Malam kemarin, usai menemani suami buka puasa, saya selonjoran di kursi. Dan belum ada lima menit menikmati momen tersebut, suara laknat itu muncul lagi: Dar der dor dar der dor! Astaga, anak-anak itu ternyata kembali merconan di belakang rumah!
Oleh Wiwi Widianti
Apa yang kau tunggu-tunggu dari Ramadan? Puasanya? Takjilnya? Terawehnya? Atau baju baru menjelang hari raya?
Waktu saya kecil, yang paling saya tunggu dari datangnya bulan Ramadhan adalah patrol. Dini hari yang dingin, Mamak membangunkan saya untuk menyaksikan patrol Ramadan, sejumlah remaja berkeliling kampung dengan tetabuhan untuk membangunkan orang-orang agar segera bangun dan melaksanakan ibadah makan sahur. Selain patrol, mercon alias petasan adalah bonus yang saya tunggu.
Mercon. Apa nikmatnya mainan mercon? Asik aja. Kok bisa ya kertas yang digulung-gulung gitu kalo dipantik dengan api bisa meletus? Itu adalah pikiran sederhana saya waktu masih uprit, waktu masih suka nongkrongin tukang patro dan belum tahu ada bubuk bernama mesiu.
Usai sahur dan sholat subuh, saya dan teman-teman sekampung biasanya jalan-jalan keliling hingga kampung sebelah sambil membawa mercon. Dinyalakan di mana saja, terutama kalau ada yang jalan sendirian, pasti dibledosin deh. Ada yang nontonin, ada yang ketawa, banyak pula yang marah-marah karena kaget. Nah ini, momen dimarahin ini yang paling asik dari seni merconan. Sampai saya duduk di bangku kelas satu SMP, saya masih tetap bermain mercon.
Mercon tak lekang dimakan usia. Ia tetap setia menyapa penggemarnya tiap tahun. Dari saya uprit hingga kini uprot dan beranak dua, mercon tetap eksis. Sebenarnya, dari tahun ke tahun, terutama saat Ramadan dan tahun baru, Pemerintah menggaung-gaungkan untuk memberantas mercon. Alasannya: Banyak korban jatuh karena mercon. Bahkan dulu ada tetangga saya yang hilang alisnya karena mercon. Namun, mau bagaimana lagi, mercon sudah mendarah daging dalam sanubari bangsa ini. Betul, kan?
Lagi pula, bagaimana mau memberangus kalau kita tahu ternyata ada oknum polisi yang menyita mercon tapi kemudian mercon tersebut diberikan ke anaknya. Dar der doran deh di rumahnya.
Helloowww.
Oke, lupakan oknum polisi itu tadi, ya. Saya lebih ingin membahas mercon dari sudut pandang seorang Mamak. Lebih tepatnya: Seorang Mamak yang menyesali masa kecilnya karena suka mainan mercon. Lho kok? Iya, saya menyesali masa lalu tersebut setelah punya dua anak.
Ceritanya, sejak awal bulan puasa ini, ada segerombolan anak kecil yang suka merconan persis di belakang rumah: dar der dor dar der dor! Di jam orang pada teraweh pula! Saya pribadi sih terserah mereka mau merconan atau tidak. Duitnya toh juga duit mereka sendiri buat beli merconnya. Eh bukan ding, duit Mamaknya, wong mereka masih unyil semua.
Anak saya yang pertama berusia tiga tahun, masa bodo dengan suara mercon. Paling kalau kaget dia hanya akan bilang, “Mah, ada melcon!”. Anak kedua saya, usianya baru tiga bulan. Masih bayi. Kalau dengar mercon dar der dor, langsung kaget-kagetan, nangis jejeritan. Hati saya sebagai seorang Mamak lalu tergugah.
Beberapa hari di awal puasa, saya membiarkan anak-anak itu menyambut Ramadan dengan merconan. Rasa mangkel dalam hati saya endapkan. Hanya nafas panjang yang saya hela sambil mendekap bayi saya senyaman-nyamannya, membisikkan kata-kata supaya dia tidak kaget dan tidak perlu takut.
