TRIBUNNEWS.COM, Jakarta- Tarik-menarik kekuatan politik merecoki Presiden Joko Widodo dalam menyusun anggota kabinet. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri misalnya, disebut-sebut ingin memasukkan sejumlah calon menteri, baik kader partai maupun kalangan profesional kendatipun kebersihan rekam rejaknya diragukan.
Namun keinginan Presiden kelima Indonesia itu tidak semuanya berjalan mulus. Perlawanan antara lain datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bukan hanya itu, antara Presiden Jokowi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun berbeda dalam menempatkan calon menteri. Keduanya masing-masing punya jago untuk mengisi posisi strategis di kabinet.
Tarik-menarik inilah salah atu penyebab pengumuman menteri terteunda dari jadwal sebelumnya Selasa pagi tertunda. Sampai hari ini Rabu (22/10/2014) siang, pengumuman struktur kebinet berikut daftar menteri belum dilakukan. Dan ini sudah dua kali mundur dari rencana semula, Senin malam. Menurut konstitusi, presiden memiliki waktu 14 hari setelah dilantik dalam menyusun kabinet.
"Ya, (pengumuman kabinet) kemungkinan hari ini," kata mantan Deputi Tim Transisi Jokowi-Jusuf Kalla, Andi Widjayanto, di Istana Merdeka, Selasa.
Andi belum mengetahui persis lokasi yang akan digunakan Jokowi untuk mengumumkan kabinetnya. Dia hanya menyebutkan bahwa hari ini Jokowi sepenuhnya berkegiatan di Istana.
Pada Senin malam lalu hingga Selasa dini hari, Jokowi memanggil sejumlah calon menterinya ke Istana Kepresidenan. Pemanggilan para calon menteri itu dilakukan Selasa dini hari, hingga pukul 03.00.
Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko mengaku mendapat kabar Jokowi akan mengumumkan menteri koordinator terlebih dahulu. Namun, Budiman tidak merinci Kemenko apa yang sudah terbentuk ini.
"Satu-dua hari ini memang akan diumumkan. Pengumumannya mungkin untuk di pos-pos yang sudah pasti dulu. Memang ada rencana pengumumannya bertahap," kata Budiman.
Adanya catatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pimpinan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), turut membuat rencana pengumuman nama-nama calon menteri diundur.
Jokowi menyerahkan daftar nama 43 calon menteri kepada pimpinan KPK Jumat (17/10) pekan lalu. Jokowi bertemu empat komisioner KPK yakni Ketua KPK Abraham Samad, dan tiga wakil ketua yakni Zulkarnain, Adnan Pandu Praja, dan Bambang Widjojanto.
Kemudian KPK menyerahkan hasil penelusuran kepada Jokowi, Minggu 19 Oktober 2014 malam. Dalam daftar itu, KPK memberi catatan berdasarkan rekam jejak. Warna merah untuk calon menteri yang berpotensi jadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi.
Menurut seorang politisi, sumber TRIBUNnews.com, perebutan posisi di pemerintahan semakin kuat terasa setelah KPK, dan PPATK selesai menelusuri jejak rekam terhadap 43 calon menteri yang sebelumnya disodorkan Jokowi. Jokowi menyerahkan daftar nama 43 untuk mengisi pos 34 menteri untuk ditelusuri KPK dan PPATK.
Pimpinan PPATK pun dikabarkan telah bertemu dengan Presiden Jokowi Selasa dini hari. Sama seperti pertimbangan KPK, beberapa nama calon menteri disodorkan Jokowi memang dianggap bermasalah. Kebanyakan yang mendapatkan catatan rapor merah umumnya politisi, sedangkan calon menteri dari kalangan profesional relatif bersih.
Beberapa nama yang dicoret KPK dan PPATK diduga orang yang disodorkan Megawati. Walupun dilabeli warta merah, sebagai tanda orang terbsebut bermasalah, atau berisiko tinggi terlibat kasus korupsi yang tengah ditangani penegak hukum, Megawati tetap mendesak agar nama kader PDIP maupun kalangan profesional yang diinginkannya masuk di kabinet.
