Sonita adalah salah satu perempuan yang diperhitungkan di industri teknologi dunia dan sudah 25 tahun bekerja di Silicon Valley.
Nama Sonita Lontoh mungkin masih asing di telinga. Selama 25 tahun, perempuan berdarah Padang-Manado ini wara-wiri di Silicon Valley, kompleks yang menjadi markas perusahaan teknologi raksasa seperti Google di San Fransisco, Amerika Serikat. Dimulai dari menciptakan game online, Sonita kini menjadi salah satu perempuan yang diperhitungkan di industri teknologi dunia.
Dia memulai karier sebagai konsultan manajemen strategi di Bain & Company sebelum memimpin PG&E Corporation. Kini, Lontoh adalah pejabat eksekutif di Trilliant, perusahaan teknologi di Silicon Valley. Dia juga dipercaya menjadi mentor dalam TechProgram, yang dibentuk oleh mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton.
Sepak terjangnya di dunia teknologi sudah menghasilkan sejumlah penghargaan berskala internasional seperti Global Emerging Leader Under 40 dari National Association of MBAs. Sonita juga diundang ke Gedung Putih untuk menerima penghargaam Woman Champions of Change.
Di sela-sela acara Startup Asia yang digelar oleh TechinAsia, pekan lalu, Sonita Lontoh bercerita panjang lebar kepada suara.com tentang awal perjalanannya di Silicon Valley hingga rahasia meraih sukses. Dalam menjawab pertanyaan suara.com, Sonita menggunakan bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia.
Bagaimana awalnya Anda bisa bekerja di Silicon Valley?
Saya sekolah di Amerika Serikat, ketika itu saya sekolah di Universitas Berkeley dengan jurusan Teknik Industri. Lalu saya mengambil master di Massachussets Institute of Technology dan di Kellog School of Management di bidang bisnis. Setelah lulus, saya langsung bekerja di sana. Saat itu pada tahun 1989, saya sudah punya startup sendiri yaitu perusahaan game online. Tapi, saya kemudian menjual perusahaan itu kepada perusahaan pesaing yang lebih besar.
Ketika pertama kali bekerja di Silicon Valley, sebagai seorang perempuan dan berasal dari Indonesia, apakah Anda sempat mengalami diskriminasi?
To be honest, saya sering sekali mendapat pertanyaan seperti ini. And the answer is no. Dari pengalaman saya, apabila Anda bisa kerja dengan bagus maka Anda akan dinilai berdasarkan prestasi Anda. Memang, akan ada saja orang yang menilai anda dari tempat asal Anda. Tetapi, apabila Anda berprestasi maka Anda akan dilihat dari prestasi yang Anda capai. It’s about who delivers what rather than who comes from.
Jadi semuanya dipandang sama, termasuk juga gaji?
Yes. Bahkan, jujur saja, gaji yang saya terima lebih besar dari beberapa karyawan di Silicon Valley yang merupakan warga negara Amerika.
Anda 25 tahun bekerja di Silicon Valley, suasana seperti apa sebenarnya yang membuat Anda merasa nyaman untuk bekerja di sana?
Orang-orang yang kerja di sana saling mendukung satu sama lain. Ketika saya pertama kali di sana dan bilang saya punya online game, mereka memuji saya dan justru membantu akan mengenalkan saya dengan orang yang ahli di bidang itu. Jadi mereka sangat terbuka. Suasana seperti itu yang membuat saya merasa nyaman. Ketika saya ‘tersesat’ dalam pekerjaan, mereka sering memberi masukan.
Bagaimana Anda menghadapi tekanan dan juga kegagalan yang Anda alami?
Itu perlu waktu. Waktu pertama kali, rasanya seperti dunia runtuh ketika mengalami kegagalan. Itu yang saya rasakan ketika masih usia 20-an tahun. Tapi, setelah berkali-kali dan usia bertambah, itu menjadi semacam bagian dari perjalanan hidup saja. Setelah menghadapi situasi yang sangat sulit Anda akan bisa bangkit lagi. Jadi, Anda belajar dari pengalaman.Failure is just a path to success. Memang harus fail dulu sebelum meraih sukses.
Apakah semua yang bekerja di Silicon Valley memang terbiasa menghadapi kegagalan?
