kamerawan tvOne--yang lebih dikenal dengan nama udara Don Wahid--berada di barisan terdepan.
Dan kekhawatiran mereka segera terbukti.
Mereka menemukan jenazah pertama tergolek di pinggiran jalan. Tim langsung memasukkannya ke dalam kantung mayat, dan kembali melanjutkan pencarian.
Cahaya pagi mulai nampak, memperjelas pandangan mengerikan di sekeliling perjalanan. Di kanan-kiri semua hancur. Pohon dan tanaman tumbang, hangus, meranggas, berselimut debu vulkanik yang masih terhirup menembus masker, walaupun sudah dirangkap dua. Bagi Don Wahid, suasana kehancuran ini seperti mimpi. Sepi, mencekam.
Kinahrejo sudah di hadapan. Rumah-rumah terlihat porak-poranda. Cuma Masjid Al Amien yang masih terlihat bentuk aslinya. Bulu kuduk Don merinding ketika ia memasuki rumah Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi yang dulu sering ia sambangi ketika masih menjadi mahasiswa pecinta alam.
Kursi-kursi kayu panjang tempat si Mbah sering duduk-duduk di depan, sudah lenyap. Rumah itu kini menjadi puing-puing. Beberapa bagiannya bahkan tertutup debu putih hingga setebal 30 cm.
Tim langsung merangsek ke bagian belakang rumah Mbah Maridjan yang berbentuk huruf ‘L’. Perlahan mereka menggali tumpukan debu vulkanik. Tiba-tiba, pandangan mereka tertumbuk pada sesosok jenazah yang tertindih puing kayu. Posisinya sedang bersujud.
“Si Mbah, si Mbah...,” beberapa anggota Tim SAR berseru, sembari buru-buru menyingkirkan puing kayu.
Don terhenyak. Ia semula tak percaya bahwa tubuh tak bernyawa itu adalah Mbah Mardijan. Apalagi, sebelumnya beredar kabar bahwa Mbah Maridjan telah ditemukan selamat, meski dalam kondisi lemah. Tapi, beberapa anggota Tim SAR yang mengenal baik Mbah Maridjan meyakinkannya bahwa itu memang jenazah sang penjaga Merapi.
Pakaian koyak yang melekat di tubuh itu memang batik dan sarung yang biasa dikenakan si Mbah. Salawat pun bergema. Air mata Don dan anggota tim lain langsung mengembang. Mereka pun memasukkan jenazah si Mbah di kantung mayat, menuliskan huruf ‘M’ di atasnya dengan spidol, dan langsung melarikannya ke RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Roger...
Berkat interaksinya dengan para pemuda pecinta alam itulah, yang selalu membawa perangkat komunikasi radio handy talkie, si Mbah mengenal istilah ‘roger’. Maka, jangan heran bila di akhir kalimat pembicaraannya, Mbah Maridjan sering mengimbuhi kata '..., roger.”
Kenangan itu kini terkubur tebalnya lapisan debu vulkanik.
Awan piroklastik itu setidaknya menyudahi nyawa 30-an orang di Kinahrejo, termasuk editor senior VIVAnews.com Yuniawan Wahyu Nugroho dan relawan PMI Sleman, Tutur Prijanto.
Sebenarnya, Wawan--nama sapaan Yuniawan--dan Tutur, sudah sempat mengungsi dari Kinahrejo, bersama Agus Wiyarto (asisten dan kerabat Mbah Maridjan), anggota keluarga si Mbah, dan beberapa penduduk desa. Akan tetapi, sesampainya di pengungsian Umbulharjo, dengan mengendarai minibus Suzuki APV, Tutur dan Wawan berkeras kembali untuk menjemput Mbah Maridjan yang memilih bertahan di rumahnya. Di tengah hari yang mulai gelap, mereka tanpa ampun disergap bara wedhus gembel.
Tim evakuasi gelombang pertama menemukan jenazah mereka di belakang mobil APV yang diparkir di depan rumah Mbah Maridjan. Saat ditemukan, mesin mobil masih menyala dengan pintu terbuka. Kemungkinan, Wawan dan Tutur sedang menunggu Mbah Maridjan yang sedang salat.
Mbah Maridjan dikenal tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Menurut Agus Wiyarto, si Mbah selalu bergegas meninggalkan segala aktivitasnya saat terdengar azan untuk menunaikan salat. Jika ada tamu, si Mbah selalu mengajak salat bersama.
Kebiasaan itu masih begitu lekat dalam ingatan Jangkung Suseno Aji, kamerawan Rumah Produksi Indigo. Usai mewawancarai si Mbah pada 2006, Seno dan reporternya bersiap untuk pulang. Namun, karena sudah malam, si Mbah menyarankan mereka untuk bermalam.
“Jangan turun dulu, salat dulu. Besok pagi saja pulangnya, sekarang sudah gelap,” kata Mbah Maridjan dalam bahasa Jawa.
Sepanjang malam, Si Mbah bercerita banyak hal sambil menyelipkan nasihat-nasihatnya. Meski apa yang diucapkannya sepintas terdengar sepele karena diutarakan dengan cara yang lugu, perkataan si Mbah buat Seno punya arti mendalam.
Saat Merapi kembali aktif pada pertengahan April-Mei 2006, banyak wartawan datang meliput. Mbah Maridjan berkali-kali mengatakan, “Kenapa datang ke sini? Merapi sih sudah biasa batuk-batuk. Kenapa tidak justru ke Selatan, karena akan terjadi sesuatu.”
Gaji Rp8.000
Sebagai juru kunci, ia diberi amanat untuk menjaga dan mengawasi Merapi. Ia memimpin berbagai ritual di Merapi, termasuk upacara tahunan Labuhan, di mana warga Merapi melemparkan sesaji ke kawah.
Menurut keterangan Agus, untuk jabatannya itu si Mbah hanya digaji Rp8.000 sebulan.
Ditawari jadi maskot Kuku Bima, si Mbah semula menolak. Ia baru bersedia setelah Irwan membujuknya sembari membawa-bawa nama Anton Sujarwo. “Pak Anton itu orang baik. Karena Beliau, warga di sini bisa mendapat air, memelihara ternak, dan sebagainya,” Irwan menirukan Mbah Maridjan.
Anton Sujarwo, tokoh yang mengenal baik Mbah Hargo, mengatakan sifat-sifat Mbah Maridjan itu menurun dari ayahnya. “Mbah Hargo menurunkan sifat-sifat keteguhan hati, dedikasi, dan pengabdian,” katanya.
Anton mengenal Mbah Hargo sejak 1970, saat yayasannya, Dian Desa, memulai proyek sosial pemasangan jaringan pipa air bersih ke tujuh dukuh di sekitar lereng Merapi. Menurutnya, pengabdian itu diwujudkan si Mbah dalam bentuk kerelaan hidup sederhana di tempat berbahaya seperti Merapi.
Mendengar peringatan pemerintah, Mbah Maridjan cuma berkali-kali berujar, “Ning arep mati ojo keakehan polah. Nrimalah (kalau akan meninggal, jangan kebanyakan tingkah. Berpasrah diri sajalah).'
Post a Comment Blogger Facebook
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.