GuidePedia

Ilustrasi - "M51: The Whirlpool Galaxy". (rsvlts.com / Martin Pugh)
Ilustrasi – “M51: The Whirlpool Galaxy”. (rsvlts.com / Martin Pugh)

Sore itu, ada tiga orang musafir dari Australia yang sedang jaulah tabligh ke Taiwan. Sudah tiga hari para ustadz tersebut berada di Kota Taichung, dan kali ini para ustadz hendak menyampaikan taujih ke mushalla kecil di dekat warung Indonesia, di mana para jamaahnya tentu saja orang Indonesia yang bekerja dan studi di sana. Maka hadirlah saya di tengah kerumunan sore itu ba’da Maghrib, diminta untuk menerjemahkan satu persatu kalimat yang disampaikan oleh sang ustadz bagi para jamaah.

Sang ustadz mengawali dengan ilustrasi yang menurut saya sangat mengena.

“Dunia tempat kita tinggal ini sangat kecil dibandingkan seluruh alam ciptaan Allah. Jika diibaratkan cincin, maka langit pertama adalah padang pasir. Dunia kita dibandingkan dengan langit pertama adalah seperti cincin di tengah padang pasir. Dan jika langit pertama dibandingkan dengan langit kedua adalah juga seperti cincin di tengah padang pasir. Begitu seterusnya, perbandingan antara satu langit dengan langit berikutnya, cincin dan padang pasir, hingga seluruh langit yang ada tujuh itulah yang paling besar.

“Maka dunia kita ini teramat kecil dibandingkan dengan ciptaan Allah seluruhnya. Dan alangkah kerdilnya manusia, kita masih sering menganggap dunia ini sangat besar. Bahkan sampai-sampai mementingkan dunia yang teramat kecil ini hingga merasa sangat susahlah hidup itu. Ketahuilah wahai jamaah sekalian, siapa yang mengingat Allah maka hatinya akan tenang. Karena Allah-lah pemilik seluruh yang ada di alam semesta ini, dengan keagungan Allah-lah semua alam semesta ini dapat terjadi. Semua dengan kehendak-Nya.”

***
Potongan ceramah yang disampaikan sang ustadz mengingatkan saya akan sebuah film dokumenter di BBC Horizon – channel dokumenter sains-nya BBC. Ada sebuah ilustrasi yang teramat mirip. Ya. Film ini bertutur tentang kebesaran alam semesta. Judulnya adalah sebuah pertanyaan: “Sebesar apakah alam semesta ini?” “How big is universe?”

Dalam kajian kosmologi modern, sebenarnya kita sudah bisa memetakan secara lengkap alam semesta, begitu kiranya yang saya dapat dari menonton video di BBC Horizon ini. Jika dulu manusia hanya bisa melihat langit malam dengan mata telanjang, kini sudah ratusan jenis teleskop bisa memetakan langit, dengan teknologi komputer dan berbagai kemajuannya, hingga langit bisa dipetakan dengan seluruh posisi dan letaknya secara lengkap.

Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa kita sekarang memiliki apa yang dinamakan dengan observable universe, yaitu alam semesta yang mampu di-observe, diamati, oleh manusia. Observable universe itu berbentuk bulat, seperti bola, dengan di dalamnya adalah galaksi-galaksi yang berisi bintang, planet, lubang hitam, asteroid dan seluruh materi yang ada di alam semesta, Observable universe di bumi tidak sama dengan observable universe di Mars, begitu juga di tempat lain, semua tergantung posisi pengamat. Ya. Observable universe adalah seperti radar atau peta yang berbentuk bola, di mana yang dipetakan adalah letak galaksi-galaksi dan benda langit, sementara bumi tempat pengamat, berada di pusatnya.