Akibatnya, Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dikabarkan marah besar terhadap intervensi berlebihan Megawati. "Pak JK marah. Karena ibu Megawati terlalu intervensi harus memasukkan nama Bu Rini, sebagai orangnya Bu Megawati menjadi menteri BUMN. Pak Jokowi juga menjadi kurang happy," ungkap sumber TRIBUNnews.com.
Rini Mariani Soemarno pernah diperiksa sebagai saksi oleh KPK terkait dugaan kasus SKL (Surat Keterangan Lunas) terkait kasus obligor atau pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia diperiksa KPK 25 Juni 2013.
Rini juga pernah diperiksa penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus dugaan korupsi penjualan aset pabrik guna Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Ia diperiksa 26 April 2006, selaku mantan menteri perdagangan bersama mantan menteri koordinator perekonomian Dorojatun Koentjarajakti.
Rini diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penjualan aset pabrik gula RNI. Dalam kasus ini tersangkanya adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Temenggung dan Nyono Cipto rekanan PT RNI.
Rini pun pernah diperiksa Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR terkait proses imbal dagang pesawat jet tempur Sukhoi, helikopter, dan peralatan militer Rusia. Rini dipanggil Panja 28 Agustus 2003 saat menjadi menteri, namun tak mengindahkan panggilan. DPR menduga dalam proses imbal dagang itu negara dirugikan.
Megawati juga disebut memaksakan nama direktur utama satu perusahaan BUMN, Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino masuk ke kabinet. 15 April lalu, RJ Lino pernah diperiksa penyidik KPK. Usai diperiksa KPK, Lino mengakui adanya penunjukan langsung pada proyek pengadaan Quay Container Crane (QCC), proyek tahun 2010.
Kasus ini mencuat atas laporan Serikat Pekerja Pelindo II ke KPK. Dugaan penyimpangan yang dilaporkan antara lain pengadaan dua unit Quay Container Crane, penggunaan tenaga ahli dan konsultan, megaproyek Kalibaru, pemilihan perusahaan bongkar muat di Tanjung Priok, hingga perpanjangan kontrak perjanjian Jakarta International Container Terminal (JICT).
Info lainnya, ada desakan kuat semua anggota tim transisi harus masuk dalam skuad "Dream team" Jokowi-JK. "Pak JK siang ini pun ke rumah BU Megawati untuk membahas persoalan ini," katanya.
Selain adanya desakan Megawati dalam menyusun kabinet, terjadi pula tarik-menarik dalam penyusunan komposisi dan posisi anggota kabinet di psoso strategis calon menteri antara Jusuf Kalla lawan Kubu Jokowi. Dalam hal mengisi posisi calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) misalnya, kubu Jokowi menginginkan mantan Wakil Kepala BIN Asad Said Ali yang kini menjabat Wakil Ketua PBNU. Sedangkan kubu Jusuf Kalla menghendaki politisi PDIP Mayjen (Purn) Tubagus Hasanuddin.
Untuk posisi menteri koordinator bidang politik, hukum dan kemanan (Menkopolhukam) pun demikian. Kubu Jokowi menghendaki mantan KSAD Jenderal (Purnawirawan) Budiman, sedangkan JK menginginkan mantan Menteri Perdagangan Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan.
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) membantah informasi yang menyebutnya menemui Megawati karena tarik-menarik kepentingan itu. "Siapa bilang saya ke Teuku Umar? Anda lihat kan, saya di sini," ujar Jusuf Kalla usai menerima kunjungan mantan calon presiden dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto kepada wartawan di kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Selasa sore.
