GuidePedia

Beberapa waktu lalu, saat menghadiri undangan Gala Dinner Asian Business Club, kelab eksekutif dan business owner yang sebagian besar mengenakan busana formal berdasi kupu-kupu, saya memperoleh satu keyakinan lagi tentang ekonomi Indonesia: terpatahkannya mitos-mitos lama. Ini menjadi menarik, sebab kebetulan banyak mitos yang "patah dengan mudah" belakangan ini. Coba deh, siapa yang nyangka Pak Jokowi, walikota dari kota kecil seperti Solo, bisa menang menjadi Gubernur DKI Jakarta tanpa banyak modal uang dan partai pendukung yang besar? Mitos bahwa pemilihan langsung adalah domain partai-partai politik besar dan politik uang, goyah sudah. Ternyata, personal selling jauh lebih penting ketika pemilih melek perubahan. Maka, seperti topik awal, mitos tentang ekonomi Indonesia malam itu dipatahkan oleh Raoul Oberman, direktur McKinsey & Company, yang berbicara pada Gala Dinner di hotel Shangri-La tersebut. Katanya, pertumbuhan yang cepat dialami Indonesia belakangan ini "bukanlah fenomena boom dan bust," tetapi peluang jangka panjang. Ia agaknya mendengar banyak anggapan bahwa potret kemajuan Indonesia saat ini sekadar gejala balon yang "menggelembung", untuk kemudian "kempes" lagi. 


Bukan begitu, ternyata. *** Asal tahu saja, dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah mitos berarti "cerita tertentu yang dibesar-besarkan", atau "keyakinan" dalam kamus Thesaurus, dan bisa jadi "isapan jempol" dalam pengertian global. Berdasarkan riset mereka, McKinsey menemukan sejumlah fakta yang membantah mitos-mitos yang ada. Dengan kata lain, anggapan yang berkembang selama ini cuma isapan jempol belaka. Sebut saja, misalnya, anggapan bahwa Indonesia adalah perekonomian yang tidak stabil (unstable economy). "Siapa bilang?" kata Raoul. Nyatanya, Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tercatat sebagai negara yang paling stabil (nomor 1), menurut statistik OECD. OECD adalah organisasi yang mengurus kerjasama ekonomi dan pembangunan global. OECD adalah"agen" yang membantu pemerintahan menghadapi tantangan-tantangan ekonomi, sosial dan tatakelola di tengah dinamika globalisasi perekonomian. Tentu tidak berlebihan. 

Wong dalam hampir satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia terus bergerak dari kisaran 4% hingga menjadi 6,5% dewasa ini. Raoul juga mematahkan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya terjadi di Jakarta dan Jawa. Nyatanya, riset McKinsey menemukan bahwa sebagian besar pertumbuhan ekonomi justru terjadi di luar Jawa. Raoul juga mematahkan mitos lainnya, yakni anggapan bahwa mesin pendorong pertumbuhan berasal dari ledakan ekspor komoditas. Ternyata, produk non-komoditas-lah yang menyetir ekspor Indonesia. Begitu pula adanya anggapan bahwa urbanisasi menjadi persoalan gawat di kota besar di Jawa terutama Jakarta. 

Ternyata, temuan McKinsey justru membentuk fakta baru bahwa urbanisasi adalah sumber pertumbuhan, yang berasal dari meningkatnya angkatan kerja. Dia malah membandingkan, angka urbanisasi di Jawa hanya tumbuh di bawah 5%, sebaliknya di kota-kota besar di uar Jawa (Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi) bahkan tumbuh di atas 7%. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pesat terjadi di luar Jawa. *** Saat berbincang dengan pemilik Grup Lippo James Riady di sela acara itu, ia bertanya kesan saya tentang pendapat Raoul tersebut. "Masuk akal," saya katakan, sembari bercerita tentang kepadatan lalulintas truk-truk besar bermuatan penuh saban malam di jalan tol Jakarta-Merak. 

