“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceritakan padamu. Bisa jeng menemuiku?”
Dalam hitungan detik surat kata-kata belleetjes itu sudah berpindah tangan pada kurir sang pahlawan. Sementara sang pahlawan, Soetomo kembali melaju ke front. Deru cinta pada Sulistina, petugas PMI yang tak lain adalah tunangannya telah memicu Bung Tomo muda tak berfikir lama untuk kembali berperang mempertahankan kemerdekaan negerinya.
“Nanti kalau perang sudah usai. Dan kita akan membuat mahligai...” (Bung Tomo, 1946)
Manusiawi bukan? Gadis PMI yang sederhana dan suka membaca itu telah memiliki ruang tersendiri di hati Bung Tomo. Melihatnya berpeluh di antara puluhan korban terluka membuat Bung Tomo muda saat itu tidak lagi hanya memiliki satu cita-cita, Indonesia merdeka, tapi juga...menikah.
Tentu kita sepakat, pahlawan juga manusia. Mereka bukan miniatur malaikat yang turun ke dunia hanya untuk satu instruksi dari tuhannya. Keji jika kita menyamakan pahlawan dengan Jibril yang habis masa tugasnya setelah habis wahyu Allah tersampaikan pada Rasul-Nya. Mereka bukan Isrofil yang seumur hidup hanya punya satu job des, meniup sangkakala, lalu menjadi makhluk terakhir yang mati. Tak ada hati, tak ada mimpi, apalagi alibi. Tapi tidak demikian dengan manusia, pun pahlawan. Mereka-pahlawan-punya nafsu.
***
Kawan, jika boleh aku berbangga. Lebih kurang tiga tahun ini, duniaku di penuhi para pahlawan. Tak lagi mereka memakai sepatu laras seperti Bung Tomo apalagi berselendang pedang seperti Tjut Nyak Dien. Tak perlu mereka berjaga di front, apalagi gerilya menaiki tebing menyisir belantara hingga terjebak ranjau atau meringis kesakitan ketika timah panas Belanda merobek kulit legamnya. Wajah tirusnya meringsut ketika ajal menjemput.
Pahlawan di sekelilingku memiliki wajah manis-manis, lembut dalam balutan kerudung jingga yang rapat. Selalu kulihat teduh, ketika senyum mereka ramah pada bocah-bocah cilik yang berebut mencium tangan mereka di pagi hari yang cerah. Meski satu dua melangkah tergopoh sambil melirik sebentar angka tujuh di jam tangan abu-abu.
Jika Sulistina, istri Bung Tomo, dan para pejuang selalu punya cara untuk menyembunyikan Sang Pahlawan, khususnya dari mata-mata Belanda yang resah dengan sepak terjang arek Suroboyo yang nekad itu. Kawan, jangan ragu. Tidak sulit bagimu menemui pahlawanku. Mereka selalu siap memberi informasi yang kau mau tentang buah hatimu. Bahkan mungkin sebelum kau terfikir tentang apa yang ingin kau tanyakan padanya. Karena di duniaku, buahatimu adalah buah hatiku, buah hati pahlawanku.
Tapi alangkah baiknya jika engkau tidak menemuinya di kala dia tengah berjuang. Bersabarlah seperti Sulistina yang menunggu Bung Tomo pulang dari front. Medan juangnya terlalu rumit untuk ditinggalkan. Tengoklah medan juangnya dari kaca jendela. Membuka selembar buku di hadapan lebih kurang duapuluhan anak adalah perjuangan manakala seorang anak menarik ujung kerudung, dua anak asyik berbincang, tiga anak berebut mobil-mobilan, empat anak sekuat tenaga menaiki meja berusaha meraih mainan di ujungnya....lalu brruuuk! Tangis pun membahana dan tiba-tiba dari sudut kelas, si pemalu mendekat lalu berbisik segan: “Aku ngompol...”.
Kali ini, Sulistina Soetomo, istri pahlawan, pun belum tentu sabar...
***
Dengan berdehem sebentar, sang pejabat utusan pemerintahan memberi jawaban elegan: “Tunjangan sertifikasi untuk guru PAUD sudah akan direalisasikan, dengan catatan: begini ibu-ibu...ibu-ibu harus memiliki ijazah S1 PAUD, S1 yang bukan PAUD tidak diakui (S1 PAUD sendiri baru dibuka tahun ini di Gresik, tidak jauh berbeda di kota-kota lain), ibu-ibu harus mengajar minimal 9 tahun (bukan tidak mungkin saat atau setelah tahun itu kebijakan pemerintah telah berubah, seperti kami hafal pada kebijakan-kebijakan sebelumnya), ibu-ibu harus bla-bla-bla...”