JK mengatakan masih terus membahas soal kabinet. Menurutnya kabinet dan nama-nama menteri diumumkan masih diproses. "Saya kira malam ini belum," kata JK.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Jokowi-JK tidak berencana untuk mengumpulkan para pemimpin partai politik (parpol), karena menurutnya apa yang harus dibahas dengan para pimpinan parpol sudah dilakukan.
Kalau pun ada pertemuan, di Rumah Dinas Wakil Presiden, di Menteng, Jakarta Pusat, ia akan menggelar syukuran pelantikan Jokowi - JK, dan akan dihadiri oleh keluarga dekat saja.
Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari pun menampik tudingan yang menyebut Megawati merecoki pemilihan calon menteri.
"Bu Mega tahu aturan dan fatsoen politiknya kuat. Enggak mungkin ngerecoki orang lain," kata Eva.
Informasi yang beredar di kalangan wartawan, ada beberapa nama yang ikut disodorkan yakni mantan Ketua PPATK Yunus Husein, Ketua Umum PKB/mantan Mennakretrans Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua Umum PKB/mantan Direktur Utama Lion Air Rusdi Kirana, Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan, Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Perdagangan Luhut Panjaitan, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan.
Kemudian ada Kepala Lemdikpol Komjen Pol Budi Gunawan, Politis Partai Hanura Yudi Krisnandi, mantan pimpinan KPK Mas Achmad Santosa, mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, pengusaha nasional/CEO Garudafood Sudhamek AWS, mantan Menteri Hukum dan AHM Hamid Awaluddin, mantan Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor Jhonny Darmawan dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimmly Asshiddiqie.
Ada juga sejumlah politisi antara lain Eva Kusuma Sundari (PDIP), Pramono Anung (PDIP), Puan Maharani (PDIP), Ferry Mursidan Baldan (Nasdem), Marwan Jafar (PKB), Hasto Krisyanto (PDIP, Rini M Soemarno (PDIP).
Politisi PDIP Eva Kusuma Sundari membenarnya terjadi pengunduran penguman menteri. "Menurut Pak Jokowi dan Pak JK, bahwa masukan dari KPK dan PPATK menjadi konsideran penyusunan kabinet," kata Eva.
Walaupun pembentukan kabinet merupakan hak prerogratif presiden, demi legitimasi pemerintahna dan para calon menteri, perlu dimintakan masukan dari penegak hukum. "Walaupun dalam memutuskan calon menteri, tentu menjadi keputusan presiden selaku pemilik hak prerogatif," ujar Eva.
Puan: Tentukan Kabinet, Jokowi Harus Minta Restu Megawati
Selasa, 23 September 2014
maiwanews – Tarik ulur penentuan kabinet presiden terpilih, Joko Widodo atau Jokowi kelihatannya akan semakin kencang. Meskipun memiliki hak prerogatif, Jokowi tidak serta merta leluasa menentukan sendiri pembantu pembantunya.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani mengungkapkan, Jokowi tidak bisa menentukan kabinetnya begitu saja tanpa mendapat restu dan persetujuan terlebih dahulu datu Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri (Mega).
“Harus seizin Bu Mega, tidak boleh kalau tidak mendapat restu (dalam menentukan kabinet),” kata Puan kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 23 September 2014.
Puan yang juga merupakan putri Megawati itu menjelaskan, Jokowi datang dari PDIP. Karenanya ia meyakini, mantan walikota Solo itu mengerti dan paham akan etika politik yang berlaku di internal PDIP.
Karenanya menurut Puan, Jokowi tidak bisa melewati Ibu Mega begitu saja dalam menentukan kabinetnya.
Seperti diketahui, Jokowi telah mengumumkan postur kabinet yang dipilih yakni sebanyak 34 kementerian yang terdiri dari 18 unsur profesional dan 16 unsur partai.
Namun hingga kini, belum ada kepastian kapan nama nama yang akan mengisi kementerian itu diumumkan Jokowi. Ketidakpastian waktu pengumunan itu dinilai sebagian kalangan sebagai bukti kuatnya tarik ulur.