Mengapa berbentuk bola? Inilah pula yang menjelaskan mengapa hanya disebut observable universe. Dinamakan demikian karena hanya itulah batas yang bisa dilihat, di-observe oleh manusia dari alam semesta yang besar ini. Manusia terpaksa hanya bisa melihat sekitar bumi dalam jangkauan bola itu. Ini bukan tentang peralatan atau kemampuan manusia yang ‘terbatas oleh teknologi’, namun ini tentang alam semesta yang ‘terbatas oleh hukum fisika’ itu sendiri. Hukum fisika yang dimaksud adalah kecepatan cahaya dan batas waktu.

Prinsip ini sederhananya dapat kita pahami dari pelajaran SD. Untuk melihat sebuah benda, kita perlu mendapatkan pantulan cahaya/sumber cahaya dari benda tersebut ke indera penglihatan kita yaitu mata. Maka untuk melihat bunga, kita perlu menerangi bunga dengan lampu sehingga cahaya lampu merambat ke bunga lalu memantul ke mata kita. Begitu pula untuk melihat benda-benda lain; jam, gelas, meja, kita perlu cahaya yang merambat dan di-observe, diamati oleh mata. Tidak berbeda dengan bintang, bulan, benda-benda langit yang ada di luar angkasa, kita perlu cahaya yang merambat dari benda-benda itu ke arah teleskop yang ada di bumi, lalu ke mata kita. (Teleskop kita butuhkan karena mata kita tidak didesain untuk menangkap cahaya-cahaya dengan intensitas sangat kecil, secara sensitif).

Masalahnya adalah bagaimana jika cahaya yang coba kita tangkap itu merambat dengan kecepatan terbatas dan waktu terbatas? Kita tahu kecepatan cahaya itu sangat magic, tapi ia tetap saja terbatas yaitu 300 ribu meter per detik! Dan kita tahu waktu yang ada di alam semesta ini terbatas, meskipun sangat panjang (miliaran tahun), namun ia tetap saja terbatas, jika kita hitung sejak terciptanya alam semesta hingga sekarang, itulah batas waktu yang telah tercipta di alam materil kita.

Maka kesimpulannya adalah kita tidak akan pernah melihat ujung dari alam semesta ini. Benda-benda terjauh dari bumi melesat lebih jauh dari jarak yang mampu ditempuh batas kecepatan cahaya selama seluruh waktu yang ada di alam semesta ini. Sehingga untuk selamanya, pandangan kita terhadap alam semesta ini adalah terbatas pada ukuran tertentu. Batas itu jika kita arahkan ke seluruh penjuru tiga dimensi akan membentuk kurva bola. Itulah observable universe kita.

Kesimpulan selanjutnya, jika pandangan kita terhadap alam semesta adalah terbatas, maka kita tidak akan pernah tahu sebesar apa sesungguhnya alam semesta ini. Lalu bagaimana menjawab pertanyaan “How big is universe?” Tentu saja kita hanya bisa menjawab: yang pasti, aslinya lebih besar dari itu!
Di titik inilah sebenarnya manusia tidak bisa lagi menjangkau misteri alam materil itu sendiri, yang nyatanya dibatasi oleh hukum yang ada di alam materil itu (hukum fisika). Ini memang tidak boleh jadi batas manusia untuk terus melakukan inovasi dan penelitian, karena ada banyak hal yang masih bisa dilakukan, termasuk mencari apa yang bisa dilakukan untuk melihat lebih jauh (misalkan dengan mencari sesuatu yang bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya). Namun siapa menjamin, bahwa dengan ditemukannya jawaban misteri ini, lalu tidak akan muncul misteri yang lain lagi? Tentu kita tidak sedang mencari jawaban misteri mengapa handphone kita mati, karena berbeda dengan handphone, alam semesta tentu saja tidak dibuat menggunakan SOP berbahasa Indonesia atau Inggris.