Ugh...kawan, wajah teduh para pahlawanku terbayang. Bagaimana mungkin itu semua terrealisasikan. Sungguh sebuah kebijakan yang penuh pertimbangan matang dan keyakinan yang penuh bau busuk hegomoni kekuasaan: amat sangat tipis sekali kemungkinan pahlawanku mendapat penghargaan. Sebuah kebijakan penuh kelicikan.
***
Kawan, tidak kurang dari lima surat yang kuterima dari seorang muridku yang cantik, lincah dan cekatan. Semua isinya sama, membumbungku ke awan: “ustadzah efa, ada dan tiada dirimu akan selalu ada di hatiku”. Gadis kecil nekad yang sempat membuat mataku berluberan air mata karena lelah mencarinya, tanpa sepengetahuan kami dia pulang berjalan menyusuri jalan licin dengan tebing gunung kapur di kanan-kirinya. Tidak kurang dari sepuluh kilometer menuju rumahnya.
Gadis kecil yang sempat membuatku menjerit tegang karena berusaha menuruni genteng lantai dua sekolah hanya untuk menggendong seekor kucing. Tak kupedulikan dari mana dia mendapat kata-kata itu. Tulisan tangannya yang mulai rapi ditulis di kertas tanpa garis dengan spidol gambarnya. Semua suratnya tersimpan rapi dalam arsipku. Pun di dalam hatiku.
Gadis kecilku yang lain tak pernah lelah menggambar. Meski belum pandai menulis, seuntai kalimat dalam kertas belletjes menggetarkan hatiku di pagi itu: “Ustadza Efa, aku menyukaimu” plus gambar gadis berjilbab dengan stiker kerlip di bajunya bertulis “EVA”. Sambil menunjukkan gigi berlubangnya, gadis kecilku ini meletakkan surat di mejaku lalu buru-buru lari dengan mata berbinar-binar sebelum sempat menjawab pertanyaanku.
Kawan, bocah lain dalam dunia heroikku pernah membuatku begitu resah karena isaknya yang tertahan hingga membuat wajah bulat putihnya memerah, rambut pekatnya berdiri, mata beningnya kuyu, dan ... mulai muntah. Sebuah nasihat dengan nada cukup keras dari seorang temannya telah membuat hati lembutnya tergores.
Segera kuajak ia meninggalkan kelas kami. Berlabuh sejenak di ujung koridor lantai dua sekolah kami. “Coba lihat semut-semut ini..., ketika mereka berjalan cepat lalu bertemu kawan dari arah yang berlawanan, mereka tak lupa menyapa, berbicara, dan mungkin juga bercerita...” kami terdiam sejenak. “Mereka berkawan, mungkin saja ada kata yang tak menyenangkan, tapi mereka selalu senang memaafkan.”
***
Kawan di pagi hari di dunia heroikku, aku sangat berharap tidak melewatkan menyambut murid-muridku. Membungkukkan punggung demi menyambut uluran tangan mungil mereka lalu mendapat doa gratis dari bibir mungil tanpa dosa:
“Assalamualaikum” ucap mereka
“Waalaikumussalam warakhmatullahi wabarakatuh” dan jika sempat kuhadiahkan ciuman di pipi lembut mereka sambil bibirku lirih berkata “Terima kasih atas doamu buat ustadzah, nak”.
Kawan, jika boleh kuharap dari sepenggal kisah pendekku menjadi pahlawan, kuingin sebesar-besar nafsu pahlawanku adalah mendapat tunjangan dari murid-muridku tersayang. Jika dewasa masih memperkenankan mereka untuk bersentuhan dengan pena, kuingin sebuah surat dari mereka bertuliskan-seperti surat Sulistina pada almarhum Bung Tomo :
“You are a hero,
a patriot
a great lover”
__________________________________________________
Penulis : Musrifah (Pendidik di Al Ummah Gresik)
Tulisan ini dipersembahkan untuk anak-anak Al Ummah dan juga diikutkan dalam lomba menulis IBF 2011 yang disponsori oleh haimamedia.us, melalui blog muslimahberbagi
__________________________________________________
Keterangan:
Belleetjes : bahasa Belanda utk robekan kertas bekas yg dijadikan surat
Front : garis terdepan medang perang
Dalam hitungan detik surat kata-kata belleetjes itu sudah berpindah tangan pada kurir sang pahlawan. Sementara sang pahlawan, Soetomo kembali melaju ke front. Deru cinta pada Sulistina, petugas PMI yang tak lain adalah tunangannya telah memicu Bung Tomo muda tak berfikir lama untuk kembali berperang mempertahankan kemerdekaan negerinya.
