Kenangan 42 tahun silam itu kembali berputar di kepala Pembantu Letnan Satu (Purnawirawan) Manaor Nababan, 64 tahun, ketika menuturkan nostalgia itu kepada Tempo, pekan lalu. Ia beruntung pulang dengan utuh seusai konfrontasi Ganyang Malaysia. Tapi teman-temannya? Jangankan nyawa, kerangka pun tidak. “Saya berat bicara soal ini,” ujarnya sembari terisak.
Manaor adalah anggota intelijen tempur Korps Komando (KKO) Angkatan Laut. Ia salah satu dari 30 marinir yang mendapat latihan intelijen di Pulau Mandul, selatan Tarakan, Kalimantan Timur. Mereka disaring dari sekitar 3.000 marinir yang bersiaga di perbatasan-menunggu titah untuk mengganyang Malaysia.
Tugas pun datang kepadanya pada akhir 1964. Pria dari Dolok Sanggul, Tapanuli, ini diperintahkan untuk memetakan posisi dan menghitung kekuatan lawan di sekitar Tawao. Seorang anggota KKO lain dan satu sukarelawan menemani Manaor. Mereka juga bertugas mencari tempat pendaratan terbaik-di wilayah yang berstatus protektorat Inggris kala itu.
Misi ini sejatinya one way ticket alias tak ada jaminan pulang dengan selamat. Maka, “Malam sebelum berangkat, saya dipestakan. Kami makan-makan dan diberi semangat,” kata bapak enam anak ini. “Barangkali juga itu perpisahan.”
Manaor dan kedua rekannya berhasil menyusup ke Tawao. Namun karena penghubungnya tertangkap, mereka masuk hutan. Dua bulan di belantara, Hendrik-sukarelawan TNI bekas bajak laut-tertangkap saat berbelanja makanan. Mereka tak berkutik ketika dikepung tentara Inggris dan Malaysia.
Sebelum Manaor, sekitar empat kompi marinir berhasil menyusup hingga ke Kalabakan, sekitar 50 kilometer di belakang perbatasan Sabah. Pasukan kecil itu dipimpin dua anggota KKO paling disegani, Kopral Rebani dan Kopral Subronto. Keduanya adalah anggota Ipam (Intai Para Ampibi, sekarang disebut Detasemen Jalamangkara) dan sudah kenyang asam-bergaram dalam aneka operasi tempur.
Pada 29 Desember 1963, unit kecil itu berhasil melumpuhkan pos pertahanan tentara Malaysia di Kalabakan. Dalam sejarah militer Malaysia, kejadian ini dikenang sebagai Peristiwa Kalabakan. Dari 41 anggota Rejimen Askar Melayu Diraja yang bersiaga di pos , 8 tewas dan 18 lainnya luka-luka. Salah satu yang mati adalah Mayor Zainal Abidin, komandan kompi. Tapi ajal juga menghadang Rebani dan Subronto di saat pulang.
Januari 1964. Di perairan Tawao, kapal patroli Inggris memergoki rakit mereka. Haram untuk menyerah kepada Inggris. Di bawah bulan yang sedang purnama, perang pecah: rakit versus kapal, senapan melawan meriam. Rebani, Subronto, dan 22 anggota KKO gugur. Tiga tentara berhasil meloloskan diri, yakni Kelasi Satu Rusli, Suwadi, dan Bakar, dicokok pasukan Gurkha di pantai.
Saat ditangkap, mereka sedang mengumpulkan mayat rekan-rekannya yang dapat diseret ke darat. Para Gurkha tak memberi mereka kesempatan untuk menguburkannya. Jenazah dibiarkan tergeletak di pantai!
Adalah Rusli yang menyampaikan cerita itu kepada Manaor. Ia bertemu Rusli sekilas saat keduanya diterbangkan dari kamp tawanan Jesselton (Kinibalu) ke Johor Bahru, Semenanjung Malaysia, awal 1966.
Di Semenanjung, keduanya ditahan di tempat terpisah. Rusli dan 21 tentara yang dijatuhi hukuman 11-13 tahun dibui di Negeri Sembilan. Manaor dikerangkeng di Detention Camp Johor. Sekitar 502 prajurit Indonesia dari berbagai angkatan dikurung di sini untuk digantung karena menjadi penceroboh (pengacau-Red).
Post a Comment Blogger Facebook