Ratu Shima |
M.Hariwijaya dalam bukunya yang berjudul “Wali Sanga Penyebar Islam di Nusantara” menuliskan mengenai seorang ratu di Pulau Jawa yang masuk Islam. Dia adalah Ratu Shima yang beristana di Kalingga yang berada di daerah Jepara. Ratu Shima diketahui masuk Islam karena pada masa Bani Umayyah, seorang Khalifah yaitu Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99-101 H dijumpai bertukar surat dengan Ratu Shima. Sampai saat ini, surat-surat mereka tersimpan dengan baik di MUSEUM GRANADA, SPANYOL. (Masykur Arif, Sejarah Lengkap Wali Sanga, 2013.)
Terkait korespondensi Ratu Sima dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut. Mari kita telusuri ekspedisi pos di masa itu sehingga bisa terjalin hubungan korespondensi seperti yang dilakukan oleh mereka maupun Raja Srindavarman dari Kerajaan Sriwijaya di Jambi atau sebelumnya dari Kerajaan Sriwijaya yang pernah berkorespondensi kepada Khalifah Mu’awiyah.
Dari dua tokoh kerajaan di nusantara tersebut yang berkorespondensi dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah maupun sebelumnya kepada Khalifah Mu’awiyah dari Kerajaan Sriwijaya juga bisa kita tarik kesimpulan bahwa di masa itu ternyata telah ada jawatan pos walau mungkin sistem posnya belum seperti yang kita dapati saat ini yang sudah canggih dan lebih cepat sampai kiriman surat atau lainnya.
Jawatan pos sudah ada di masa Khilafah Bani Umayah. Wikipedia menyebutkan bahwa di masa Khilafah Bani Abbasiyah jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Sistem pos hasil karya dunia Muslim disebut caliph Mu'awiyya. Pelayanannya dinamakan barid, diambil dari nama menara yang dibangun untuk melindungi jalan yang dilalui oleh kurir. Sebelum hingga selama abad pertengahan, merpati rumah digunakan sebagai pengantar surat. Ini didasari oleh perilaku alami hewan ini, dimana ketika dia jauh dari rumah/sarangnya, burung merpati bisa menemukan arah untuk pulang. Pesan kemudian diikatkan pada kaki. Selain merpati, dalam sejarah, pesan juga dikirimkan dengan menggunakan papan seluncur, balon, roket, dan macam-macam alat lainnya.
Korespondensi para khalifah bahkan Rasulullah saw ialah dalam upaya penyebarluasan dakwah Islam yang merupakan prinsip politik luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya, dan sebagainya. Pada semua bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.
Adapun yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman:
”Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), selain kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan” (QS. Saba' [34]:28).
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (QS. al-A'raaf [7]: 158).
Semua ini menunjukkan prinsip politik luar negeri Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Tokoh-Tokoh Terkait Dalam Korespondensi Dengan Khalifah Bani Umayyah
» Muawiyah bin Abu Sufyan
Muawiyah bin Abu Sufyan (602 – 680; umur 77–78 tahun; bahasa Arab: معاوية بن أبي سفيان) bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah.
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba,Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah ditaklukkan. Kalangan Syi'ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai khalifah sejakHasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai khalifah, berbai'at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661 (umur 58–59 tahun) sampai dengan 680.
Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy'ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash, Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung.
» Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1] adalah khalifah Bani Umayyah ke-8 yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifahsebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.
» Ratu Shima
Patung Ratu Shima |
Ratu Shima adalah ratu penguasa Kerajaan Kalingga yang terletak di pantai utara Jawa Tengah sekitar tahun 674 Masehi. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur.
Bahkan Sang Ratu menjatuhkan hukuman mati untuk putra mahkotanya, akan tetapi para pejabat dan menteri kerajaan memohon agar Sang Ratu mengurungkan niatnya itu dan mengampuni sang pangeran. Karena kaki sang pangeran yang menyentuh barang yang bukan miliknya itu, maka Ratu menjatuhkan hukuman memotong kaki sang pangeran.