KPK Tidak Ragu Panggil Megawati dalam Kasus Dugaan Korupsi SKL
Rabu, 27 Agustus 2014 | 15:02 WIB
Megawati
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, KPK menyamaratakan kedudukan semua orang di mata hukum. Maka dari itu, ia tidak ragu memanggil Megawati Soekarnoputri atas kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk beberapa obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kita tidak peduli mau Megawati, mau Presiden, kalau dia tidak mau datang, kita punya langkah yang tegas sesuai hukum," ujar Abraham di Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2014).
Terkait waktu pemanggilan, Abraham belum dapat memastikannya. "Satgasnya masih menganalisis terus kasusnya," kata Abraham.
Meski begitu, ia meminta masyarakat untuk tidak meragukan keberanian KPK dalam memanggil pejabat negara. Ia mencontohkan saat jaksa KPK tidak sangsi untuk bertanya kepada Wakil Presiden Boediono.
"Jaksa saya (KPK) justru malah bisa menekan," kata Abraham.
Terkait penyelidikan SKL, KPK telah memanggil mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi; mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli; dan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Kwik Kian Gie. Seusai diperiksa beberapa waktu lalu, Laksamana mengaku mendapat sejumlah pertanyaan dari tim penyelidik KPK, termasuk soal rapat kabinet era Megawati yang membahas SKL BLBI.
Laksamana dimintai keterangan terkait penyelidikan proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor BLBI. KPK menduga ada masalah dalam proses pemberian SKL kepada sejumlah obligor tersebut.
SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Hal tersebut dikenal dengan inpres tentang release and discharge.
Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas yang diberikan inpres tersebut, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah.
Menurut Laksamana, penerbitan SKL tersebut merupakan amanat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Adapun melalui ketetapannya, MPR memerintahkan Presiden (saat itu Megawati) untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengutang BLBI.
"Waktu itu zaman Bu Mega, presiden masih mandataris MPR. Jadi, ada tap (ketetapan) MPR yang kalau beliau melanggar, beliau bisa dimakzulkan," ujar Laksamana.
SKL ini pun dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Laksamana melanjutkan, SKL tersebut merupakan produk konstitusi yang harus dilaksanakan. Namun, menurut dia, jika di kemudian hari ditemukan masalah, pemberian SKL ini dapat ditinjau lagi. Selain ditanya soal rapat kabinet, Laksamana mengaku diajukan pertanyaan oleh penyidik KPK seputar beberapa obligor BLBI.
Ketua KPK: Ungkap BLBI, Megawati Perlu Diperiksa
Abraham menegaskan KPK tak takut periksa Megawati.
Rabu, 27 Agustus 2014, 13:05
VIVAnews - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad tak takut untuk memeriksa Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Pemeriksaan terhadap Megawati menurutnya perlu dilakukan untuk mengungkap kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Abraham juga meminta kepada semua pihak agar tidak meragukannya dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Saya katakan pada kalian semua, bahwa tidak usah meragukan keberanian KPK memeriksa para pejabat. Kami tidak ada keragu-raguan," kata Abraham di Gor Bulungan Jakarta Selatan, Rabu 27 Agustus 2014.
Bahkan, Samad memberikan contoh konkret di mana KPK tidak takut memeriksa Wakil Presiden Boediono untuk kasus Bank Century.
"Jaksa saya, mereka dengan enteng bertanya pada Boediono, justru bisa mem-pressure. Orang yang dipanggil harus taati panggilan KPK , kalau nggak kita ambil tindakan tegas," kata dia.
Menurut Abraham, di mata KPK semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. "Kita tidak peduli mau Megawati, mau presiden. Jika mereka dipanggil KPK, harus mau," ujarnya.
Menurut Abraham, KPK belum memanggil Megawati karena satuan tugas KPK masih terus menganalisa kasus BLBI ini.
---------------------------
Like mother, like son ....
Post a Comment Blogger Facebook