Fuji yang berketinggian 3.776 meter merupakan simbol bagi masyarakat Negeri Sakura. Gunung yang dikeramatkan orang Jepang yang berarti ”keabadaian” ini adalah simbol pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang untuk terus berpikir kreatif, terlebih ketika keadaan kian mustahil. Inilah salah satu mengapa orang Jepang sukses menguasai dunia meski memiliki segunung kekurangan. Fakta itulah yang diungkapkan Ann Wan Seng dalam bukunya, Rahasia Bisnis Orang Jepang: Belajar dari Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia (terbitan 2006).

Orang Jepang pandai menempatkan dan memanipulasi segala sumber yang ada sebaik mungkin. Bangsa Jepang cepat dan tanggap bertindak dan tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. Sejatinya, faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada etos kerja, kreativitas, dan paradigma pantang menyerah. Bangsa Jepang dinilai rajin dan optimistis. Prinsip kesungguhan, disiplin ketat, usaha, dan semangat kerja keras (spirit bushido) rakyat Jepang diwariskan secara turun-temurun.
Kedisiplinan bangsa Jepang dikaitkan dengan harga diri (disiplin Samurai). Sejarah membuktikan, Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun di bawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika Restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Selain menjadi pengimpor minyak bumi, batu bara, biji besi dan kayu, sebanyak 85 persen sumber energi Jepang berasal dari negara lain, termasuk Indonesia.

Ternyata, orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberi tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/ tahun.
Pada 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika Serikat (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas, dan tidak produktif.
Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi. Untuk melancarkan urusan pekerjaan, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan di sekelilingnya.


Selain itu, budaya malu di Jepang juga menjadi faktor yang cukup menentukan keberhasilan. Malu adalah budaya leluhur dan turun-temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena ”mengundurkan diri” bagi para pejabat yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas. Orang Jepang juga memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian.

Di Jepang pada setiap densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Hal lain yang cukup menarik adalah hingga saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata ”tidak” apabila mendapat tawaran dari orang lain.Subscribe to wisben.com on blogger by Email
Post a Comment Blogger Facebook
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.