Para pemberontak Banten yakin dengan jimat dapat memenangi perang.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
Ilustrasi: Micha Rainer Pal |
Selama tiga bulan terakhir tahun 1887 hingga pertengahan tahun 1888, para pemberontak mempersiapkan diri dengan kegiatan pencak silat, pengumpulan dan pembuatan senjata, dan propaganda ke luar Banten. “Kegiatan lain terus dilakukan, seperti membakar semangat dengan khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil dan mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuan-pertemuan keagamaan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
Dalam lampiran laporan Kontrolir Serang tanggal 19 Mei 1889 No 16, Snouck Hurgronje menerjemahkan jimat Arab yang digunakan para pemberontak Banten itu. Menurutnya, sebagaimana dikutip E. Gobée dan C. Adriaansee dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, jimat itu bertuliskan: “Inilah penyelamat yang diberkahi. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, ya Yang Hidup, ya Yang Berdiri Sendiri, Engkaulah kujadikan kekuatanku. Maka lindungilah aku dengan perlindungan selengkap-lengkapnya penjagaan...”
Di dalam jimat juga terdapat gambaran berkekuatan mistik, berupa sebuah lingkaran yang dikelilingi nama empat malaikat tertinggi dan nama-nama Allah; Muhammad; (empat khalifah) Abu Bakar, Umar, Usman, Ali; (putra-putra Ali) Hasan, Husain; (dua sahabat Nabi Muhammad) Sa’ad dan Sa’id; sementara di tengahnya terdapat surat Thaha ayat 39. Ada pula gambar pedang Ali bermata dua. Termaktub di situ: “Tidak ada orang [pahlawan] selain Ali, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar).”
Menurut Seyyed Hossein Nasr, ungkapan “tidak ada orang (pahlawan) selain ‘Alî, dan tidak ada pedang selain Du’l-faqar (maksudnya Zul faqar)” atau “la fata illa ali, la saifa illa dzu al-fiqar, (dzu al-fiqar adalah pedang bermata dua terkenal milik Ali)”, secara tradisional dinisbahkan kepada Malaikat Jibril, yang dia sampaikan kepada Nabi.
“Pribadi Ali yang bijak sekaligus ksatria, perenung sekaligus pelindung, sepanjang abad senantiasa mendominasi seluruh horizon futuwwah atau Keksatriaan Spiritual,” tulis Hossein Nasr, “Kekesatriaan Spiritual”, termuat dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi. Tentu saja, futuwwah yang diinginkan para pemberontakan Banten dari jimat itu adalah “keksatriaan fisik”.
Hurgronje juga menulis, “Selebihnya... jimat ini hanya memuat doa-doa pengampunan dosa dan rahmatan ‘ind al-maut (rahmat dalam kematian).”
Naskah tersebut, lanjut Hurgronje, pasti dibuat dengan pertimbangan gerakan di Banten dan dapat dipakai sebagai jimat untuk Perang Sabil.
Jimat itu, tulis Martin van Bruinessen, diperoleh dari Mekah karena Mekah dianggap sebagai pusat kosmis utama dan sumber ngelmu atau kesaktian. Dalam kosmologi Jawa, seperti halnya kosmologi Asia Tenggara lainnya, pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana dan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu serta tempat angker lainnya bukan hanya diziarahi sebagai ibadah tapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu) alias kesaktian dan legitimasi politik (wahyu –istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya).
“Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Mekah-lah yang dianggap sebagai pusat kosmis utama. Karena Mekah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam dan tempat wahyu turun kepada Nabi, sehingga Mekah menjadi pusat keilmuan Islam,” tulis Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” dimuat di Ulumul Qur’an, 1990.
Menurut Sartono, pemimpin-pemimpin pemberontak dan pengikutnya yang disilaukan oleh keyakinan tak dapat dikalahkan –salah satunya karena jimat– dalam Perang Sabil, tak menyadari bahwa organisasi dan strategi militer yang lebih efektif dari Belanda membawa mereka kepada bencana.
Satu batalyon tentara dari Batavia memukul-mundur dan akhirnya melumpuhkan para pemberontak. Para pemimpinnya, termasuk Haji Wasid, tewas.
Pada akhirnya, tradisi jimat (ngelmu) lestari hingga kini dan menjadi sumber kekuatan jawara-jawara Banten. Baik “jawara putih” yang memperoleh kesaktiaan dari sumber-sumber agama Islam maupun “jawara hitam” dari tradisi pra-Islam, jangjawokan atau elmu Rawayan. “Meskipun demikian, kenyataannya sulit dibedakan secara tegas antara jawara putih dan jawara hitam karena umumnya mereka menggunakan kedua sumber tersebut. Sehingga dijumpai praktik-praktik magis yang diawali dengan pembacaan syahadat atau ayat-ayat Alquran kemudian disambung dengan membaca sejenis jangjawokan,” tulis Agus Fahri Husein dalam Tasbih dan Golok.
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !