9 tahun lalu, saat pertama kali masuk SMA (dan saat itu banyak teman yang sudah menggunakan motor ke sekolah), saya mulai sering mendengar percakapan teman-teman yang setengah muak kepada polisi lalu lintas. Perkara apa lagi kalau bukan masalah tilang (tindakan langsung; bukan tinggi dan langsing ). Ada yang benar-benar “salah”, misalnya menerobos lampu merah, belok kiri jalan terus di perempatan yang sudah ada tanda bahwa jika berbelok mesti menunggu lampu, atau cuma memakai satu spion (yang spionnya lebih mirip cermin rias para artis, kecil sekali). Ada pula yang konon, sudah benar, tapi tetap saja “dicari-cari kesalahannya” (biasanya orang yang ditilang, tidak mau mengakui kesalahannya, bukan?). Terutama masalah helm “ciduk” (helm yang bukan standard SNI), yang saat itu marak dipakai dan teman-teman beralasan, “toh memakai helm” (peraturan helm standard SNI belum benar-benar ditegakkan saat itu).
Apa pun kesalahannya, yang jelas fokusnya tetap satu: Pak polisi lalu lintas yang seringnya berperut buncit, berwajah tegas, dan dengan kata-kata yang keras pula. Banyak yang berpikir, pak polisi lalu lintas ini, biasanya berburu mangsa ketika sudah memasuki tanggal 20 ke atas, atau dalam istilah lain, “tanggal tua”. Mengingat dapur mesti mengepul, sementara gaji sudah habis, pelanggaran lalu lintas adalah proyek pribadi yang luar biasa menguntungkan. Demikian komentar banyak teman.
Deskripsi pak polisi lalu lintas pun sangat menyebalkan. Mereka konon suka “menghilang begitu saja”. Misalnya, teman saya “terjaring” pada hari Selasa di pos polisi A. Karena tidak mempunyai “uang tebusan”, ia mesti rela SIM dan STNK-nya ditahan sampai ada “pengakuan kesalahan”. Namun, ketika teman saya datang pada hari Rabu, Pak Polisi itu tidak lagi bertugas pada jam yang sama sehingga si pemegang SIM ini mesti rela menunggu beberapa waktu untuk sekadar bertemu dan mendapatkan SIM-nya kembali.
Ada kalanya, teman mengeluh karena pak polisi suka menunjukkan kuasanya. Memang sih, teman saya bersalah. Tapi, semestinya Pak Polisi tidak perlu, kan, bersikap seolah-olah memiliki dunia dan bisa menjebloskan teman ini ke dalam neraka; dari gaya bicaranya saja? Ada teman yang pernah berusaha menghindari operasi pemeriksaan. Ia dikejar dan begitu menunjukkan SIM-nya, benda itu langsung dirampas untuk dibawa ke tempat operasi. Teman saya ini berteriak tak terima dan menghampiri pak polisi. Begitu di depannya, sang polisi berkata, “mulut siapa tadi yang berteriak?” Lalu, kalau ada teman yang memohon belas kasih, sang polisi konon bisa berkata dengan sadis, “bukan urusan saya.”
Karena saya pejalan kaki, saya tidak pernah menghadapi kenyataan ini. Sampai kemarin Rabu, ketika menunggu bus di perempatan, saya melihat ada sekitar 4-5 anak SMA yang terjaring “operasi”. Empat di antaranya, dilihat sekilas saja, memang salah karena spion yang cuma satu dan kecil itu. Sementara, ada seorang anak SMA yang mendatangi pos polisi tadi, bertanya ingin bertemu dengan Bapak **** (nama seorang polisi yang menahan SIM-nya kemarin di tempat yang sama). Para polisi itu, dengan wajah penuh kemenangan, berkata, tidak ada Bapak ****. Pulanglah anak SMA tadi dengan kecewa. Entah berapa lagi orang yang dijaring di pos polisi itu, saya tidak tahu karena bus kebetulan sudah “menjemput”.
