'Assalamu'alaikum.'
'Wa'alaikumsalam,' jawab Keke, si kembar cuek. Masih tetap dengan gaya ngoboynya, celana pendek dan kaos oblong. Itulah pakaian kebangsaan mereka sehari-hari, si kembar Keke dan Kiki. Tapi itu dulu sebelum Kiki faham Islam.
Di mana-mana saudara kembar kurang lebih sifat dan sikapnya hampir mirip, begitu pula Keke dan Kiki. Mereka sama-sama tomboy, terlebih Kiki. Keke cenderung agak kaleman dikit, walaupun nggak beda jauh. Kesukaan mereka sehari-hari manjatin pohon jambu air dan mangga depan rumah kalau lagi berbuah, main layang-layang di atas genting, perang-perangan, mobil-mobilan dan lain-lain. Pokoknya permainan cowok, mereka mahir. Mainan cewek, anti banget deh. Menurut mereka berdua main sama cewek nyebelin, habis dikit-dikit nangis. Beda banget kalau main sama cowok.
Tapi bukan berarti mereka nggak pernah nangis lho. Tapi nangisnya bukan sebab dipukul, namun bila abang semata wayang marah dan ngancam nggak boleh main lagi sama teman-teman cowoknya. Baru setelah ibu turut campur, abang akhirnya mencabut keputusannya. Tapi jangan menganggap abang jahat lho, bahkan karena sayangnya sama adik kembarnya, kemana-mana mereka selalu diajak. Cuma ke toilet aja yang enggak. Beda umur tiga bersaudara itu, abang dan si kembar Keke dan Kiki tuh cuma tiga tahun. Hingga jadilah mereka seperti ini. Bapak dan ibu sih enggak terlalu ambil pusing, yang penting mereka rukun.
Segalanya mulai berubah terutama bagi Kiki, tatkala menginjak bangku SMU. Keke diterima di SMU negeri sedangkan Kiki gagal meski nilai ujian masuk mereka cuma beda koma. Saat itulah Kiki kembali menangis, semenjak empat tahun yang lalu ketika tangisan mereka tertumpah untuk kematian kucing kesayangan yang tertabrak mobil.
Saat itu Kiki tidak bisa membayangkan berpisah dengan saudara kembarnya, walaupun cuma sekolah. Mereka telah terbiasa bersama-sama. Tapi itulah yang terjadi. Keluarga mereka pun bukan tipe yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tidak diterima SMU Negeri ya SMU swasta resikonya. Saat itu Keke menghibur saudara kembarnya itu bahwa sekolah swasta juga tidak kalah bagus mutunya dibandingkan dengan sekolah negeri. Akhirnya Kiki sekolah juga dengan berat hati demi mengejar selembar ijazah.
Wajah Keke selalu ceria tiap berangkat sekolah, terlebih setelah masuk anggota Pecinta Alam (PA) sekolahnya. Kiki hanya bisa gigit jari karena ekskul yang sama di sekolahnya sama sekali nggak maju dan cenderung hidup enggan mati pun tak mau. Hingga suatu hari Jum'at, Keke minta berangkat lebih awal karena akan ada latihan tambahan dan pembekalan anggota PA di sekolahnya. Karena abang nggak mau bolak-balik nganterin Keke, terus balik lagi nganterin Kiki ke sekolah, maka dengan terpaksa Keke ikutan berangkat lebih awal (Keke dan Kiki sama-sama masuk siang soalnya).
Seperti dugaan Kiki, ketika tiba di sekolah suasana masih sepi. Teman-teman belum pada datang, sedangkan kelas dua dan tiga karena hari Jum'at, mereka pulang lebih awal. Hanya ada sebagian siswa putra duduk-duduk dekat AULA sekolah sambil menunggu sholat Jum'at dimulai. Daripada bengong sendirian, Kiki memutuskan untuk melihat-lihat mading rohis dekat musholla. Ternyata di sana ada Rina dan Zaza.
'Tumben Ki, datang lebih awal,' sapa Zaza.
'He eh,' jawab Kiki pendek.
'Kalian sendiri ada acara apa di Musholla?' lanjutnya.
'Lho tiap Jum'at kan ada pengajian putri,' jawab Zaza sambil melepas sepatunya.
'Ikutan yuk!' ajak Rina.
'Malas ah. Paling juga isinya cuma ceramah perintah sholat, zakat, puasa. Kalau itu sih Kiki juga udah tahu.'
'Eh Kiki, belum apa-apa sudah su'udzon. SMU tuh bukan lagi materi itu, anak SD juga tahu kalau cuma begituan. Sekarang tuh materinya pendalaman tentang Islam, seperti pembahasan mengenai tujuan hidup, perang pemikiran, mengetahui siasat musuh Islam dalam upayanya menjauhkan kita dari islam yang sebenarnya, remaja ngomong politik, cara berpakaian muslimah dan tata cara pergaulan dan lain-lain. Tuh, kamu bengong kan.'
'Pokoknya ditanggung oke deh,' timpal Rina.