Yang jelas, tiap capaian ilmu pengetahuan, di mana manusia semakin memahami alam materil dan fenomena materil, pada akhirnya interpretasinya akan kembali pada manusia itu sendiri. Interpretasi selamanya hanya ada pada akal budi. Alam semesta bisa memunculkan kenyataan apapun, namun yang menginterpretasinya adalah hati, adalah kesadaran dan akal budi manusia. (sejauh ini, hanya manusia yang terbukti -dan kita anggap- memiliki akal budi (self consciousness))

Di titik ini sains dan fenomenanya tidak akan menjadi objek yang netral, ia akan bercampur dengan kepercayaan.

Maka, ceramah sang ustadz di toko Indo tadi terasa sangat benar. Jika sang ustadz percaya -dari nash hadits yang ia baca, bahwa alam semesta ini sebesar cincin di atas padang pasir, maka boleh saja ia percaya demikian, karena sains toh tidak mampu menjawab sebesar apa alam semesta ini. Ia hanya mampu melihat sebatas observable universe, selebihnya wallahu’alam. Memang hanya Allah yang paling tahu.

Maka saya hanya tersenyum ketika melihat sebuah tayangan lain di BBC pasca heboh ditemukannya partikel Tuhan “Higgs Boson”, di mana diskusi berlangsung antara tiga orang narasumber: Seorang ateis berkebangsaan India, seorang Rabi Yahudi dan seorang Ustadz berkebangsaan Inggris. Sang ateis India ini ngotot, bahwa ditemukannya higgs boson jadi bukti awal bahwa Tuhan itu tidak ada, bahwa sains bisa menjawab pertanyaan dan misteri alam semesta, bahwa manusia ini bebas dari doktrin yang kotor tentang kehidupan yang mengatur.

Maka saya bertanya-tanya, dari mana ia bisa dapat kesimpulan seperti itu? Bahkan untuk sampai pada Higgs Boson pun kemanusiaan perlu melalui jalan yang amat panjang, dan setelah Higgs Boson pun kita tak tahu jalan akan sepanjang apa. Kenapa lalu kita harus menyerahkan kepercayaan kita, lingkup intim spiritual kita, sesuatu yang teramat berharga dari kemanusiaan kita, pada sains yang begitu rapuh dan relatif?

Sekali lagi ini bukan berarti kita harus meninggalkan sains untuk selamanya dan menjadi rahib siang dan malam tanpa memandang dunia. Bukan! Namun ada sisi-sisi di mana kehidupan ini tidak bisa kita serahkan begitu saja pada logika. Dan telah jelas dan nyata bahwa dari alam semesta ini kita menemukan ada lubang-lubang yang harus kita isi dengan keimanan, harus kita isi dengan ketundukan, harus kita serahkan pada Dzat yang menjadi sebab segala sebab. Tentu kita hanya dan hanya bisa menemukan lubang-lubang misteri itu setelah mencari dan berlogika, setelah berikhtiar melunakkan alam materil, alam kauni, yang dengan demikian mengharuskan kita mendekati sains. Maka sains kita sentuh dan keyakinan kita gunakan. Keyakinan itu tidak boleh goyah meski sains bergejolak sehebat apapun.

Sekali lagi mari kita renungkan kalimat nasihat sang ustadz di depan tadi:
“Maka dunia kita ini teramat kecil dibandingkan dengan ciptaan Allah seluruhnya. Dan alangkah kerdilnya manusia, kita masih sering menganggap dunia ini sangat besar. Bahkan sampai-sampai mementingkan dunia yang teramat kecil ini hingga merasa sangat susahlah hidup itu. Ketahuilah wahai jamaah sekalian, siapa yang mengingat Allah maka hatinya akan tenang. Karena Allah-lah pemilik seluruh yang ada di alam semesta ini, dengan keagungan Allah-lah semua alam semesta ini dapat terjadi. Semua dengan kehendak-Nya.”

Subhanallah. Memang sudah jelas bagi kita, bahwa hanya dengan mengingat Allah semua akan jadi lebih indah. Alaa bidzikrillahi tathmainnul qulub…
Subhanallahi walhamdulillah…

 Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top