Di tengah sengatan matahari pagi, cacing itu merayap di atas jalan
berusaha mencari tanah yang lebih basah. Cacing itu hampir saja terinjak
oleh Presiden Sukarno yang sedang 'blusukan' ke sejumlah perkampungan
dan persawahan di daerah Yogyakarta akhir 1946 lalu. Bung Karno yang
pagi itu ditemani Ibu Negara Fatmawati memerintahkan satu pengawal
mengambil cacing tersebut, dan memasukkan ke sawah. Sayang pengawal yang
juga anggota polisi itu merasas jijik dengan cacing.
Bung Karno langsung memegang sendiri cacing itu dan memasukkannya ke sawah. Kemudian dia menghampiri sekumpulan petani yang tengah menanam padi. Dialog antara presiden pertama Indonesia dan rakyat itu pun berlangsung cair. Diselingi canda dan tawa. Mangil Martowidjojo, mantan Komandan Detasemen Kawal Pribadin Presiden, dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 mengatakan, Presiden Sukarno sering blusukan. Berbincang dengan rakyat jelata, di kampung maupun di tengah sawah. Suatu hari Bung Karno berkata pada Mangil, "Yo, Mangil. Bapak ingin keluar sebentar. Bapak ingin melihat umpyeke wong golek pangan di Jakarta (Bapak ingin melihat kesibukan orang mencari rejeki di Jakarta)," Mangil menulis dalam bukunya.
*****
Seorang perempuan pedagang beras memberhentikan sebuah mobil Jip di Jalan Pakuningratan (Utara Tugu) Yogyakarta. Dia berniat menumpang sampai ke Pasar Kranggan. Sampai di Pasar Kranggan, si pedagang beras meminta sang sopir menurunkan semua dagangannya. Setelah selesai si perempuan berniat membayar jasa. Namun dengan halus, sang sopir menolak. Bukannya berterimakasih, si pedagang beras ini justru marah. Dengan nada keras dia bertanya,"Apa uangnya kurang?".
Sang sopir justru langsung berlalu tanpa berkata apapun.Kemarahan si pedagang beras memantik perhatian orang di pasar. Seorang polisi datang menghampiri dan bertanya kepada si pedagang. "Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?" tanya polisi.
"Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu namanya. Memang sopir satu ini agak aneh." jawab si pedagang beras dengan nada tinggi.
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini," kata sang polisi.
Bagai disambar petir, sang pedagang beras itu pingsan. Dia tak menyangka yang baru saja membantu menaikan dan menurunkan barang dagangannya, adalah Sultan Hamengku Buwono IX.Kisah ini dituliskan kembali oleh SK Trimurti, Dalam buku 'Takhta Untuk Rakyat'. Istri dari Sayuti Melik, -pengetik naskah proklamasi-, saat itu menjabat Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, dan berada di Yogyakarta karena saat itu Ibu Kota dipindah ke Kota Gudeg tersebut.
*****
Kebiasaan melakukan incognito atau penyamaran juga kerap dilakukan Presiden Soeharto. Mantan Wakil Presiden Try Soetrisno dalam buku Pak Harto, The Untold Stories mengisahkan, saat blusukan, Soeharto hanya ditemani ajudan, satu atau dua pengawal dan dokter pribadi. "Pak Harto selalu berpesan tidak boleh ada satu pun yang tahu kalau Pak Harto mau melakukan incognito," Try menulis. Saat menyamar, Pak Harto selalu membawa makanan sendiri. Makanan itu dimasak oleh Ibu Tien Soeharto. Menunya sederhana sambal teri dan kering tempe. Presiden kedua Indonesia itu selalu makan bersama ajudan dan pengawalnya.
*****
Tahun ini, selain Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi tercatat banyak pejabat sering melakukan blusukan. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan misalnya, bulan lalu menginap di rumah salah satu penduduk di Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah. Dia melihat langsung kiprah petani sayur dan peternak di daerah tersebut. Menteri Perekonomian Hatta Rajasa juga sering blusukan ke pasar-pasar.
Namun menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi, di mata masyarakat label blusukan sudah terlanjur melekat pada diri Jokowi. "Karena dilihat tujuannya murni untuk rakyat, bukan untuk pencalonan presiden," kata Ari kepada Detik tadi pagi. Menurut Ari, blusukan yang dilakukan tokoh lain seperti Aburizal Bakrie, Gita Wirjawan dampaknya tidak akan bergema seperti Jokowi.Masyarakat juga menaruh harapan karena Jokowi berupaya melakukan perubahan setelah blusukan.Jiwanya murni ingin blusukan. "Beda dengan yang lain ya istilahnya follower," kata Ari.
Memang budaya blusukan juga sudah dilakukan Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Namun Ari melihat cara Jokowi lebih efektif dan mengena ke masyarakat. Dia mencontohkan aksi blusukan Jokowi ke beberapa tempat di Jakarta, seperti Tanah Merah, rumah susun sederhana sewa Marunda, dan Waduk Pluit.Meski masih sedikit, hasil blusukan Jokowi sudah bisa dirasakan masyarakat. "Metode Jokowi yang pas," kata Ari.