'Kalau enggak?' tanya Kiki setengah ragu.
'Dicoba dulu baru beli,' promosi Zaza dan Rina menirukan iklan di TV.
Sejak saat itulah Kiki jadi rajin ke rohis. Hingga satu hari, beberapa minggu setelah aktif ikut kajian, Kiki jadi tahu bahwa jilbab dan kerudung adalah pakaian muslimah
Sejak saat itulah Kiki jadi rajin ke rohis. Hingga satu hari, beberapa minggu setelah aktif ikut kajian, Kiki jadi tahu bahwa jilbab dan kerudung adalah pakaian muslimah. Dan bukan kaos oblong plus celana pendek seperti pakaian kebangsaan mereka sehari-hari itu. Kiki pun butuh waktu untuk memahami serta merubah seluruh hal dalam hidupnya. Hobi panjat pohon mangga depan rumah, ikut main bola dan layang-layang di lapangan sebelah, bahkan kadang berkelahi juga sama anak tetangga. Tapi itu juga kalo terpaksa kok.
Sedikit demi sedikit Kiki mulai beli kerudung diam-diam. Menjahitkan baju untuk jilbab, baju panjang terusan hingga menutup kaki plus kaos kakinya juga. Hingga satu malam, ketika papa, mama, Keke, dan abang mereka, Koko kumpul di ruang makan, Kiki merasa sekarang saatnya.
'Ma, Pa, Mas Koko, dan juga Keke, ada yang ingin aku infokan. Insya Allah mulai saat ini, Kiki akan istiqomah memakai kerudung dan jilbab bila keluar rumah.'
Suasana hening.
'Alhamdulillah, syukurlah kalau Kiki memang ingin berjilbab,' suara mama terdengar lega. Beliau memang yang paling khawatir dengan perkembangan putri kembarnya yang cenderung tomboy dan cuek. Keputusan Kiki disambutnya dengan suka cita.
'Papa juga mendukung kalau memang itu sudah keputusan Kiki. Cuma satu yang papa pesan, setelah berjilbab tolong dijaga sikap dan tingkah lakunya. Papa gak suka lihat berjilbab tapi norak.'
'Wah…Kiki jadi kayak ninja dong nanti,' protes abang semata wayang, Koko.
'Kok kayak ninja?'
'Iya, semua tertutup kecuali matanya aja. Udah gitu, warnanya item-item bajunya. Persis ninja kan.'
'Wajah dan telapak tangan bukan aurat, jadi nanti Mas Koko tetap bisa lihat wajah Kiki. Lagipula jilbab dan kerudungnya nanti juga bakal warna-warni tapi tetap syar'i kok. Jangan khawatir,' jelas Kiki sambil tersenyum. Pandangannya beralih ke saudara kembarnya yang cuek (atau pura-pura-kah?) dengan semua percakapan tentang keputusannya menutup aurat.
'Keke, is there something you wanna say, sis?' seperti biasa bahasa Inggris terselip di antara percakapan mereka.
'No comment aja. Suka-suka kamulah,' jawab Keke singkat sambil terus mengunyah ayam goreng di mulutnya. Kalimat itu terdengar cuek dan suka-suka seperti kelihatannya, tapi Kiki menangkap ada nada lain di suara saudara kembarnya itu. Dengan sayang, dipandangnya Keke di seberang meja yang terus asyik dengan ayam goreng di tangannya. Apa yang ada di benak seseorang yang serasa satu hati dengan dirinya itu? Mereka tak terbiasa berbeda, dan tetap terselip rasa 'aneh' itu ketika akhirnya Kiki memutuskan untuk berbeda dari sebelumnya.
Di kamar tidur setelah makan malam, Keke tengkurap di ranjangnya sambil mengerjakan PR. Headset walkman pun menutupi kedua telinganya. Sejak kejadian di meja makan itu, selalu begitu sikap Keke bila di dalam kamar. Kiki yang sekamar dengannya, tak ada kesempatan buat ngobrol dan berbincang dengannya. Bagaimana pun Keke juga berhak tahu tentang detil keputusannya. Dan bila memungkinkan, ingin rasanya Kiki mengajak saudara kembarnya itu untuk sama-sama 'hijrah', berubah jadi yang lebih baik.
Dihampirinya Keke di ranjangnya, disentuhnya bahu itu.
'Gue sibuk Ki, eluh urusin sendiri diri kamu sendiri,' tanpa menoleh, Keke berkata ketus sambil terus mengerjakan tugasnya.
'Please Ke, akhir-akhir ini sikapmu seperti menganggapku tak ada di ruangan ini,' Kiki terpaksa merenggangkan headphone Keke agar suaranya terdengar. Dan benar, Keke melepasnya.
'Menganggapmu tak ada di ruangan ini? Masih mending kan itu hanya di ruang ini. Tapi kamu Ki, kamu menganggap aku tak ada dalam kehidupanmu,' tandas Keke sebelum keluar ruangan dan membanting pintu di belakangnya. Kiki termangu dengan rasa sedih yang tak terhingga.
