Oh no!
Rute #TNTrtw (Trinity Round-the-World trip) di Amerika Selatan pertama adalah Brazil, lalu jalan darat ke Argentina. Maka setelah dapat visa Schengen dan Brazil, saya pun apply visa Argentina di Jakarta. Udah browsing sampe bego, nggak nemu situs resmi yang bisa menjelaskan persyaratannya, kecuali situs-situs travel agent yang syaratnya lebay. Tanya sana-sini, malah nemu 3 orang teman saya yang visa Argentina-nya ditolak dengan alasan nggak jelas, padahal mereka traveler sejati yang udah ke mana-mana. Tapi saya tetap optimis, sampai ketika saya datang ke Kedutaannya…
Baru nyampe, tampak seorang cewek menyerahkan dokumen visanya kepada petugas di loket visa. Mbak-mbak petugas visa dengan juteknya meng-harass si cewek, “Ini tulisannya salah eja, Iguazu dalam bahasa Argentina pake z, bukan c! Ini booking-an hotel harus jelas ditulis nama kamu sesuai paspor! Loh, ini itinerary per harinya mana? Masuk dari mana, keluar dari mana? Ini nanti tiket pesawatnya nggak bisa hanya booking-an aja, harus sudah issued! Kembali lagi kalo udah lengkap!” Glek. Saya langsung mengkeret. Buset, semua orang seruangan bisa mendengar suara si mbak. Si cewek berlinangan air mata karena ternyata dia sudah datang ke sekian kali tapi masih harus disuruh bolak-balik untuk melengkapi dokumennya. Pas giliran saya yang cuma mau nanya persyaratan, diberikanlah secarik kertas berisi alamat situsnya. Buset, pantesan aja kagak bisa di-browsing. Alamatnya panjang, banyak slash dan susah diingat!
Besoknya saya kembali lagi sambil membawa lengkap dokumen sesuai yang tertera di situs resmi Imigrasi Argentina. Setelah menunggu lebih dari sejam, eh si mbak petugas malah mendahului travel agent yang datang belakangan tapi bawa sekardus paspor rombongan dokter jalan-jalan (ehem, tajir amat yak!). Tiba giliran saya, si mbak jutek pun memeriksa dokumen saya sambil berkata…
- Kertas fotokopinya kok nggak sama gini sih besarnya? Harus A4 semua! *padahal buku bank kan kecil, masa fotokopi sehalaman kertasnya harus segede A4?*
- Kok fotokopi paspor cuman halaman depannya aja? Semuanya harus difotokopi berikut visa-visanya!” *jiaah, meneketehe! Di persyaratan cuma ditulis “fotokopi paspor”*
- Ini surat sponsornya harus jelas ditulis ada kata “menginap” di rumahnya. *ebuset, seumur idup surat sponsor gue kagak ada yang pake kata ”menginap” tapi lolos aja tuh*
- Itinerary per harinya mana? Harus jelas hari ini ke kota apa dan tinggal di mana! *bujug, emang kalo berbulan-bulan kita udah tau gitu mau jalan ke mana?*
Tak lama kemudian, dia berkata, “Oh, kamu mau pergi ke Argentina masih bulan Desember? Sekarang kan baru September, kamu dateng lagi aja bulan depan!”
“Maaf, saya bulan depan udah pergi dari Indonesia. Bisa diurusnya sekarang aja nggak?”
“Wah, nggak bisa. Kita lagi sibuk banget. Tuh lihat, application-nya setumpuk gitu!” sambil nunjuk tumpukan kertas yang kira-kira setinggi kurang dari 10 cm.
“Minta tolong, Bu. Urgent nih,” rayu saya.
“Nggak bisa,” jawabnya sambil melengos balik badan.
DARRR!
Singkat cerita, saya sampai di Foz do Iguacu dimana kita bisa melihat air terjun dari dua sisi, yaitu sisi Brazil dan sisi Argentina dalam satu hari. Semua orang melakukannya sekaligus dari kedua sisi… kecuali kami, orang Indonesia! Teman-teman bule sehostel berkomentar, “That’s stupid! Argentina is in crisis now, they should let people come in to make their economy better.” Orang Brazil yang ternyata sebel sama Argentina juga ngomporin, “Mereka memang sombong dan belagu!”. Saya jadi tahu bahwa Brazil dan Argentina itu bagaikan Indonesia dan Malaysia, saling membenci apalagi ketika keduanya bertanding sepak bola.
Setelah lebih dari sebulan di Brazil, menjelang Natal kami harus pindah negara akibat living cost di Brazil yang gila-gilaan mahalnya apalagi pas high season. Rencana awalnya mau jalan darat antarnegara di Amerika Selatan, terpaksa harus terbang ke Chile karena nggak punya visa ke negara-negara yang berbatasan dengannya. Nggak punya visa Argentina, Paraguay dan Uruguay. Dodolimpret!
Setelah browsing sana-sini, termurah adalah naik pesawat Aerolineas Argentinas dari Porto Alegre di Brazil ke Santiago di Chile. Karena pesawat milik negara Argentina, jadi harus transit di Buenos Aires. Sadar diri nggak punya visa, saya milih pesawat yang arrival dan departure-nya dari bandara yang sama supaya nggak usah melewati imigrasi, meski harus menginap semalam. Yah seperti yang biasa saya lakukan di bandara-bandara lain kalo nggak punya visa. Maka dari Florianopolis, kami naik bus semalaman. Nyampe pagi di kota Porto Alegre, langsung cabut ke airport.
