Pulau Kenawa Yang mempesona |
Pukul 03:30 saya dibangunkan oleh kenek bis. Memang ketika bis sedang berhenti di Sumbawa besar tadi malam saya berpesan kepada sang kenek untuk membangunkan saya ketika bisa sampai di Pototano. dan Benar ketika bis hendak memasuki kapal saya dibangunkan oleh nya.
" mas dah sampai Pototano, jadi turun disini?" ucapan yang keluar dari mulut sang kenek.
Saya merasa beruntung dia tidak lupa membangunkan saya. Jika lupa tentu saya sudah terbawa di dalam kapal dan melupakan angan indah tentang Kenawa dalam rangkaian perjalanan ini.
Ternyata rumah sahabat saya bang Arif itu agak jauh dari pelabuhan. Akibatnya saya harus berjalan kaki di pagi buta sambil menenteng beberapa barang bawaan yang semakin memberatkan. Mau menelpon dia tidak enak karena mungkin dia sedang nyenyak-nyenyaknya menikmati tidur, meski petang kemarin dia sudah berpesan untuk di kasih tau saat saya sudah sampai di Pototano, kapanpun itu. Hanya sebuah sms yang saya kirimkan sekedar untuk memberi tahu bahwa saya sudah sampai di Pototano. Ternyata ada jawaban dan kami akan dijemput dengan motornya. yesss doa terkabul.
Sampai di rumah yang sekaligus menjadi kantor ini saya tidak serta merta tidur. Suasana pagi di dermaga rupanya lebih menyita perhatian saya pagi itu. Melihat langit sudah mulai terang saya pun bergegas menuju dermaga untuk mengabadikan suasana pagi di dermaga rakyat Pototano ini.
Pagi di Pototano |
Kampung suku Bajo di Pototano |
Langit memancarkan warna yang begitu indah pagi itu. Sementara itu rumah-rumah suku bajo yang ada di Pototano ini terlihat rapi berjejer di pinggir laut. Terlihat beberapa rumah sibuk dengan aktifitas paginya. Sementara itu refleksi yang terbentuk di air yang berada di halaman rumah-rumah tersebut sungguh indah sekali. Pototano memancarkan cahaya keindahan yang mempesona pagi itu.
Setelah sarapan saya bergegas kembali ke dermaga lagi. Sebuah perahu kecil yang akan mengantarkan saya menuju ke pulau Kenawa sudah menunggu. Sang nahkoda kapal sendiri adalah salah satu korban dari menyelam menggunakan kompresor. Kaki sebelah kirinya hampir lumpuh sehingga kalau berjalan harus dibantu dengan tongkat. Ternyata himpitan ekonomi membuat mereka lupa akan pentingnya sebuah kesehatan.
Kenawa masih seperti dulu |
Kenawa masih seperti pertama kali saya datang dulu. Padang rumput yang menjadi pesona utama pulau kecil ini agak sedikit berkurang. Terlihat di beberapa tempat sudah mulai di tanami dengan pepohonan. Beberapa tahun lagi mungkin kita akan susah menyaksikan padang rumput yang indah di pulau ini. Pohon-pohon yang sekarang ditanam tentu sudah tumbuh besar dan menutupi hamparan padang rumput yang luas ini.
Bukit kecil yang terdapat di ujung barat pulau ini menarik perhatian saya. Tentu akan sangat indah menikmati pemadangan sekitar dari atas bukit tersebut. dengan berpanas-panas ria akhirnya saya mulai mendaki ke puncak bukit tersebut. Echi mulai mengembangkan payung kecil andalannya untuk mencoba menghalau teriknya siang itu, namun kelihatannya dia tidak berhasil menghalau panas yang terlalu terik itu, hingga akhirnya dia menyerah turun sebelum sampai di puncak bukit.
View dari Puncak bukit |
Mengedarkan pandangan dari atas puncak bukit ini terlihat sebuah pemandangan yang luar biasa. Bukit-bukit gersang yang ada di pelabuhan Pototano terlihat begitu indah dilihat dari atas bukit ini. Sementara di bawah sana terlihat beberapa nelayan sedang menangkap ikan di lautan yang hampir menyerupai cermin karena begitu tenang sehingga refleksi yang terpantul begitu sempurna.
