Berdiri megah di seberang Sungai Opak, Candi Prambanan menjadi saksi bisu jejak kemasyhuran masa lalu. Siapa pendirinya dan kapan mulai didirikan, jawaban pastinya masih berupa dugaan. Ibarat mau menambah-nambah berbagai wacana, Roy Jordaan menyodorkan “persoalan” baru. Katanya, candi yang tanggal berdirinya belum diketahui secara pasti akibat tidak adanya bukti prasasti ini, boleh jadi awalnya dirancang sebagai kuil air suci.
Pemaparan Crawfurd (1820) awalnya memberikan penanggalan untuk Candi Prambanan “tidak berasal dari zaman kuno yang sangat jauh”; perkiraannya sekitar abad ke-12 atau 13. Namun para pakar selanjutnya berpendapat bahwa candi yang terkenal juga dengan sebutan Candi Loro Jonggrang ini mulai dibangun sekitar paruh kedua abad ke-9 atau permulaan abad ke-10, yakni pada masa-masa berakhirnya kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah. Belakangan, berdasarkan terjemahan atas prasasti Jawa Kuno yang menyinggung tentang peresmian Sivagrha ‘Kediaman Siwa’, De Casparis (1956), seorang pakar epigrafi, mempertegas penanggalan pendirian menjadi 856 Masehi.
Saingan Borobudur?
Pemunduran penanggalan tentu saja membawa konsekuensi berupa gugatan atas teori yang menekankan pembangunan Loro Jonggrang sebagai saingan Candi Borobudur. Keberadaan Prambanan yang tidak jauh dengan kompleks candi-candi Buddhis semacam Sewu, Plaosan, dan Sojiwan, serta prasasti yang menyebutkan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang menikah dengan putri dari Wangsa Syailendra, tampaknya memperkuat sanggahan atas adanya pertikaian agama di antara kedua keluarga itu. Lewat buku yang disuntingnya, Memuji Prambanan, Roy Jordaan menawarkan gagasan dan pandangan mengenai kemungkinan lain.
Buku Memuji Prambanan pertama-tama hadir dalam edisi bahasa Inggris dengan judul In Praise of Prambanan: Dutch Essays on The Loro Jonggrang Temple Complex pada tahun 1996 di Leiden oleh KITLV Press. Roy Joordan yang bertindak sebagai editornya, membagi buku tersebut menjadi dua bagian. Pertama, ia menyajikan uraian panjang tentang Prambanan dalam suatu ulasan yang cukup terperinci. Dan kedua, ia memuatkan sejumlah tulisan para cendekiawan Belanda yang konon menjadi tertutup gara-gara publikasi tersebut masih dalam bahasa Belanda.
Mitos Lautan Susu
Sudah jamak bahwa banyak cendekiawan yang membahas dan menghubungkan arsitektur candi Prambanan dengan Gunung Meru, tempat tinggal para dewata. Stutterheim (1929) mengungkapkan bahwa gagasan Meru terungkap sangat jelas dalam Candi Loro Jonggrang. Di candi itu kita dapat menemukan relief tentang pohon surga dan singa di alas candi, para penyanyi, penari, dan pemusik kayangan di susuran tangga, para penjaga mata angin utama pada kaki bangunan candi, serta arca-arca para dewata yang ditempatkan pada relung-relung dan pada bagian dalam candi. Keseluruhan komposisi itu menyiratkan sebuah gunung para dewata.
Penelitian terhadap karya sastra seperti Kakawin Ramayana secara nyata juga memperteguh pendapat tentang simbolisasi candi dengan Gunung Meru. Roy Jordaan menyebutkan bahwa terjemahan Poerbatjaraka (1932) atas teks Ramayana, menyediakan kisah tentang pembandingan candi dengan Gunung Mandara—gunung yang dalam banyak hal serupa dengan Gunung Meru—melalui laporan pandangan mata Hanuman.
Namun satu hal yang sangat menarik bagi Jordaan. Ketika mencermati karya sastra kuno tersebut, ia begitu tercengang dengan paparan cerita yang menekankan mitos Pengadukan Lautan Susu: Hanuman melihat, “Candi kristal itu sepadan dengan Gunung Mandara, halamannya seumpama Lautan Susu. Permata dan mutiara bagaikan buihnya; air dingin yang bening bak minuman para dewata (yang menyembul dari Lautan Susu yang diaduk).”
Roy Jordaan bertanya-tanya, apakah Candi Prambanan dirancang sebagai kuil air suci (holy water sanctuary)? Sejumlah bukti pemugaran yang berkaitan dengan halaman candi selama ini dalam sejarahnya sering mempersoalkan genangan air yang sulit mengering.
Roh Jagat
Deskripsi Krom (1923) menerangkan bahwa pagar-dalam yang memagari halaman candi-candi besar di Prambanan memang terlihat memiliki rancangan dinding yang kuat dan kokoh. Dinding itu oleh Jordaan dijadikannya bukti sebagai dinding tamwak (bendungan atau dam) yang mendukung hipotesisnya tentang Prambanan sebagai kuil air suci. Jordaan juga melihat bahwa prasasti Loro Jonggrang secara samar-samar menyinggung tentang perpindahan burung-burung dan lalu lintas para pedagang maupun pejabat desa yang datang untuk mandi karena meyakini perlindungan ajaib (siddhayatra) dan berkat (mahatisa) dari air di sana.
Sedikitnya jaladwara (talang air) sepertinya juga mempertontonkan bukti yang tidak menghendaki cepat berlalunya air dari halaman candi. Roy Jordaan pun membayangkan. Andai Loro Jonggrang dan Candi Sewu sungguh dirancang sebagai bagian dari suatu kompleks peribadatan berskala besar, niscaya seluruh kawasan itu merupakan “Tanah Suci” yang dipersembahkan kepada “Roh Jagat” (“Dia Yang Mutlak”) atau Parambrahma(n)—kata yang kelak di kemudian hari menjadi Prambanan.
Agaknya tidak berlebihan jika bukan hanya Prambanan yang perlu mendapat pujian. Kita pun patut memuji kegigihan penyunting yang sudah bersusah payah mengorek-ngorek tumpukan informasi yang nyaris tercampakkan. Roy Jordaan dengan kepiawaiannya telah berhasil mengangkat dan merangkaikan kembali sejumlah sumber menarik yang pernah ditulis para pakar tempo dulu yang pernah bergulat dengan batu-batu candi di perbatasan DIY-Jateng itu. Tidak menutup kemungkinan, riset-riset baru akan bermunculan untuk menguak lagi misteri Prambanan.
Joko Widiyatmoko
#Naskah pernah dikirimkan ke salah satu redaksi koran sebagai resensi buku, tetapi ditolak karena alasan redaksional. Namun begitu, terima kasih kepada mereka yang mengerjakan buku itu, terima kasih atas terjemahannya yang indah. Saya menyukainya.
Mungkin suatu kebetulan karena saat itu saya menemukannya di salah satu rak di perpustakaan.
http://www.eryevolutions.co.cc/2011/02/misteri-prambanan-benarkah-ia-dibangun.html
Post a Comment Blogger Facebook