Dengan muka Zombie karena kurang tidur, kami check in tiga jam sebelum take off. Belum juga dapat seat, si petugas bertanya, “Do you have Argentina visa?”
“I don’t need one. Only transit before going to Santiago,” jawab saya bingung.
“Let me talk to my boss first.”
Doh, ada apa lagi sih!?
5 menit kemudian bosnya datang meriksa paspor dan bilang bahwa saya harus punya visa. Berkali-kali saya bilang bahwa saya cuman transit dan stay di dalam airport menunggu penerbangan berikutnya jadi memang nggak perlu visa. Tapi si bos tetap keukeuh. Rasanya saya mau teriak, “Woi, gue kagak bakal keluar-keluar, cuman ngedekem di airport doang, cuy!” Si bos tetep ngotot bahwa saya nggak boleh naik pesawat dengan alasan transit lebih dari 6 jam harus pake visa! BANGKE!!! Dia menghalau saya ke kantornya untuk mengurus refund tiket dan memberikan alamat ke Konsulat Argentina untuk minta visa transit. Sialnya, tiket nggak bisa di-refund karena saya belinya di agen online. Hilang deh duit ratusan dolar! Dan disuruh ngurus visa lagi ke Konsulat? Ih, ogah deh! Trauma! Maka saya pun terpaksa menginap di sebuah hostel di Porto Alegre. Malamnya saya posting status di Facebook tentang kejadian ini dan teman saya orang Argentina berkomentar, “On behalf of my country, I apologize. But I already warned you that we are a bunch of assholes!” Nah lho!
Akhirnya saya membeli lagi tiket baru naik Aerolineas Argentinas dari Rio de Janeiro ke Santiago, dengan transit di Buenos Aires selama 2 jam di airport yang sama. Ditambah lagi tiket pesawat dari Porto Alegre ke Rio de Janeiro karena udah nggak sanggup naik bus 3 hari. Plus, saya harus mengeluarkan uang untuk menginap semalam lagi di Rio de Janeiro. Malam itu teman saya, Lia, email bahwa dia pernah transit di Buenos Aires, eh dia dikunciin di sebuah ruangan dingin di airport saking takutnya kabur! Ih, ngehe banget kan? Saya jadi stres!
Oke, saya memaafkan kejadian kemarin dan ingin keluar dari Brazil dengan lancar. Bukan hanya materi yang sudah terbuang percuma, tapi juga fisik dan mental kami sudah lelah. Dengan semangat, pagi-pagi kami ke airport Rio de Jainero, dan… Jeng jeng! Status penerbangan kami ke Buenos Aires adalah CANCELED! Watdefak?! Katanya penerbangan dibatalkan karena cuaca buruk. Penumpang lain dialihkan ke pesawat berikutnya dan dapat voucher makan, tinggal kami yang ketinggalan. Nah, pikirin deh tuh sana gimana caranya kami transit tanpa visa! Emang enak?!
Tiga jam nunggu di depan konter, akhirnya bosnya datang, “We are so sorry because the flight is canceled. Since you have connecting flight to Santiago, the schedule doesn’t match so you need to stay another night here and fly the next day at the same time. However, we will provide hotel, meals and taxi for you.” HAH? Lalu anak buahnya ucluk-ucluk datang sambil memberikan voucher taksi dan alamat hotel. Yihaa, kami nginep semalam lagi di Rio de Janeiro! Kali ini di hotel mewah (baca: hotel, bukan hostel) di Copacabana Beach! Semua makan dan minum tinggal order via room service. Sebagai balas dendam, saya memesan makanan berdasarkan harga yang paling mahal – nggak peduli menunya apaan. Akhirnya saya pun bisa berenang di pantai Copacabana yang cuman jalan kekong pake sarung dan berjemur di kursi pantai yang disediakan hotel.
Akhirnya keesokan harinya lagi kami berhasil terbang. Ketika pesawat akan mendarat di Buenos Aires, dari jendela pesawat terlihat kota yang flat dan pantai yang airnya coklat. Duile, negara jelek aja belagu amat! Terus terang, saya masih sebel. Rasanya pengen boker di WC airport-nya dan nggak disiram saking sebelnya, tapi takut kualat karena masih ada 1 penerbangan lagi sebelum nyampe ke Chile. Karena pesawat penuh pada pulang kampung pas natal, kursi kami di-upgrade ke Business Class. Sekian dan terima kasih!
Mendarat di Santiago, ternyata penderitaan belum berakhir. Begitu saya ambil bagasi, eh ransel saya kebuka tali-talinya dan gemboknya hilang! Saya lapor ke petugas, mereka yang nggak bisa berbahasa Inggris cuma menaikkan bahu. Setelah saya cek, yang dicolong adalah… sendal jepit kesayangan merk Havaianas dan Antangin! Kurang ajaarrrr!!! Meskipun bukan “barang berharga” tapi kedua barang tersebut adalah yang terpenting dalam kehidupan saya dibanding barang-barang lain di koper. Ampun dah!
Gara-gara (visa) Argentina, emosi saya naik-turun cepat bak roller coaster. Kalau ada lagu terkenal berjudul “Don’t cry for me, Argentina”, bagi saya lebih tepat berjudul “I cry for you, Argentina!” karena nyebelin banget lu jadi negara! It’s your lost! Really.
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
Follow @wisbenbae