 Itu, sekadar contoh saja, yang buat saya adalah indikasi bahwa ekonomi bergerak dari Jawa ke Sumatra. Pergerakan orang lebih gila lagi. Bandara di kota-kota besar Indonesia kini tak pernah sepi. Kapasitas Soekarno-Hatta tahun lalu sudah terlewati nyaris tiga kali lipat dari daya tampung sebenarnya. Luar biasa, kalau tidak ingin menyebut "ini gila." Maka kata Raoul, Indonesia memiliki pertumbuhan yang produktif, inklusif dan "resilient". Apa maknanya? Pertumbuhan ekonomi Indonesia lentur, lenting, elastis. Tidak mudah patah. Karena sumber pertumbuhannya menyebar, banyak, tidak mudah goyah. 

Begitu kira-kira. *** Cuplikan cerita di atas sengaja saya ambil, untuk memberikan sudut pandang yang lain. Anda mungkin kerap mendengar celotehan, "Pemerintahan [Presiden] SBY itu pemerintahan autopilot." Setuju atau tidak, tentu tergantung cara melihatnya. Lantas, setelah mendengar ceramah singkat Raoul itu, ada pertanyaan yang justru datang sebaliknya. "Kalau begitu menurut Anda [Presiden] SBY bagus atau tidak?" Begitu kira-kira. Saya bilang: "Lumayan." Lho mengapa? SBY berhasil meletakkan landasan stabilitas politik dan keamanan. Maka modal dasar itu menjadi penting, sebagai landasan pertumbuhan ekonomi yang lebih leluasa. Dan hasilnya lumayan, pertumbuhan ekonomi terus merangkak naik, hingga 6,5% ekspektasi tahun ini. Maka, jikalau ekspektasi Anda lebih besar lagi, ya nggak apa. Setelah stabilitas, tentu butuh instrumen lain untuk memacu pertumbuhan, dan kemudian menyebarkan pemerataan pendapatan. 

Memang itulah teorinya, yang sekarang ini menjadi esensi Catur Sukses salah satu partai politik besar, dan dulu menjadi trilogi pembangunan Pak Harto. Nah, ekspektasi lebih inilah yang belum terpenuhi. Geliat perekonomian tidak banyak dihela oleh kebijakan pemerintah, namun lebih banyak didorong oleh aktivitas masyarakat serta pelaku usaha. Tapi jika Anda penasaran, coba deh dengar lagi pendapat Raoul. Perekonomian Indonesia bisa tumbuh di atas 7% per tahun seperti target pemerintah, jika mampu menggenjot produktivitas dua pertiga kali lebih besar dari level produktivitas saat ini. Lantas bagaimana dalam jangka panjang? Diyakini ekonomi berbasis konsumsi, yang menyumbang 60% pertumbuhan Indonesia, akan terus berlanjut hingga 2030 mendatang. Diperkirakan akan terdapat 90 juta tambahan kelas konsumen baru hingga tahun tersebut, dengan pendapatan bersih US$3.600 per tahun. 

Sektor bisnis berbasis konsumer diperkirakan akan terus melambung, dengan potensi bisnis US$1,8 triliun. Mobile banking akan meledak. Bakal tumbuh 30 juta petani dengan peningkatan pendapatan tiga kali lipat, yang memicu kapasitas peningkatan ekspor pangan hingga130 juta ton ke pasar internasional. Tentu peluang itu hanya akan terjadi jika pemerintah mampu membangun kapasitas: Meningkatkan kualitas guru, mengembangkan kurikulum berbasis permintaan (termasuk dari pertabian dan industri), sekaligus membangun kapasitas tenaga kerja yang berkeahlian. Ini adalah kunci pintu untuk bisa masuk lebih dalam memperkuat sektor konsumsi, pertanian, dan sumberdaya masa depan Indonesia. 

 Kalau McKinsey begitu yakin, tentu ini karena karakteristik Indonesia yang selain didukung pasar yang besar, juga kekuatan geografis yang disebutnya sebagai archipelago economy. "Ini ekonomi kepulauan, Bung!" Begitu kira-kira. Karena kepulauan, mobilitas sumberdaya menjadi lebih tinggi, sumber pertumbuhan banyak dan tersebar; yang didorong oleh kekuatan konsumsi yang besar. Maka perekonomian lebih elastis, lentur, dan "tidak gampang patah". Nah, bagaimana menurut Anda? Arief Budisusilo


Beli yuk ?

 
Top