GuidePedia


JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai Menteri Perdagangan Gita Wirjawan tidak becus melakukan pengawasan terhadap kedelai impor. Khususnya dari Amerika Serikat.

Koordinator Fitra Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan kedelai impor yang masuk ke Indonesia ini adalah untuk pakan ternak babi.

"Berdasarkan riset Fitra, yang kita temukan dari informasi dan data yang kami peroleh sudah puluhan tahun, sebelum reformasi sampai sekarang pemerintah dalam hal ini Mendag tidak melakukan pengawasan yang becus," ujar Uchok kepada Tribunnews.com, Jakarta, Kamis (9/8/2012) malam.

Uchok mengatakan Mendag tidak melakukan pengawasan dan seakan menutup mata mengenai kedelai impor, khususnya yang dari Amerika. Selama puluhan tahun itu, kedelai impor yang masuk ke Indonesia dan yang menjadi bahan baku tempe dan tahu itu di Amerika sendiri merupakan pakan ternak babi.

"Kedelai impor yang masuk itu bentuknya bungkil, dimana kedelai itu utuh tapi minyaknya sudah diambil. Dan di Amerika itu buat pakan ternak babi," kata Uchok.

"Kedelai impor itu yang seharusnya untuk ternak di Indonesia dijual di pasar dan itu yang dibeli dan dibuat untuk tempe dan tahu. Sebenarnya bukan untuk dijual untuk konsumsi manusia, untuk ternak. Tapi di negeri ini malah dijual di pasaran untuk akhirnya dikonsumsi manusia," tegasnya sembari mempertanyakan dimana peran pengawasan pemerintah, khususnya menteri perdagangan yang harusnya melakukan pengawasan dan perlindungan kepada masyarakat.

Uchok menuding Gita Wirjawan selaku menteri perdagangan yang punya otoritas tidak becus bekerja mengawasi proses impor kedelai dari negeri asalnya hingga sampai ke tanah air.

Dia menegaskan kealpaan menteri perdagangan melakukan pengawasan atas kedelai impor tersebut tidak sejalan dengan besarnya anggaran yang digelontorkan dalam APBN. Disebutkan, anggaran yang mengucur ke kementerian tidaklah jumlah kecil, sehingga membuat Mendag dan intansinya sulit melakukan pengawasan yang ketat.

Menurut Uchok, anggaran untuk Sekretariat Ditjen standarisasi dan perlindungaan konsumen untuk tahun 2011 sebesar Rp29.240.066.000; Direktorat pengawasan barang beredar dan jasa sebesar Rp35.000.000.000.

Belum lagi anggaran yang digelontorkan buat Direktorat pemberdayaan Konsumen sebesar Rp11.500.000.000; Badan perlindungaan konsumen nasional sebesar Rp15.500.000.000.
"Ini semua untuk tahun 2011," jelasnya.

Sedangkan pada APBN-Perubahaan 2012 dana sebesar Rp2.221.500.000.000 dikucurkan ke Kementerian Perdagangan. Dengan rincian diantaranya, Sekretariat Ditjen standarisasi dan perlindungaan konsumen untuk tahun 2012 sebesar Rp43.534.000.000, Direktorat pengawasan barang beredar dan jasa sebesar Rp42.729.880.000, Direktorat pemberdayaan Konsumen 2012 sebesar Rp17.500.000.000 dan Badan perlindungaan konsumen nasional sebesar Rp16.000.000.000.

Namun, menurutnya besarnya anggaran ini tidak diikuti dengan kerja pengawasan impor kedelai yang baik pula guna melindungi masyarakat sebagai konsumen.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan bisa dibuktikan kualitas kedelai lokal dan impor itu sendiri. Keledai lokal yang jadi tempe, habis digoreng keras tidak lembek. Sedangkan keledai impor untuk pakan babi, kalau sudah digoreng, selesai dingin, lembek lagi setelah dingin.

"Kedelai lokal yang dijadikan tempe busuknya lama 2 sampai 3 hari. Kalau kedelai impor sehari sudah busuk. Rasanya, kedelai lokal gurih, atau impor asam. Kedelai yang diimpor itu seharusnya pakai tepung, tapi saat ke Indonesia, dalam bentuk utuh atau curah, dan dikonsumsi manusia. Dan ini pelanggaran HAM, makanan binatang dikasih manusia," pungkasnya.


aing biasa makan tempe ni boi masa aing dikatain babi???

Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

Beli yuk ?

 
Top