Pipi.. Pipi…
Mimi bingung sekarang..
mengapa banyak mata terbelalak melihat hubungan ini
padahal Mimi hanya ’sekedar’ ingin cinta-cintaan
dan yayang-yayangan…
dengan lelaki yang Mimi anggap keren dahsyat luar biasa
dan kelasnya jauh di atas Pipi…
Pipi.. Pipi…
mengapa bayaran yang aku terima begitu mahal
sampai menembus langitpun rasanya kelewat mahal
anak sudah tak Mimi punya
tepuk tangan meriah gemuruh dari depan panggung juga sepi rasanya
ke mana mereka..
menghilang .. lenyap
bagai aku diludahi sampai ke bawah tanah..
maka akupun mengumbar air mata, Pi..
memohon ampun, maaf tiada tara
karena aku tak tahu lelaki hebat itu sudah berpunya
anak berderet, istri menanti
ah, tapi itu kan memang untuk konsumsi publik, Pi..
sebab meski segala yang dijual di negeri ini kelewat mahal
masih ada yang murah…
ya..ya.. harga diri
dan rasa malu
betapa Mimi bisa mudah bersandiwara
dengan harapan segala lagu bisa dicintai lagi oleh semua manusia
tapi apakah semudah itu, paduka..
sebab rasa malu yang murah itu juga sudah menjadi gulita
Pipi.. Pipi… rumah sekarang sepi
lantai marmer coklat muda yang dulu licin bagai padi bersemi
sekarang tak lagi berseri
gelak tawa canda anak-anak tak terdengar lagi…
Pipi.. Pipi..
Mimi bingung sekali lagi
betapa bayaran yang harus ditebus mahal sekali
hati seorang ibu yang terguncang hingga tak kuasa lagi kuat berdiri
hingga jalanpun harus didorong kursi roda ke sana sini
tapi bagaimana aku bisa membatasi semua ini, Pi…
dorongan rasa dan hasrat besar tak terbendung lagi…
melihat air mata dari seberang sana yang masih mengaku istri
rasanya hanya butir angin sayup-sayup dan aku sungguh tak perduli..
Pipi.. Pipi..
wajahku yang cantik dipermak setrika habis ini
toh masih terlihat jauh lebih cantik dari si rambut panjang yang di samping Pipi menyanyi?
tapi mengapa menggebunya orang menawar manggung tiap hari
kepadaku sudah tak mampir lagi…
Pipi.. Pipi..
aku kadang tertawa di dalam hati
mampuslah semua orang kutipu dengan hati bernyanyi
kemarin minta maaf kini mengulangi kembali
air mata yang dulu bergulir ke pipi
kini bisa kuganti dengan adegan mesra tempel-tempelan pipi
sembari mengumbar sebentuk cincin yang melilit di jari..
agar dipertontonkan oleh layar televisi
dan sengaja, agar gemuruh panas membara dari yang mengaku masih jadi istri…
kembali wajahnya tak sanggup berseri-seri..
Pipi..Pipi..
Mimi memang bukan yang dulu lagi
sekali lagi, bukan Mimi yang dulu lagi…
sebab aku berhak merebut kebebasan sampai tinggi sekali
meluas merebak tanpa berpikir malu seribu kali
apalagi mengedepankan nurani…
ah…, itu kan semua ungkapan basi…
memikirkan kejujuran dan nurani, gini harreeee….?
I am sorry goodbye Pipi…
Mimi akan selamanya pergi
meski diam-diam tak kuhindari rasa sakit hati..
panik.. panik sekali..
kok jadi Pipi sekarang yang ke seluruh pelosok top sekali..
bersama si rambut panjang yang cantik banget meski tanpa operasi…?
Hi….hiiiii..hiiiii…. air mata ini kembali bergulir deras sebesar butir nasi….
aku sepi Pi…
sesungguhnya batinku sepi….
sepi sekali…..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment Blogger Facebook