Awal mulanya, pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemasyhuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada seorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya walau kemudian hanya memotong kaki sang putera mahkota.[Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.]
Dalam majalah Eramuslim Digest edisi 10 disebutkan bahwa tidak lama setelah Sri Indravarman bersyahadat, pada tahun 726 M, Raja Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Tengah), putera dari Ratu Sima juga memeluk agama Islam.
» Raja Srindravarman
Sri Maharaja Indra Warmadewa atau Sri Indrawarman merupakan seorang maharaja Sriwijaya, yang namanya dikenal dalam kronik Tiongkok sebagai Shih-li-t-'o-pa-mo. Munculnya nama Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman berdasarkan surat kepada khalifahUmar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718.
Kitab al Hayawan |
Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. S.Fatimi, seorang sejarawan Malaysia menulis dan dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Nusantara tahun 2002 bahwa ada dua buah surat yang kemungkinan besar ditulis oleh Raja Sriwijaya untuk Khalifah di Tanah Arab. Bagian pembukaan dari surat pertama dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya Kitab al Hayawan (Buku Fauna) berdasarkan 3 rantai isnad.
Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan kepada Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahiz yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:
“Dari Raja Al-Hind yang kebun binatangnya berisikan ribuan gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani ribuan putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu - kepada Muawiyah….”
Buzur bin Shahriyar al Ramhurmui pada tahun 1000 Masehi menulis sebuah kitab yang menggambarkan betapa di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang teramat baik dengan Dunia Islam, Sriwijaya membolehkan warganya yang memeluk agama Islam hidup dalam damai dan memiliki perkampungannya sendiri di mana di dalamnya berlaku syariat Islam. Jadi semacam daerah istimewa.
Sementara surat kedua—yang terdokumentasikan dalam buku tulisan Ibnu 'Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) berjudul Al 'Iqd al Farid (“Kalung Istimewa”)—isinya lebih lengkap karena di dalamnya terdapat pembukaan dan isi, memperlihatkan betapa mewahnya Maharaja dan kerajaannya. Berikut surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
"Dari Raja sekalian para raja (Malik al Amlak) yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman gaharu, rempah wangi, pala, dan kapur barus, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab (Khalifah Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Ini adalah surat dari Raja Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru raja diangkat menggantikan Khalifah Sulaiman (715-717 M).
Khalifah Sulaiman merupakan khalifah yang memerintahkan Thariq Bin Ziyad membebaskan Spanyol. Pada masa kekuasaannya yang hanya selama dua tahun, Khalifah Sulaiman telah memberangkatkan satu armada persahabatan berkekuatan 35 kapal perang dari Teluk Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi) yang saat itu merupakan pelabuhan besar di dalam lingkungan Kerajaan Sriwijaya. Armada tersebut transit di Gujarat dan juga di Peureulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan Zabag atau Sribuza (Sriwijaya).
Raja Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah pada tahun 100 H (718 M). Ia meminta dikirimkan dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indravarman, seperti yang diminta olehnya. Tatkala mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh hidayah. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu akhirnya mengucap dua kalimat syahadat masuk Islam menjadi seorang muallaf. Sejak itu Kerajaan Sriwijaya Jambi pun disebut orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.
Uang Koin Kerajaan Sriwijaya (Sribuza) Islam |
Data-data tentang Islamnya Raja Sriwijaya memang begitu minim. Namun besar kemungkinan, Sri Indravarman mengalami penolakan yang sangat hebat dari lingkungan istana, sehingga raja-raja setelahnya kembali berasal dari kalangan Budha.