Tapi, lama-lama, saya sadar: Mana bisa rasa kaget diatur-atur? Masa iya setiap malam saya harus repot menenangkan anak yang terbangun dari tidurnya yang pulas sambil nangis jejeritan karena mercon? Apa mesti tiap malam saya harus mengeluh, “sopo ikiiiii sing merconan”? Padahal saya tahu siapa yang merconan.
Pertahanan kesabaran saya pun jebol.
Malam itu, saat di masjid masih terdengar suara imam sholat teraweh mendayu-dayu, saat saya baru ingin rebahan karena seharian kayak kitiran ngurus dua unyil, cucian, dan perdapuran, saat bayi saya sudah pulas tidurnya, tiba-tiba serentetan bunyi dar der dor mercon berseliweran tiada henti di belakang rumah. Bau merconnya bahkan sampai menggilas oksigen hingga sesak nafas saya dibuatnya. Bayi saya nangis seperti orang kesurupan lantaran saking kagetnya. Tidak mau nyusu, tidak mau digendong, tidak mau ditaruh (galau).
Tidak bisa tidak, saya harus berontak: Saya tak ingin menjadi budak mercon lagi!
Akhirnya, karena orang rumah sedang teraweh semua dan tak ada tetangga yang bisa dimintai tolong, saya lantas menggendong bayi saya keluar, merangsek ke arah anak-anak tersangka pelaku merconan. Melihat saya terhowoh-howoh mendatangi mereka, mereka semburat melarikan diri. Beberapa dari mereka yang ketinggalan terpaksa mendengarkan ocehan saya.
“Sopo sing merconan?! Sopo??? Kowe-kowe do ra ngerti aku duwe bayi??!! Hah??!! Dar der dor dar der dor terus suwe-suwe tak bommmmm kowe kuabeeehhh!!!!!”
Entah karena takut melihat saya marah-marah atau memang merasa perlu berempati dengan seorang ibu yang tengah menggendong bayinya, anak-anak itu pun minta maaf. Saya juga kemudian tahu bahwa di antara mereka ternyata ada yang mamaknya jualan mercon.
Nah ini, serba salah jadinya. Mau saya labrak juga, tapi nanti saya dibilang enggak pengertian karena itu sumber nafkahnya. Yang ada nanti mereka malah minta donasi. Repot, kan? Lebih repot lagi kalau yang suka merconan itu anaknya Pak RT. Mau ngadu ke siapa coba kalau begitu? Pak RT-nya toh pasti bilang: “Namanya juga anak-anak, Bu…”
Huh! Diam-diam saya memberi peringatan.
Ini baru saya lho yang ngomel, ibu dari seorang bayi yang kaget karena bunyi mercon. Belum ibu-ibu lain bernasib serupa yang juga tinggal di sekitar rumah tapi hanya bisa menggerutu dalam hati. Belum juga tetangga yang jantungan, tapi cuma bisa ngelus dada dan bersabar. Belum orang-orang yang pada hari-hari belakangan sedang sakit gigi, dililit hutang, abis patah hati, atau jomblo menahun. Anda bisa bayangkan jika kami ngamuk semua dengan suara mercon dari neraka itu???
Tepat ketika membayangkan inilah rasa penyesalan saya yang dulu suka merconan, meletup. Ternyata seperti ini tho rasanya terganggu oleh bunyi dari benda sialan itu? Beruntung, beberapa malam setelah saya ngamuk tadi, suara mercon tak lagi terdengar
Malam kemarin, usai menemani suami buka puasa, saya selonjoran di kursi. Dan belum ada lima menit menikmati momen tersebut, suara laknat itu muncul lagi: Dar der dor dar der dor!
Astaga, anak-anak itu ternyata kembali merconan di belakang rumah! Lalu apa gunanya saya ngoceh?! Apa mereka kira saya hanyalah sejenis hantu klayapan yang merasa terganggu?? Saya pasrah. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi selain menarik nafas dalam-dalan sambil berucap liri: “Ya wes lah…”
Mungkin memang benar, usaha serius memberangus mercon akan selalu sia-sia, maka lebih baik mercon-merconan dibiarkan saja. Lagian, jika Anda resapi betul dan setakzim mungkin esensinya, mainan mercon itu asik kok. Serius. Asik.
Iya. Asik ndasmu!
Post a Comment Blogger Facebook