“Busyet dah ! Gua lupa !” seorang teman mengungkapkan ekspresinya ketika telepon genggamnya tertinggal. Sebuah ungkapan yang umum ditelinga kita, terutama bagi orang Betawi atau mereka yang tinggal di Jakarta.
Mungkin anda sering pula mendengar istilah tersebut. Busyet, buset, atau kadang ada orang Betawi pinggiran yang menyingkatnya menjadi ‘Et dah’ atau ‘et deh’. Sebenarnya semuanya sama, hanya kadang berbeda pengucapannya.
Penyebutan kata ‘busyet’ atau ‘buset’ maupun singkatan kata ‘et dah’ saat ini sebenarnya rancu. Kerancuan penyebutan kata tersebut dapat dimaklumi karena ketidaktahuan latar belakang sejarahnya. ‘Busyet’, saya akan mengambil satu kata ini dalam tulisan berikut.
Kekeliruan yang terjadi
Kata busyet saat ini bermetamorfosis menjadi sebuah ungkapan keterkejutan. Kata ‘busyet’ sama seperti kata ‘alamak’, ‘alamak jan’, ‘aduh’, atau ‘astagfirullah’.
Dalam masyarakat, penggunaan kata-kata ini menjadi sama maksudnya. Padahal terjadi kekeliruan atau kurang tepat penggunaannya. Seperti kata ‘aduh’ yang seharusnya menggambarkan ‘rasa sakit’. Dalam komunikasi verbal, kata aduh digunakan seperti dalam kalimat, “Aduh, tas saya tertinggal !”. Padahal ketinggalan tas tidak menyebabkan rasa sakit bukan ? Nah, kira-kira seperti itulah kekeliruan verbal yang akhirnya diadopsi dalam budaya tulisan.
Sejarah ‘Busyet’
Lalu ungkapan apa yang tepat untuk penggunaan kata Busyet ? Untuk mengetahui kalimat atau ungkapan yang tepat untuk kata ‘busyet’ kita harus tahu sejarahnya terlebih dahulu. Terus terang, sebagian besar orang Betawi sendiri tidak tahu sejarah kata ini. Saya saja mengetahui sejarahnya dari cerita almarhum paman. Untuk mengetahui apakah cerita paman dapat diyakini kebenarannya, mungkin perlu diadakan penelitian sendiri oleh ahli bahasa atau pemerhati budaya Betawi. Dari hasil pencarian di google, “sejarah kata busyet atau buset”, tidak ada yang menceritakan asal usul kata tersebut.
Busyet atau Buset berasal dari kata ‘Abu Said’. Aneh bukan ? Ternyata ‘Busyet’ atau ‘buset’ awalnya adalah nama seseorang. Lalu siapakah Abu Said ini dan kenapa berubah menjadi ‘busyet’ ?
Menurut cerita paman, dahulu ada seorang dukun yang sangat terkenal di daerah Bogor bernama Abu Said. Abu Said ini dukun sakti yang dapat mengobati berbagai macam penyakit. Banyak orang yang sakit berobat kepadanya dan dengan bantuannya akhirnya penyakitnya bisa sembuh. Karena kesaktiannya yang luar biasa, banyak orang yang percaya, jika sakit hanya menyebutkan namanya saja, maka penyakitnya akan sembuh. Kepercayaan atas kesaktian dukun Abu Said terus diyakini hingga lama setelah sang dukun meninggal.
Akhirnya banyak orang yang mengalami musibah berharap sembuh dengan menyebut “Abu Said”. Ketika terjatuh, orang akan berkata “Abu Said” dengan harapan tidak akan terasa sakit. Kata ‘Abu Said’ inilah yang lama kelamaan berubah menjadi, ‘Bu Sait’ - ‘Bu syet’ - ‘bu set’.
Jadi awalnya, kata busyet ini digunakan untuk mengungkapkan sebuah musibah, kecelakaan, atau kejadian tertentu yang menyebabkan rasa sakit. Kalimat yang tepat untuk ‘busyet’ adalah ketika orang jatuh lalu dia akan mengucapkan “Buset !” atau “Busyet gua jatuh !”.
Termasuk Kata Terlarang
Sebagai orang Betawi, ketika kecil dulu, saya juga sering mengucapkan kata-kata tersebut. Mungkin karena dalam masyarakat kata tersebut umum diucapkan sehingga saya ikut-ikutan. Namun jangan sekali-kali mengucapkan kata tersebut diucapkan di hadapan orang tua. Orang tua saya selalu melarang atau memarahi anak-anaknya yang mengucapkan kata ‘busyet’. Mereka mengancam akan menampar atau memberi cabai mulut anaknya jika terdengar mengucapkan kata tersebut. Pernah suatu kali saya bertanya, kenapa kata tersebut dilarang. Orang tua saya hanya mengatakan bahwa kata tersebut jelek. Bahkan pernah dikatakannya bahwa kata tersebut sama saja memanggil setan. Waktu itu saya berpikir, kata ‘-syet’ adalah kependekan dari syetan. Sayapun takut dan tidak pernah mengucapkan kata busyet.
Kata ‘busyet’ di dalam rumah dan keluarga kami merupakan kata jelek, kotor dan terlarang. Namun di dalam pergaulan masyarakat Betawi secara umum masih banyak yang mengucapkannya. Mungkin karena tidak tahu atau tidak dilarang orang tuanya.
Masyarakat Betawi secara umum adalah masyarakat yang agamis. Coba saja menagatakan ‘busyet’ di depan orang tua dan guru ngaji, pasti kita dimarahi. Masih untung hanya dimarahi, bahkan ada yang ditampar mulutnya. Ketika saya tahu dari Paman tentang kisah Abu Said dan kata ‘busyet’, barulah saya tahu maksudnya.
Mengapa orang tua kami melarang anak-anaknya mengucapkan kata ‘busyet’ ? Ketika kita mengucapkan kata tersebut, artinya kita percaya kepada kesaktian dukun Abu Said. Percaya kepada selain Allah SWT dalam Islam adalah perbuatan syirik. Syirik adalah dosa besar yang sangat terlarang dalam Islam. Nah, inilah kenapa kata tersebut menjadi terlarang.
Tulisan ini hanya sebuah informasi penulis berdasarkan cerita orang tua. Tidak ada satupun literatur atau tulisan yang mendasarinya. Jika ada kekeliruan atau sumber lain yang dapat dipercaya, silahkan pembaca menyimpulan pendapatnya. Saya hanya ingin berbagi, karena jika benar ada bahaya besar yang tidak kita sadari.
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
et dah ! bujug ! :d
ReplyDelete