H. Zainal Abidin Ahmad hanya mencatat: “Perkembangan Islam yang begitu ramainya mendapat pukulan yang dahsyat semenjak Kaisar-Kaisar Cina dari Dinasti Tang, dan juga Raja-Raja Sriwijaya dari Dinasti Syailendra melakukan kezaliman dan pemaksaan keagamaan.”‘
Ibnu Taghribirdi dalam bukunya al Nujum al Zahirah fi Muluk Misr wa al Qahirah (“Perbintangan Terang Raja Mesir dan Kairo”) mempunyai tambahan untuk akhir surat kepada Khalifah Umar tersebut: “Saya mengirim hadiah jebat (musk), batu ratna, dupa dan barus. Terimalah dari saudara Islammu.”
Diperkirakan surat di atas diterima Khalifah Umar bin Abdul Aziz sekitar tahun 100H atau 717 M, di mana Sriwijaya tengah dirajai oleh Sri Indrawarman. Walau dalam surat itu bertulis “saudara Islammu” namun belum ada bukti peninggalan bahwa Sri Indrawarman sendiri (pernah) memeluk Islam. Khalifah Umar bin Abdul-Aziz sendiri kemungkinan besar memberikan hadiah untuk utusan Sriwijaya dan mereka kembali dengan membawa hadiah zanji (budak wanita berkulit hitam).
Membaca surat Maharaja Sriwijaya tersebut membuat kita semakin yakin bahwa sang maharaja sangat percaya diri dan penuh rasa keingintahuan mengenai segala perkembangan dunia internasional kala itu—salah satunya agama Islam yang baru muncul seabad pada waktu itu. karena, sebagaimana dimaklumi, bahwa para pelaut dan pedagang Sriwijaya (dan Nusantara lainnya) telah menjalin hubungan perniagaan dengan pedagang Timur Tengah, India, dan Cina, dengan Selat Malaka sebagai jalur sutra.
Ada satu hal lain yang bisa disimpulkan dari adanya surat-surat Raja Sriwijaya kepada dua khalifah Bani Umayyah tersebut, yakni persentuhan orang Sriwijaya (Melayu) dengan ajaran Islam. Selain sumber Arab yang ditulis oleh Ibn Hordadzbeh sejak tahun 844-848 M mengenai Sriwijaya, surat-surat tadi mencerminkan betapa Islam telah dikenal, setidaknya, oleh raja Sriwijaya pada abad ke-8, lima abad sebelum Kerajaan Samudra Pasai berdiri di ujung barat Sumatra. Di sini timbul dugaan bahwa terdapat kemungkinan bahwa setidaknya, sejak abad ke-8 M, ada sejumlah rakyat Sriwijaya (Sumatra) yang telah memeluk Islam walau dalam jumlah yang sangat kecil—selain pedagang-pedagang Arab dan Persia yang bermukim, baik untuk sementara atau seterusnya, di pesisir-pesisir utara Sumatra.
Dan bila memang demikian, maka bukan hal mencengangkan jika penduduk Sumatra (Melayu) telah lebih dulu memeluk Islam jauh sebelum Wali Sanga menyebarkan ajaran tersebut di Jawa. Tak hanya di sumatera, seperti disebutkan M.Hariwijaya dalam bukunya Wali Sanga Penyebar Islam di Nusantara, seperti dikutip oleh Masykur Arif dalam bukunya Sejarah Lengkap Wali Sanga, Mei 2013. bahwa Masyarakat Jawa sebelum datangnya Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik/Makdum Ibrahim Asmarakandi), sudah sedikit banyak mengenal agama Islam. Hal ini didasarkan pada adanya seorang raja di Pulau Jawa yg masuk Islam, yaitu Ratu Sima dari Kerajaan Kalingga di Jepara-Jawa Tengah.
Memasuki abad ke-14 M, Sriwijaya memasuki masa muram. Invasi Majapahit (1377) atas Sriwijaya menghancurkan kerajaan besar ini. Akibatnya banyak bandar mulai melepaskan diri dan menjadi otonom. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Islam kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera pada akhirnya bergabung menjadi Kesultanan Aceh Darussalam.