****
Siang itu Keke pulang sekolah diantar oleh teman cowoknya. Ia pun dibonceng di belakang motor dengan posisi duduk anak cowok sehingga rok sekolahnya tersingkap. Kiki yang pulang sekolah lebih awal karena ada rapat di sekolahnya, terkesiap melihat kembarannya. Mereka memang tomboy, tapi mereka tak mudah untuk dibonceng cowok sedemikian rupa. Ketomboy-an seharusnya makin membuatnya mandiri.
Cowok itu menunggu di depan rumah dan tidak turun dari motornya. Sepertinya sedang menunggu Keke. Benar saja, beberapa menit kemudian Keke keluar dengan celana pendek dan kaos oblong.
'Mau ke mana Ke?'
'Bukan urusanmu,' jawab Keke ketus sambil naik membonceng lagi di motor itu. Tangannya melingkar di pinggang cowok itu, seakan-akan ingin bersikap over react di depan Kiki, saudara kembarnya. Kiki pun beristighfar di tengah kepulan asap knalpot yang tersisa. Kiki tahu Keke, seperti ia memahami dirinya sendiri. Mereka adalah satu, terlepas ada perbedaan yang semakin meruncing akhir-akhir ini.
Keke pulang larut malam itu. Masuk kamar langsung rebah di ranjang.
'Sudah sholat Ke?' Tanya Kiki berusaha bersahabat. Tak ada jawaban dari Keke, seakan-akan tak ada suara yang mengajaknya berbicara. Ia tidur menghadap tembok tanpa berganti pakaian. Dengan sabar Kiki menghampiri ranjang Keke dan menyelimuti tubuh itu dengan kain. Sebelum beranjak, berusaha dikecupnya kening saudaranya itu. Keke melengos dan menutup wajahnya dengan bantal.
Di sepertiga malam, ketika Kiki bersiap-siap untuk sholat tahajud, didengarnya suara isakan yang sangat lirih. Keke menangis? Setengah tak percaya Kiki menajamkan pendengarannya sebelum melangkah ke ranjang Keke. Disentuhnya bahu itu. Diam. Tak bergerak. Ada alunan lembut pundaknya dari hembusan nafas yang dihirup dan dihembuskannya lagi. Dilihatnya Keke tidur dengan tenang, meski masih tetap menghadap dinding. Kebiasaan baru Keke sejak Kiki memutuskan berubah.
Lalu suara isak siapakah tadi? Setelah termenung beberapa saat, Kiki memutuskan beranjak untuk sholat. Diciumnya pipi saudara kembarnya itu sebelum pergi. Basah. Berarti isakan tadi bukan hanya di benaknya saja. Keke menangis sebelum tertidur. Ada yang basah di mata Kiki. Apa yang membuatmu sedih, saudara kembarku? Bisiknya lirih. Aku ingin kita bisa akrab seperti dulu lagi. Aku ingin kita melangkah bersama dan berubah untuk kebaikan bersama pula, sama seperti kita selalu bersama-sama sejak dalam kandungan. Apa yang membuatmu bertahan untuk tak mau berubah? Dikecupnya kening Keke dan dibisikkannya 'aku sayang kamu, Ke'.
******
Keke kecelakaan!
Berita itu cukup menggoncang Kiki ketika pulang sekolah didapatinya rumah sepi dan hanya ada pembantu yang memberitahunya. Dengan kalut ditelponnya taksi untuk mengantar ke rumah sakit tempat Keke dirawat. Mas Koko dan mama ada di sana pula. Papa kebetulan lagi dinas luar kota dan sudah dikabari untuk segera pulang.
Syukurlah luka Keke tak begitu parah. Goresan di lutut saja yang cukup parah meski tak sampai patah. Kemudian lengannya lecet-lecet, dan benturan sedikit di kepalanya. Untungnya helm yang dipakai Keke cukup kuat menahan kepalanya sehingga tak ada luka serius. Dikecupnya kening Keke dengan penuh sayang. Tak sengaja pandangan Kiki terarah ke bungkusan di samping ranjang Keke. Dibukanya. Kerudung biru. Kerudung? Apakah Keke…? Dipandangnya saudara kembarnya itu, dengan setengah tak percaya. Tiba-tiba ada rasa bersalah yang menggumpal dalam dada Kiki.
Betapa Kiki baru menyadari bahwa selama ini ia telah menelantarkan saudara kembarnya sendiri. Dirinya sibuk dengan begitu banyak kegiatan di sekolah dan rohis. Ia hanya ingin Keke berubah seperti dirinya tanpa ada upaya untuk membimbingnya. Dan kini…Keke harus terluka untuk sebuah niat suci yang tak pernah ia tahu andai kejadian ini tak terjadi. Digenggamnya jemari Keke, dikecupnya. Dibisikkan lirih di telinga belahan jiwanya itu 'maafkan aku'.
Ria Fariana, Team Voa-Islam Surabaya
Post a Comment Blogger Facebook