Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan alat pendeteksi dini longsor dan banjir. Alat deteksi ini lebih murah dari biasanya yang diimpor dari Australia.
Pembantu Dekan I MIPA UNS Surakarta, Ari Handono Ramelan, menjelaskan bahwa alat pendeteksi dini yang saat ini digunakan di sebagian besar wilayah di Indonesia adalah impor.
“Alat pendeteksi dini yang ada berasal dari Australia harganya satu alat bisa mencapai Rp350 juta hingga Rp400 juta. Tetapi dengan alat yang kami kembangkan ini bisa menghemat biaya karena hanya membutuhkan dana kurang dari Rp 100 juta,” ujarnya di sela-sela Konferensi Internasional Fisika dan Aplikasinya tahun 2010 di Hotel Sahid Jaya Solo, Rabu 14 Juli 2010.
Alat ini, lanjut dia, bekerja ketika terjadi pergeseran tanah akan menghasilkan sinyal yang dikirimkan ke stasiun pemantau. Sebagai uji coba, inclinometer ini akan dipasang di daerah rawan longsor di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
Pendeteksi Pencemaran
Selain mengembangkan alat pendeteksi dini longsor dan banjir, UNS juga mengembangkan detektor monitoring pencemaran polusi udara dengan menggunakan infrared photodetector. “Dengan infrared ini, lebih sensitif untuk melihat polusi udara yang terjadi. Kalau saat ini masih menggunakan sistem manual untuk melihat tingkat polusi udara yang terjadi. Untuk pengembangannya bekerja sama dengan universitas di Australia,' kata Ari.
Selain itu, dalam Konferesni tersebut juga dipaparkan beberapa hasil penelitian lainnya yang difokuskan kepada isu mitigasi bencana dari sudut pandang fisika serta strategi dan aturan manajemen bencana di negara berkembang. “Bencana alam perlu disikapi dan para peneliti harus bisa memberikan kontribusi yang nyata . Dalam konferensi ini juga dipaparkan mengenai hasil pengembangan sel surya atau solar cell. Di Indonesia sangat penting untuk mengembangkannya karena di sini memiliki banyak sekali bahan alam.'
Pengembangan sel surya tersebut menggunakan bahan pewarna alam yang berasal dari bahan alam yang mudah ditemukan seperti bunga sepatu, bunga delima serta duwet. Menurut Ari, pengembangan sel surya ini menggunakan bahan organik yang ramah lingkungan.
“Seharusnya hal ini sudah dikembangkan di Indonesia sejak dulu, tetapi yang menjadi kendala adalah Indonesia masih memiliki bahan bakar alam seperti batu bara dan minyak bumi yang melimpah sehingga pengembangan bahan bakar alternatif lain tidak dilakukan sejak dulu,” katanya dalam konferensi yang juga dihadiri peneliti dari universitas luar negeri seperti Jepang dan Perancis.
Post a Comment Blogger Facebook