Puas menikmati indahnya Kenawa dari atas bukit akhirnya saya harus turun juga. Ternyata panas yang menyengat siang itu membuat saya tidak bisa berlama-lama berada di puncak bukit tersebut. Di bawah echi sudah menunggu di sebuah bangunan bekas penangkaran. Bak-bak yang sudah tidak terpakai terlihat mendominasi bangunan ini. Tidak jauh dari situ sekelompok nelayan juga terlihat sedang asik bersendau gurau dengan sesama mereka sembari mereka beristirahat siang.
Sedang istirahat siang |
Setelah sampai di dermaga ternyata perahu yang tadi mengantar saya sudah berada disana untuk menjemput. Melihat panas yang seperti itu akhirnya saya bergegas meninggalkan Kenawa menuju ke perahu, dan tak selang berapa lama saya sudah berada di rumah bang Arif di Pototano untuk kembali berkemas karena harus melanjutkan perjalanan menuju Lombok dengan menumpang kapal ferry yang biasa melayani rute Kayangan (lombok) - Pototano (sumbawa).
Bang Arif mengantarkan saya dan Echi sampai di kapal. Jika harus berjalan dari rumah di terik seperti itu tentu bukan sebuah perkara yang mudah.Untunglah bang Arif berbaik hati mengantarkan saya. Namun sebelum naik ke atas kapal saya sempatkan berfoto di depan plang pengumuman jarak yang berada tidak jauh dari pelabuhan.
Ferry Sumbawa - Lombok |
Kapal ferry ini biasanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam waktu tempuh untuk mencapai pelabuhan Kayangan yang ada di Lombok. Sesampainya di ferry saya langsung menyantap menu makan siang yang sudah di beli di sebuah rumah makan kecil di Pototano tadi. Setelah kenyang mata terasa begitu berat sekali dan akhirnya saya pun terlelap.
Sesaat sebelum mencapai pelabuhan Kayangan mata saya di manjakan oleh pulau-pulau kecil yanga ada di sekitar pelabuhan. Pasir putihnya terlihat menghampar begitu indahnya.
Memasuki pelabuhan khayangan hujan turun dengan lebatnya. Saya harus bergegas naik ke dalam bis supaya tidak terjebak didalam hujan. Saya dan Echi mendapat tempat yang bagus di bis ini, yakni duduk disamping pak supir yang sedang bekerja. Bis Tiara mas ini melaju meninggalkan pelabuhan Kayangan menuju ke kota Mataram. Saya sudah memberitahu Titis sahabat saya dilombok bahwa saya akan mampir ke Mataram, dan dia mengijinkan saya untuk menginap di rumahnya.
Agen bus Tiara Mas |
Titis menjemput saya di agen bis Tiara mas. Tidak selang lama dari datangnya Titis, Bunda yang masih saudara echi juga datang disana. Disinilah saya mulai berpisah dengan echi. Saya akan menginap di rumah Titis sementara echi di rumah saudaranya, namun besok pagi kami masih akan ketemu untuk bersama-sama melakukan perjalanan menuju ke daerah Tanjung Aan yang berada tidak jauh dari kota Praya.
Setelah meletakkan barang bawaan saya dikamarnya Titis kami pun bergegas menuju ke kawasan Senggigi untuk menikmati indahnya matahari terbenam dari sana. Namun mendung menghalangi indahnya suasana sore di Senggigi. Saya hanya bisa bersyukur bisa menikmati Senggigi dengan kondisi seperti ini. Walaupun tertutup mendung namun Senggigi petang itu terasa damai sekali.
Sepulang dari Senggigi Titis mengajak saya singgah di sebuah warung makan yang menyajikan menu nasi balap puyung. Sebuah masakan khas suku sasak itu dikemas dan di kreasikan sehingga menjadi begitu menarik. Sepulang dari situ saya masih ingin mencoba kuliner ala lombok. Pilihan jatuh ke sate Rembige. Bentuknya mirip sate lilit di Bali, namun taste nya ternyata berbeda, dan petualangan hari ini di tutup dengan segelas kopi hitam khas ThreeC di kota Mataram. Sungguh petualangan yang luar biasa sekali hari ini.
***