Alhamdulillah. Segala puji bagi Alloh. Ucap syukur bibir dan hati ini mengalir ketika teringat akan perjalanan mencari jati diri sekaligus warna-warni mencari cinta. Awalnya cinta untuk lawan jenis yang dipandang sempit semata kini telah dipahami berbeda.
Semasa SD aku sudah mengenal cinta. Entah bagaimana perasaan kenal itu (sok kenal atau apa?) Tapi yang aku tau dari teman-teman kecilku, cinta itu adalah milik orang-orang yang berpacaran. Karenanyalah mereka menjodoh-jodohkan aku dengan teman lelaki yang sebaya dan dianggap serasi. Termasuk aku yang akhirnya dipasangkan dengan seorang anak bernama “Hen”. Dan saat itu aku hanya sok cuek sembari tersipu-sipu malu ketika mereka menggodaku dengan anak itu. Sepertinya itu yang dikatakan masa-masa cinta monyet. “Dasar anak kecil” pikirku sekarang.
Untung saja Alloh menolongku. Aku tidak sampai mengalami “Pacaran SD” hingga aku lulus dan masuk SMP. Apalagi aku hanya murid satu-satuanya yang masuk ke SMP kota, menjadikanku jarang kembali bergaul dengan teman-teman SD-ku. Lalu bertemulah aku dengan teman-teman baru yang ternyata tidak lebih baik dari teman-teman SD-ku. Jadilah masa SMP menjadi masa nakal-nakalnya aku. Bagaimana tidak? Aku dan teman-teman dekatku yang perempuan punya hobi baru yang kami sebut “Ngecengi cowok”. Aturannya kita harus punya satu sasaran teman laki-laki yang jadi target untuk PDKT dan dijadikan pacar kita, atau paling tidak jadi teman dekat. Masya Alloh.
Saat itu standar pilihan dalam memilih cowok bagiku yang wajib dipenuhi adalah fisiknya yang oke. Jadilah cowok yang paling cakep di kelas menjadi targetku. Untung Alloh menolongku sekali lagi. Karena aku bukan termasuk anak yang terlalu agresif, maka belum sempat aku PDKT padanya hingga menjelang lulus SMP, bukannya pujaan hati yang didapat malah kejatuhan sakit hati melihat dia pacaran dengan orang lain. Kasihan deh aku…Tapi sekarang kupikir, alangkah baiknya Alloh padaku yang memberi sedikit kepahitan tapi menghindarkan dari marabahaya yang lebih besar.
Tak hanya itu, di awal SMA rasa penasaranku terhadap cinta semakin menjadi-jadi dan mulai berani. Aku seperti gadis dengan mata liar yang siap menerkam mangsa. Sebenarnya aku hanya ingin mendapatkan cinta yang haqiqi. Tapi aku masih belum memahami cinta seperti apakah itu, apa hakekatnya? Dimanakah aku bisa mendapatkannya? Aku ingin diperhatikan, bukan perhatian seperti perhatian Bapak. Aku ingin disayangi, bukan kasih sayang seperti yang diberikan Ibu. Aku ingin dimanja, bukan seperti kakakku yang sering memanjakanku. Aku ingin ada teman tempat berbagi keluh kesah, bukan tempat berbagi curhat seperti pada sahabat perempuanku. Lebih dari itu semua. Hingga aku temukan jawaban konyol tanpa berpikir ke depan dan kebelakang. Aku harus mencari pacar! Siapapun itu asal aku tertarik.
Berikutnya, jadilah kakak kelasku di SMA jadi sasaran berikutnya. Saat aku mengenalnya, dia adalah laki-laki yang baik, dan satu lagi yang penting, dia tampan! Kami mengikuti satu organisasi ekstrakulikuler yang sama. Tapi anehnya ditengah kebaikannya dia seolah menghindar saat kudekati. Aku semakin penasaran dan mulai menggantungkan hati padanya. Padahal kini kupahami bahwa Alloh tidak berhak disekutukan sebagai tempat bergantungnya hati. Tapi apa dikata, sikapnya yang baik itu ternyata kusalahartikan. Kebaikan dan ketampanannya itu ternyata bukanlah cermin kepribadiannya. Kusadari kebodohanku setelah mendengar bahwa dia menyukai gadis lain yang ternyata temanku sendiri dan kulihat dia berpacaran dengangadis pujaanya itu.
Hari-hariku setelah itu bagai badai di hujan deras, guntur di siang hari. Nilai-nilai pelajaranku anjlok. Aku merasa tertekan, dunia terasa sesak. Aku mulai lelah dengan petualanganku mencari cinta. Bahkan aku sempat sangat membenci kakak kelasku yang kuanggap menghianatiku itu. Padahal akau tau kami sama sekali tidak pernah berhubungan dekat.
