SURIAH (voa-islam.com) - Hari pertama tiba di kawasan Lattakia, Suriah, Jum’at (5/4/2013), kami berjumpa dengan dua orang mujahid Arab. Ciri fisik keduanya berbeda dengan orang-orang Arab Suriah. “Pasti pejuang dari negara arab lain,” ujar salah seorang diantara kami saat itu.
Di saat kami ingin menyapa beliau berdua, salah seorang yang lebih muda dari keduanya menyapa kami terlebih dahulu, “Apa kabar? kamu orang Indonesia?” tanya beliau dengan bahasa Indonesia, tentu kami kaget menemukan orang Arab di bumi jihad seperti ini yang bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang diejakan dengan logat khas Arab memang kedengarannya agak lucu, tapi sangat menyenangkan.
Setelah berkenalan dengan keduanya, kami baru tahu ternyata keduanya adalah pejuang yang berasal dari Yaman. Keduanya masuk ke Suriah dengan seorang dokter bernama Abu Abdillah.
Yang paling tua memperkenalkan dirinya dengan nama Abu Utsman, sedangkan yang paling muda memperkenalkan dirinya dengan Abu Hamzah. Menurut kisahnya, Abu Utsman telah memiliki empat orang anak, yang paling besar umurnya 16 tahun. Lelaki yang berumur kisaran 45 tahun ini telah melalang buana ke berbagai bumi jihad. Ia pernah berjihad di Afghanistan, awal-awal penyerbuan Amerika ke negeri Islam Thaliban itu.
Ia juga sempat berjihad di Somalia dan Bosnia. Sebelum datang ke Suriah, sekian tahun berjihad membantu saudara-saudara muslimnya di Chechnya melawan kaum Atheis yang merenggut kehormatan wanita-wanita muslimah di sana dan memburu para laki-lakinya. Medan jihad yang paling berat, menurut Abu Utsman, adalah medan jihad di Chechnya. Bagaimana tidak? Setiap tahunnya, hampir lima bulan penuh bumi Chechnya direndam salju.
Sedangkan Abu Hamzah, mujahid yang berusia kisaran 35 tahun ini, pernah membantu saudara-saudaranya di Afghanistan mengusir penjajah Amerika. Bapak yang anak satu ini ternyata memiliki darah keturunan Indonesia, tepatnya di Aceh. “Mama saya dari Indonesia, papa dari Yaman,” tuturnya suatu saat. Pantas dia bisa berbahasa Indonesia.
“Bagaimana dengan keluarga Anda berdua?” Tanya saya suatu ketika. Keduanya serempak menjawab, “Mereka telah mengikhlaskan kami untuk berjuang membantu saudara-saudara kami yang terdzalimi. Adapun urusan mereka, kami serahkan semuanya kepada Allah, kami bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Dia sebaik-baiknya penjaga.”
Bagi kami yang belum begitu terasah dengan dunia jihad dan pengorbanan, memaknai tawakkal seperti yang dipahami oleh kedua mujahidin ini masih begitu susah, tetapi bagi pejuang-pejuang Suriah baik lokal maupun pendatang dari negara tetangga, istilah tawakkal itu bukan lagi teori yang dihafal dan ditulis, tetapi itu sudah menjadi keyakinan yang sudah mengakar kuat dalam sanubari mereka.
Di saat kami ingin menyapa beliau berdua, salah seorang yang lebih muda dari keduanya menyapa kami terlebih dahulu, “Apa kabar? kamu orang Indonesia?” tanya beliau dengan bahasa Indonesia, tentu kami kaget menemukan orang Arab di bumi jihad seperti ini yang bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang diejakan dengan logat khas Arab memang kedengarannya agak lucu, tapi sangat menyenangkan.
Setelah berkenalan dengan keduanya, kami baru tahu ternyata keduanya adalah pejuang yang berasal dari Yaman. Keduanya masuk ke Suriah dengan seorang dokter bernama Abu Abdillah.
Yang paling tua memperkenalkan dirinya dengan nama Abu Utsman, sedangkan yang paling muda memperkenalkan dirinya dengan Abu Hamzah. Menurut kisahnya, Abu Utsman telah memiliki empat orang anak, yang paling besar umurnya 16 tahun. Lelaki yang berumur kisaran 45 tahun ini telah melalang buana ke berbagai bumi jihad. Ia pernah berjihad di Afghanistan, awal-awal penyerbuan Amerika ke negeri Islam Thaliban itu.
Ia juga sempat berjihad di Somalia dan Bosnia. Sebelum datang ke Suriah, sekian tahun berjihad membantu saudara-saudara muslimnya di Chechnya melawan kaum Atheis yang merenggut kehormatan wanita-wanita muslimah di sana dan memburu para laki-lakinya. Medan jihad yang paling berat, menurut Abu Utsman, adalah medan jihad di Chechnya. Bagaimana tidak? Setiap tahunnya, hampir lima bulan penuh bumi Chechnya direndam salju.
Sedangkan Abu Hamzah, mujahid yang berusia kisaran 35 tahun ini, pernah membantu saudara-saudaranya di Afghanistan mengusir penjajah Amerika. Bapak yang anak satu ini ternyata memiliki darah keturunan Indonesia, tepatnya di Aceh. “Mama saya dari Indonesia, papa dari Yaman,” tuturnya suatu saat. Pantas dia bisa berbahasa Indonesia.
“Bagaimana dengan keluarga Anda berdua?” Tanya saya suatu ketika. Keduanya serempak menjawab, “Mereka telah mengikhlaskan kami untuk berjuang membantu saudara-saudara kami yang terdzalimi. Adapun urusan mereka, kami serahkan semuanya kepada Allah, kami bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala . Dia sebaik-baiknya penjaga.”
Bagi kami yang belum begitu terasah dengan dunia jihad dan pengorbanan, memaknai tawakkal seperti yang dipahami oleh kedua mujahidin ini masih begitu susah, tetapi bagi pejuang-pejuang Suriah baik lokal maupun pendatang dari negara tetangga, istilah tawakkal itu bukan lagi teori yang dihafal dan ditulis, tetapi itu sudah menjadi keyakinan yang sudah mengakar kuat dalam sanubari mereka.
Saat saya tanya, “apakah kalian merindukan keluarga?”. Keduanya menjawab, ‘itu sudah manusiawi, tetapi penderitaan yang dialami oleh saudara kami di bumi Syam ini, mengharuskan kami untuk mengikhlaskan diri berpisah dengan keluarga-keluarga kami yang tercinta.” Abu Utsman melanjutkan, “Yang sangat sulit bagi pejuang adalah mengikhlaskan niat.” Kemudian Abu Hamzah melanjutkan, “Padahal pahala jihad sangat tinggi, ia adalah puncak ibadah tertinggi dalam Islam.” Kemudian ia membacakan beberapa ayat dan hadits terkait keutamaan jihad. “Semoga kehadiran kalian di sini ditulis sebagai ibadah ribath dan jihad di sisi Allah.” Kata Abu Hamzah mengakhiri dialog kami sehabis shalat maghrib berjama’ah di sore kala itu. “Aamin ya Rabb.” Jawab kami mengamininya.” [Abu Abdurrahman]
http://suaramuslimindonesia.blogspot.com