“Nanti kalau perang sudah usai. Dan kita akan membuat mahligai...” (Bung Tomo, 1946)
Manusiawi bukan? Gadis PMI yang sederhana dan suka membaca itu telah memiliki ruang tersendiri di hati Bung Tomo. Melihatnya berpeluh di antara puluhan korban terluka membuat Bung Tomo muda saat itu tidak lagi hanya memiliki satu cita-cita, Indonesia merdeka, tapi juga...menikah.
Tentu kita sepakat, pahlawan juga manusia. Mereka bukan miniatur malaikat yang turun ke dunia hanya untuk satu instruksi dari tuhannya. Keji jika kita menyamakan pahlawan dengan Jibril yang habis masa tugasnya setelah habis wahyu Allah tersampaikan pada Rasul-Nya. Mereka bukan Isrofil yang seumur hidup hanya punya satu job des, meniup sangkakala, lalu menjadi makhluk terakhir yang mati. Tak ada hati, tak ada mimpi, apalagi alibi. Tapi tidak demikian dengan manusia, pun pahlawan. Mereka-pahlawan-punya nafsu.
***
Kawan, jika boleh aku berbangga. Lebih kurang tiga tahun ini, duniaku di penuhi para pahlawan. Tak lagi mereka memakai sepatu laras seperti Bung Tomo apalagi berselendang pedang seperti Tjut Nyak Dien. Tak perlu mereka berjaga di front, apalagi gerilya menaiki tebing menyisir belantara hingga terjebak ranjau atau meringis kesakitan ketika timah panas Belanda merobek kulit legamnya. Wajah tirusnya meringsut ketika ajal menjemput.
Pahlawan di sekelilingku memiliki wajah manis-manis, lembut dalam balutan kerudung jingga yang rapat. Selalu kulihat teduh, ketika senyum mereka ramah pada bocah-bocah cilik yang berebut mencium tangan mereka di pagi hari yang cerah. Meski satu dua melangkah tergopoh sambil melirik sebentar angka tujuh di jam tangan abu-abu.
Jika Sulistina, istri Bung Tomo, dan para pejuang selalu punya cara untuk menyembunyikan Sang Pahlawan, khususnya dari mata-mata Belanda yang resah dengan sepak terjang arek Suroboyo yang nekad itu. Kawan, jangan ragu. Tidak sulit bagimu menemui pahlawanku. Mereka selalu siap memberi informasi yang kau mau tentang buah hatimu. Bahkan mungkin sebelum kau terfikir tentang apa yang ingin kau tanyakan padanya. Karena di duniaku, buahatimu adalah buah hatiku, buah hati pahlawanku.
Tapi alangkah baiknya jika engkau tidak menemuinya di kala dia tengah berjuang. Bersabarlah seperti Sulistina yang menunggu Bung Tomo pulang dari front. Medan juangnya terlalu rumit untuk ditinggalkan. Tengoklah medan juangnya dari kaca jendela. Membuka selembar buku di hadapan lebih kurang duapuluhan anak adalah perjuangan manakala seorang anak menarik ujung kerudung, dua anak asyik berbincang, tiga anak berebut mobil-mobilan, empat anak sekuat tenaga menaiki meja berusaha meraih mainan di ujungnya....lalu brruuuk! Tangis pun membahana dan tiba-tiba dari sudut kelas, si pemalu mendekat lalu berbisik segan: “Aku ngompol...”.
Kali ini, Sulistina Soetomo, istri pahlawan, pun belum tentu sabar...
***
Kawan, belum sepekan ketika Allah memberiku kesempatan mendengar curahan hati para pahlawan dari negeri seberang. Di depan seorang pejabat yang diundang, mereka mengeluhkan: Kapan kami mendapat tunjangan? Kapan jabatan kami menjadi sepadan? Kapan pemerintah sungguh-sungguh memberi kehormatan? Bilakah masa tua kami datang, masihkan kami dihargai sebagai pahlawan?
Dengan berdehem sebentar, sang pejabat utusan pemerintahan memberi jawaban elegan: “Tunjangan sertifikasi untuk guru PAUD sudah akan direalisasikan, dengan catatan: begini ibu-ibu...ibu-ibu harus memiliki ijazah S1 PAUD, S1 yang bukan PAUD tidak diakui (S1 PAUD sendiri baru dibuka tahun ini di Gresik, tidak jauh berbeda di kota-kota lain), ibu-ibu harus mengajar minimal 9 tahun (bukan tidak mungkin saat atau setelah tahun itu kebijakan pemerintah telah berubah, seperti kami hafal pada kebijakan-kebijakan sebelumnya), ibu-ibu harus bla-bla-bla...”