Iya, karena saya merasa orang yang ke sana (bekerja di Silicon Valley) adalah orang yang tipenya seperti itu. Sejak Silicon Valley didirikan pada tahun 1800, mereka tidak takut untuk gagal. Jadi, perlu mental baja untuk meraih sukses di Silicon Valley.
Apakah ada banyak perempuan dari Asia yang bekerja di Silicon Valley?
Ada banyak perempuan Asia. Secara keseluruhan, jumlah perempuan yang bekerja di Silicon Valley cukup banyak meski tidak sebanyak laki-laki. Tetapi itu bukan karena diskriminasi. Karena, banyak perempuan yang bidangnya bukan engineering.
Ketika Marisa Mayer ditunjuk sebagai CEO Yahoo, apakah ada perubahan besar yang terjadi di Silicon Valley?
Sebenarnya perubahan besar tidak ada tetapi itu menjadi success story bagi kaum perempuan di dunia teknologi.
Apa pengalaman yang bisa Anda bagi kepada entrepreuner di Indonesia setelah bekerja selama 25 tahun di Silicon Valley?
Untuk para entrepreneur di Indonesia, untuk menjadi sukses maka pasarnya juga harus dikembangkan. Misalnya yang saya dengar industri e-commerce di Indonesia sedang naik daun. Tetapi, Produk Domesik Bruto Indonesia masih rendah begitu juga dengan pengguna kartu kredit yang masih sedikit. Ini artinya pasarnya masih belum mendukung. Seorang entrepreneur harus paham tentang pasar. Karena itu, harus punya long term view. Be patience, understand the market and try to really serve your customers. Jangan punya pikiran, saya bikin perusahaan ini dan akan keluar lima tahun lagi dengan uang miliaran dolar. Anda tidak akan bisa mencapai itu apabila punya pikiran seperti itu. Tapi, Anda bisa mencapai itu dengan cara membuat produk yang terbaik untuk pelanggan Anda.
Di masa yang akan datang, apakah Indonesia harus membentuk kompleks khusus seperti Silicon Valley atau mengirim banyak orang untuk bekerja di sana?
Menurut saya, kalau Indonesia membuat cluster khusus seperti Silicon Valley, itu ada bagusnya juga. Karena, dari pengalaman saya, kalau kita ada di lingkungan yang sama maka bisa membuat Anda untuk selalu fokus. Jadi, saya merasa kalau membuat cluster seperti di Silicon Valley di Indonesia, itu oke.
Ketika perusahaan Jepang SoftBank berinvestasi Rp1,2 triliun di Tokopedia, apakah ini artinya dunia mulai memperhatikan perkembangan industri e-commerce di Indonesia?
Tentu dong. Di mata saya, Softbank itu adalah investor papan atas di dunia dan saya yakin dunia memperhatikan apa yang dilakukan oleh Softbank.
Seperti apa Anda melihat prospek e-commerce di Indonesia?
Memang nilai transaksi e-commerce Indonesia mencapai 1 miliar dolar Amerika, masih jauh dibandingkan Amerika Serikat yang mencapai 600 miliar dolar Amerika. Prospek ke depannya, semakin user experience better, income orang Indonesia meningkat, jumlah orang muda di Indonesia semakin bertambah dewasa dan mereka punya kemampuan untuk membeli barang, maka semuanya akan menjadi lebih baik. Tetapi itu perlu waktu, mungkin sekitar 5-10 tahun.
Untuk sektor teknologi, apakah Indonesia harus meniru Cina yang bisa menduplikasi teknologi buatan negara lain dan mengembangkannya?
Ya saya setuju sekali. Karena, buat apa menciptakan teknologi lagi. Biar saja Amerika yang menciptakan dan kita ambil model bisnis yang sudah teruji dan teknologi yang diadaptasi sesuai dengan pasar lokal. Kita perlu buat ponsel sendiri dengan harga terjangkau tetapi user experience-nya oke.
Anda telah 25 tahun bekerja di Silicon Valley, apakah Anda merasa sudah bisa menaklukkan pusat teknologi dunia itu?
Masih banyak yang belum sempat saya lakukan, saya rasa menaklukkan Silicon Valley bukan hal yang mudah. Karena, semua pintar dan bekerja keras. Saya rasa yang paling penting adalah enjoy the journey.
Apa rahasia Anda meraih sukses di dunia teknologi?
Work hard. I work really hard actually and I work all the time. (Doddy Rosadi/Liberty Jemadu)
Post a Comment Blogger Facebook