Bahkan meski mendapat kritik dari sejumlah pengamat, termasuk Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terkait anggaran yang mencapai Rp 26,6 miliar per tahun, menurut Ari hal itu tidak akan berpengaruh kepada masyarakat. “Saya kira masyarakat tahu karena melihat dan merasakan langsung metode belusukan Jokowi," tambah Ari.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akan melanjutkan aktivitasnya yang super padat di awal pekan kemarin. Bekas Wali Kota Solo yang akrab disapa Jokowi ini baru saja menerima kunjungan Menteri Perumahan Rakyat Djan Fariz di Balai Kota. Dengan langkah agak tergesa setelah mengantar sang tamu sampai teras pendopo, Jokowi yang Senin itu mengenakan setelan seragam dinas hijau-hijau, seperti biasa langsung dikerubuti wartawan. Namun ketika itu ia tidak hanya ditanyai perihal pertemuan dengan Menpera yang membahas masalah rumah susun di Pasar Rumput dan Pasarminggu. Yang lebih menjadi sorotan adalah aksi blusukan Jokowi.
Maklum, di pekan sebelumnya, Jokowi baru saja "disudutkan" oleh lembaga swadaya masyarakat Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) soal aksi blusukannya yang mendapat alokasi anggaran dalam jumlah besar. Koordinator Advokasi Fitra, M. Maulana, mengatakan dana yang oleh publik dikenal sebagai anggaran blusukan tersebut dalam peraturan gubernur disebut belanja penunjang operasional kepala daerah dan wakil kepala daerah. "Biaya tunjangan operasional kepala daerah besarnya Rp 26,6 miliar," kata dia kepada Detik.
Faktanya, gaya kepemimpinan Jokowi yang notabene dekat dengan rakyat itu memang telah membetot perhatian masyarakat luas, tak terkecuali para elite politik di negeri ini. Terhitung 282 hari sudah Jokowi menduduki kursi jabatan Gubernur DKI. Di sepanjang awal periode kepemimpinannya itulah hampir saban hari ia melancarkan berbagai terobosan yang terbilang agresif dengan aksi blusukannya.
Berbeda dengan pendahulu-pendahulu sebelumnya dalam upaya membenahi karut marutnya persoalan ibu kota, orang nomor satu di Jakarta ini tak bisa dipungkiri memiliki style yang berbeda. Namun dengan menerapkan gaya blusukan yang kenyataannya sebenarnya sangat disukai oleh warga ibu kota, Jokowi juga menuai sorotan negatif. Ia dituding menghabiskan dana yang tak sedikit untuk menjalankan gaya kepemimpinan merakyatnya itu, yang memang sudah dilakukannya sejak masih menjabat sebagai wali kota Solo.
Fitra menyebut jika anggaran blusukan tersebut dirinci, maka setiap bulannya mendapat alokasi sekitar Rp 2,2 miliar. "Per hari dapat Rp 70-an juta berdua, masing-masing sekitar Rp 37 juta untuk kepala daerah dan wakilnya," ujar Maulana. Hanya saja ketika disinggung mengenai jumlah anggaran khusus untuk blusukan, Maulana mengaku pihaknya belum mendapat angka pastinya. "Sejauh ini sih kita belum menelusuri sampai ke detailnya seperti itu."Pemerintah Provinsi DKI membantah tundingan yang dilontarkan Fitra.
Salah satu yang pasang badan adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, Endang Wijayanti. Dia menegaskan tidak ada anggaran untuk aktivitas blusukan yang dilakukan oleh Jokowi.Seolah tak mau ambil pusing, Jokowi mengaku akan tetap blusukan meski programnya itu dipertanyakan. Ia beralasan, kegiatannya itu dilakukan sebagai manajemen kontrol dan juga untuk pengawasan sehingga program pemerintahan bisa terealisasi. Karena itu ia berujar akan tetap blusukan selama ia menjadi pemimpin di DKI."Tetap blusukanlah, sepanjang masih punya kaki," kata Jokowi dengan nada santai.
Ia menekankan bahwa program blusukan yang ia jalankan tidak menelan anggaran yang besar. Jokowi pun menolak disebut memboroskan anggaran belanja dan pendapatan daerah. "Boros apa. Blusukan itu enggak pernah pakai anggaran, blusukan itu modalnya hanya jalan kaki, enggak ada yang lain," kata dia. Lebih lanjut ia juga membantah aksinya itu sebagai wujud pencitraan politis demi mendapat dukungan masyarakat. "Yang dicitrakan itu apanya? Lah wong kita ke kelurahan, kecamatan cuma untuk mengecek doang, enggak pakai dana apa-apa."ROPESTA SITORUS
Modal Kaki Jokowi
Dapatkan Wisbenbae versi Android,GRATIS di SINI !
Lihat yg lebih 'seru' di sini !
Follow @wisbenbae
"Tidak ada itu yang namanya anggaran untuk blusukan, tidak pernah dianggarkan," kata dia kepada Detik, kemarin. Endang menuturkan, selama ini alokasi biaya pengeluaran yang digunakan Jokowi dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama untuk blusukan diambil dari dana operasional tahun ini yang berjumlah Rp 26,6 miliar. "Anggaran yang digunakan Bapak untuk itu (blusukan) adalah dana operasional kepala daerah, itu yang Rp 26,6 miliar," kata Endang.
Dapatkan Wisbenbae versi Android,GRATIS di SINI !
Lihat yg lebih 'seru' di sini !
Follow @wisbenbae