Ugh...kawan, wajah teduh para pahlawanku terbayang. Bagaimana mungkin itu semua terrealisasikan. Sungguh sebuah kebijakan yang penuh pertimbangan matang dan keyakinan yang penuh bau busuk hegomoni kekuasaan: amat sangat tipis sekali kemungkinan pahlawanku mendapat penghargaan. Sebuah kebijakan penuh kelicikan.
***
Kawan, tidak kurang dari lima surat yang kuterima dari seorang muridku yang cantik, lincah dan cekatan. Semua isinya sama, membumbungku ke awan: “ustadzah efa, ada dan tiada dirimu akan selalu ada di hatiku”. Gadis kecil nekad yang sempat membuat mataku berluberan air mata karena lelah mencarinya, tanpa sepengetahuan kami dia pulang berjalan menyusuri jalan licin dengan tebing gunung kapur di kanan-kirinya. Tidak kurang dari sepuluh kilometer menuju rumahnya.
Gadis kecil yang sempat membuatku menjerit tegang karena berusaha menuruni genteng lantai dua sekolah hanya untuk menggendong seekor kucing. Tak kupedulikan dari mana dia mendapat kata-kata itu. Tulisan tangannya yang mulai rapi ditulis di kertas tanpa garis dengan spidol gambarnya. Semua suratnya tersimpan rapi dalam arsipku. Pun di dalam hatiku.
Gadis kecilku yang lain tak pernah lelah menggambar. Meski belum pandai menulis, seuntai kalimat dalam kertas belletjes menggetarkan hatiku di pagi itu: “Ustadza Efa, aku menyukaimu” plus gambar gadis berjilbab dengan stiker kerlip di bajunya bertulis “EVA”. Sambil menunjukkan gigi berlubangnya, gadis kecilku ini meletakkan surat di mejaku lalu buru-buru lari dengan mata berbinar-binar sebelum sempat menjawab pertanyaanku.
Kawan, bocah lain dalam dunia heroikku pernah membuatku begitu resah karena isaknya yang tertahan hingga membuat wajah bulat putihnya memerah, rambut pekatnya berdiri, mata beningnya kuyu, dan ... mulai muntah. Sebuah nasihat dengan nada cukup keras dari seorang temannya telah membuat hati lembutnya tergores.
Segera kuajak ia meninggalkan kelas kami. Berlabuh sejenak di ujung koridor lantai dua sekolah kami. “Coba lihat semut-semut ini..., ketika mereka berjalan cepat lalu bertemu kawan dari arah yang berlawanan, mereka tak lupa menyapa, berbicara, dan mungkin juga bercerita...” kami terdiam sejenak. “Mereka berkawan, mungkin saja ada kata yang tak menyenangkan, tapi mereka selalu senang memaafkan.”
***
Kawan di pagi hari di dunia heroikku, aku sangat berharap tidak melewatkan menyambut murid-muridku. Membungkukkan punggung demi menyambut uluran tangan mungil mereka lalu mendapat doa gratis dari bibir mungil tanpa dosa:
“Assalamualaikum” ucap mereka
“Waalaikumussalam warakhmatullahi wabarakatuh” dan jika sempat kuhadiahkan ciuman di pipi lembut mereka sambil bibirku lirih berkata “Terima kasih atas doamu buat ustadzah, nak”.
Kawan, jika boleh kuharap dari sepenggal kisah pendekku menjadi pahlawan, kuingin sebesar-besar nafsu pahlawanku adalah mendapat tunjangan dari murid-muridku tersayang. Jika dewasa masih memperkenankan mereka untuk bersentuhan dengan pena, kuingin sebuah surat dari mereka bertuliskan-seperti surat Sulistina pada almarhum Bung Tomo :
“You are a hero,
a patriot
a great lover”
__________________________________________________
Penulis : Musrifah (Pendidik di Al Ummah Gresik)
Tulisan ini dipersembahkan untuk anak-anak Al Ummah dan juga diikutkan dalam lomba menulis IBF 2011 yang disponsori oleh haimamedia.us, melalui blog muslimahberbagi
__________________________________________________
Keterangan:
Belleetjes : bahasa Belanda utk robekan kertas bekas yg dijadikan surat
Front : garis terdepan medang perang
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
Post a Comment Blogger Facebook