By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Rasa takut adalah musuh bebuyutan manusia. Kita sendiri pun pasti mengalami betapa kita seringkali melakukan berbagai upaya untuk menghindari rasa takut. Bila seorang anak kecil takut untuk tidur sendiri, timbul belas kasihan kita dan kemudian menemaninya tidur. Banyak hubungan yang tidak berjalan baik karena takut bicara, takut melukai perasaan atau takut kehilangan. Orang yang menderita psikosomatik, sebenarnya menderita ketakutan yang disimpan dalam–dalam dan diekspresikan dalam rasa sakit fisik berkepanjangan. Di perusahaan, kita pun ingin menghindarkan karyawan dari rasa cemas, misalnya tidak dengan transparan memberitakan keadaan keuangan perusahaan, agar para karyawan tidak merasa takut atau bahkan hengkang ke perusahaan yang bisa memberi rasa aman. Padahal, melarikan diri dari rasa takut tidak menyelesaikan masalahnya, bukan? Tanpa disadari, kita juga menjauh dari proses belajar yang sebetulnya dibutuhkan untuk membuat diri kita lebih kuat.
Rasa takut yang “dipelihara” sudah pasti tidak akan membawa kebaikan. Bila dalam sebuah organisasi, rasa takut tidak dikelola dengan baik, kita akan menemui suasana yang mencekam, di mana banyak orang takut bicara, takut salah, penuh rasa curiga, tidak mau mengambil risiko dan menjadi tegang. Robert J. Herbold dalam bukunya “What’s Holding You Back?” mengemukakan bahwa ada 2 hal penting yang terjadi, bila suatu lembaga dikelola oleh seorang pimpinan yang penakut. Pertama-tama, organisasi sudah pasti semakin kompleks, namun pimpinan tidak bisa membatasi kebutuhan sumber daya manusianya dan juga tidak bisa menghadapi pihak-pihak yang ingin ‘memikirkan dirinya sendiri’. Alhasil divisi atau organsiasi dibawah pimpinan si penakut ini menjadi birokratis dan kompleks, lamban dan kaku. Kedua, dalam menanggapi ide ide dan gagasan baru seorang manajer yang penakut akan berorientasi ke konsensus, sehingga keputusan tidak bisa diambil dengan cepat padahal situasinya kritis. Berarti, pemimpin pun perlu dibekali dengan keberanian yang kongkrit. Bila kita ingin merekrut para manager ataupun pejabat, ada baiknya kita juga mengecek, apakah si calon ini pemberani atau tidak. Pertanyaannya, adakah cara menggunakan rasa takut ini untuk menjadi pemimpin efektif? Bila rasa takut tidak boleh ditekan dan ditahan, apa yang harus kita kerjakan?
Rasa Takut sebagai Vitamin
Kita bisa belajar memanfaatkan rasa takut dari Edwards Deming. Pada tahun 60-70 an, ketika melakukan gerakan revolusioner pada kontrol kualitas industri Jepang, beliau justru membahas rasa takut sebagai unsur penting dalam kontrol kualitas. Dalam pembahasannya mengenai “drive out fear”, Deming mengatakan bahwa lawan dari situasi yang menakutkan adalah atmosfir yang inovatif, kreatif, spontanitas, energi yang lebih kuat dan otomatis, serta produktivitas. Bila dalam suatu situasi kerja, orang tidak takut untuk mencoba dan mencari ‘jalan lain’ agar lebih baik, maka suasana kerja akan berbau inovasi dan pengembangan. Dalam situasi begini, komplen pelanggan dijadikan sarana perbaikan, teguran atasan akan dianggap sebagai cemeti untuk lebih berprestasi, sehingga semua hal yang sebenarnya bagi lingkungan lain dianggap momok yang membuat hati kecut, justeru dianggap sebagai vitamin yang menyehatkan.
Salah satu jalan keluar dari rasa takut adalah menyadari apa yang menjadi sumber ketakutan kita dan kemudian berusaha bersikap lebih rasional. Kita perlu berani meninjau kembali rasa takut kita, siapa tahu pengaruh negatif ini bisa kita ‘switch’ menjadi rasa tidak nyaman yang positif. Daripada menekan rasa takut melakukan presentasi, mari kita menghitung risiko dan semua kemungkinan bila presentasi itu tidak berhasil. Saat kita menghitung risiko, seringkali kita menemukan bahwa apa yang kita takutkan tidak benar-benar nyata dan kita pun menjadi lebih siap dan kuat untuk menghadapi situasi gagal. Bila kita perlu menyampaikan hal yang tidak enak, tidak simpatik, tidak membuat orang lain ‘happy’, pertanyakan apakah kita sudah didukung oleh data yang cukup? Bila menghadapi masalah yang pelik, apakah kita sudah memikirkan lebih dari satu jawaban? Selain bersikap berani, kitapun perlu menyertai keberanian kita dengan keberanian ‘melakukan’ hal hal yang operasional. Tidak sekedar ‘omdo’.
Fearless Leadership
Orang yang begitu sibuk berkutat dengan rasa takut sudah pasti tidak bisa berpikir jernih karena terbenam dalam kompleksitas pemikirannya. Dalam bukunya “Fearless Leadership”, Loretta Malandro, Ph.D menegaskan bahwa bila kita ingin menjadi besar, kita perlu bernyali besar. Bila kita ‘main aman’ terus, maka organisasi yang kita pimpin akan tetap kecil. Fearless Leadership bukanlah menghilangkan rasa takut, tetapi justeru menghadapinya dan berusaha mencari solusi dengan memperhitungkan semua risiko yang ditakutkan akan terjadi itu. Keberadaan di dalam keadaan ‘discomfort’ inilah yang menyebabkan orang menjadi berpikir lebih keras dan berusaha mencari lebih banyak alternatif jawaban masalahnya dan keluar dari solusi yang itu-itu juga. Menciptakan sense of urgency adalah salah satu cara untuk membangkitkan ketakutan yang positif. Artinya, anggota kelompok menyimpan rasa takut terhadap keterlambatan, sangsi sosial yang akan dihadapi bila tidak mencapai target dalam waktu yang sudah ditentukan, bahkan siap menerima konsekuensinya.
Orang harus yakin bahwa ia tidak memelihara ‘victim mentality’nya dan harus berpikir ‘inside out’. Peter Drucker mengatakan,” People who don’t take risks generally make about two big mistakes a year. People who do take risks generally make about two big mistakes a year.” Jadi, mengapa kita harus hidup dalam ketakutan? Bila sebagai pemimpin kita sungguh-sungguh ingin maju dan berkembang, kita tidak punya pilihan kecuali keluar dari rasa takut, mulai mengepakkan sayap dan memberanikan diri untuk ‘think bigger’, mengambil risiko dan berkomunikasi sejernih-jernihnya dengan anggota tim kita.