Ditengah keadaanku yang seperti itu, ada seorang teman perempuan yang mulai dekat denganku. Dia adalah teman satu SMA tapi lain kelas, rumahnya juga tidak jauh dari rumahku. Kami mulai dekat saat shalat tarawih bersama di bulan Ramadhan kala itu. Aku tertarik bergaul dengannya karena dia begitu lembut, baik, santun dan dia juga humoris. Seringkali aku tersenyum jika bersamanya. Dia juga memakai jilbab lebar tidak seperti jilbab yang dipakai oleh teman-temanku lainnya yang masih menonjolkan lekuk tubuhnya. Suatu saat dia mengajakku ke kajian kemuslimahan yang diadakan tiap hari Jum,at pulang sekolah. Awalnya aku malu-malu karena saat itu aku masih belum menutup kepala, tangan dan kakiku dengan pakaian sepertinya. Namun kupikir lagi, barangkali sakit hatiku akan hilang dan setidaknya perlahan berkurang dengan datang ke kajian itu. Akhirnya kuputuskan melangkahkan kakiku ke masjid sekolah untuk mengikuti kajian sebagai tempat pelarian sedihku.
Baru beberapa kali aku mengikuti kajian, aku telah merasakan suatu kebahagiaan, kepuasan batin yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku seperti seorang pengembara di padang pasir yang kehausan dan telah menemukan telaga dengan berlimpah air. Ditambah lagi kehangatan, senyuman dari ustadzah yang sabar membimbing adik-adiknya. Hingga perlahan tapi pasti aku semakin memahami akan makna hidup ini. Begitu juga dengan Islam. Agama yang selama ini kupeluk sejak lahir, yang aku tidak paham maknanya, yang selama ini kukira hanya sebagai alat untuk masuk surga, yang tidak perlu dicari ilmunya, yang cukup dari pembelajaran di sekolah saja. Betapa jahilnya aku saat itu.
Aku mulai belajar Islam seolah dari nol. Aku juga mulai mengenal manhaj Salaf, belajar aqidah, tauhid, sunnah, akhlak, dan lainnya dengan dibantu oleh teman akhwatku yang telah mengenal lebih dahulu.
Pun mengenai pacaran kini aku mengerti. Pacaran bukanlah sarana untuk menemukan cinta haqiqi. Justru pacaran akan semakin menjerumuskan ke dalam jurang kesengsaraan. Kini kurenungkan kembali, betapa beruntungnya aku. Ketika nyaris telah berada di tepi jurang, Alloh selalu menolongku. Alloh selalu menyelamatkanku dari kehancuran. Satu lagi yang kupahami, betapa Penyayangnya Alloh pada hamba-hambaNya. Termasuk aku yang selalu digagalkan jalannya untuk sekedar mencicipi maksiat pacaran.
Hingga kini aku berada di bangku kuliah, Alloh menguji keimananku. Ketika dulu aku menyukai seseorang untuk dijadikan pacar, mereka selalu lari terbirit-birit dariku. Tapi sekarang meskipun aku telah berjilbab lebar, dan berusaha untuk godhul bashor, ada saja laki-laki yang iseng atau entah apa berusaha menarik perhatianku. Memang letak ujian Alloh ada disini. Laki-laki tersebut secara fisik masuk kriteria seperti yang aku idam-idamkan dulu. Dia tampan! Tapi hati kecilku kini berkata “tidak”. Aku tidak ingin terjerumus lagi ke jurang yang sama. Aku sadar ini adalah ujian dari Alloh dan aku harus kuat.
Di tengah ikhtilat yang berlaku di kampusku aku sadar sangat sulit untuk menghindari maksiatnya mata. Tapi aku harus tetap menjaga diri dan hati. Karena aku sadar cinta yang haqiqi adalah cinta untuk Alloh dan karena Alloh. Aku ingin mencintai seseorang dibawah ridhonya Alloh.
Kelak aku ingin mencintai lawan jenis yang bukan mahrom hanya untuk suamiku. Dan aku ingin mencintai suamiku karena diennya dan karena kecintaannya pada alloh. Bukan hanya karena ketampanannya semata. Kini aku hanya bisa mempersiapkan diri menyongsongnya sekaligus berharap-harap cemas, bertawakal kepada Alloh agar bisa mendapatkan yang terbaik untuk agamaku, diriku, keluargaku, dunia dan akhiratku. Semoga Alloh memudahkan
sumb3r
ketemu....
Follow @wisbenbae