Memang, mungkin banyak orang yang seenaknya saat mengemudi. Sebagai pejalan kaki, saya sering mengalami kejadian mesti mengalah atau “bersabar diri” dengan para pengendara, terutama pengendara sepeda motor (yang dalam bahasa Jawa, sakpenake wudele dhewe). Pelanggaran lain seperti spion, lampu mati, helm tidak standard (yang sekarang sudah hampir tidak ada), plat “mati”, dan lain-lain mungkin pula sangat mudah ditemui Bapak Polisi. Tapi, bukankah bisa bersikap lebih ramah, sesuai niatan polisi untuk melayani masyarakat? Kecuali misalnya, si pelanggar ini, mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan menyebabkan kecelakaan, bolehlah ia dimarahi atau dibentak.
Bapak Polisi, tidak semua orang bisa berdisiplin keras seperti Bapak. Tidak semua orang pula pernah merasakan pendidikan yang isinya “peningkatan mental”. Semua orang, ketika bersalah sekalipun, akan membentengi diri dengan merasa sok benar. Apalagi ketika mereka dimarahi. Orang-orang “salah” ini justru akan menemukan argumentasi untuk berbalik menyalahkan sikap Bapak Polisi. Yang terjadi, akhirnya adalah lingkaran dendam yang tak terputus (dalam hal ini, bisakah kita mengesampingkan masalah benar-salah untuk masalah “sopan santun”, baik pak polisi maupun pengendara kendaraan bermotor?).
Bersikap ramah (dan banyak Polisi lalu lintas yang berlaku demikian), bukankah akan melahirkan simpati publik? Kalau Bapak Polisi beralasan, “dengan cara ramah, justru akan membuat masyarakat merasa kesalahannya mudah dimaafkan dan akan melakukan kejadian serupa”, bukankah Bapak Polisi sudah curiga terlebih dahulu pada masyarakat yang membutuhkan pengayoman, bukan sikap kuasa yang membuat anak SMA pun ingin menonjok atau menginjak-injak Bapak?
Hukumlah mereka yang bersalah. Tapi, sebagai penegak hukum, jangan melebihi aturan hukum tersebut. Pak Polisi bisa membayangkan, seandainya anak Bapak “dihinakan” dalam bentuk serupa oleh petugas “penguasa” di instansi lain? Atau seandainya Pak Polisi beragama, bagaimana kelak ketika Bapak sampai di Akhirat, hendak masuk surga karena memiliki amalan yang begitu banyak, tapi justru dimasukkan ke neraka? Kemudian, ketika Pak Polisi protes, Malaikat berkata, “bukan urusanku.”
Sebagai penyeimbang, saya cantumkan pula beberapa pelanggaran yang berhak dihukum oleh Pak Polisi Lalu Lintas (masih ada beberapa yang lain).
1. Pasal 281 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak memiliki SIM dipidana kurungan selama maksimal 4 bulan atau denda maksimal Rp 1.000.00,00
2. Pasal 282 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda dipidana kurungan maksimal 2 bulan atau denda maksimal Rp 500.000,00
3. Pasal 283 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi suatu keadaan yang menyebabkan gangguan konsentrasi (telepon atau ber-SMS-an saat mengemudi ) dipidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp 750.000,00
3. Pasal 285 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban dipidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp. 250.000,-
4. Pasal 287 ayat 5 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di Jalan yang melanggar batas aturan kecepatan paling tinggi/paling rendah dipidana kurungan maksimal 2 bulan atau denda Rp 500.000,00
5. Pasal 291 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tidak mengenakan helm standard nasional Indonesia dipidana kurungan paling lama sebulan atau denda maksimal Rp 250.000,00
6. Pasal 291 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm standard nasional Indonesia dipidana kurungan paling lama sebulan atau denda maksimal Rp 250.000,00.
7. Pasal 293 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dipidana kurungan paling lama sebulan atau denda maksimal Rp 250.000,00.
8. Pasal 293 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2009
Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari dipidana kurungan paling lama 15 hari atau denda maksimal Rp 100.000,00.
Lihat yg lebih 'korup' di sini !
Post a Comment Blogger Facebook