KALA bocah, saya suka berdebat bab kiamat. Saya ngotot lolos dari maut, ngumpet tak bisa ditemukan siapa pun, termasuk Tuhan. Kendati teman sebaya mengatakan, jika langit runtuh dan bumi dijungkirbalikkan, kita tak bisa lolos dari maut, saya tak peduli....
Pokoknya, aku tak mau mati! Titik! Engkel-engkelan itu pun tak habis. Maklum,bocah di bawah 10 tahun. Pemahaman soal kiamat baru jelas setelah akil balig. Bahwa kematian itu kiamat, barang siapa mati berarti kiamatnya telah tiba. Amal baik dan buruk ditimbang untuk dicemplungkan ke neraka atau surga.
Toh, perilaku saya untuk berdusta atau bohong-kecil-kecilan, sih-tetap terpelihara. Perut masih menelan barang haram. Otak pun masih suka ngeres. Ibadah nomor sekian, cari kenikmatan nomor satu. "Kematian itu masih jauh," itu pikiran saya.
Orang dewasa pun bila diingatkan kematiannya ada yang melengos atau melupakannya. Saat ke kubur, umpamanya, mereka mengira selamanya hanya akan menyaksikan penguburan orang lain, dan tak pernah terpikir bahwa suatu ketika mereka sendiri diusung dalam keranda. Sikap lalai itu mungkin akibat kurangnya perenungan pada maut.
Tampaknya, tanda-tanda keuzuran berupa rambut putih, mata rabun, dan kulit keriput belum menyentuh. Juga iklan-iklan kematian di koran cuma sebagai obat "puas": "Ah, umur saya sudah dilebihkan ketimbang mereka."
Sebenarnya, menguak misteri kematian bukan cermin selera rendah, melainkan merupakan prestasi keagamaan. Sejak 2.000 tahun sebelum Masehi, melewati masa Dante, Donne hingga Milton, perenungan yang terus-menerus atas kefanaan manusia dan kemungkinan bertahan hidup telah menghadirkan tema kesusastraan yang tak kunjung habis, dan indah.
Mengingat kematian itulah yang, Kamis malam pekan lalu, jadi tema pengajian di Bintaro, Tangerang, Banten. Waktu itu, tuan rumah yang kiai mengisahkan sebuah pemakaman yang diikutinya di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, April silam. Deretan mobil pelayat menandakan bahwa almarhum bukan rakyat kecil.
Saat jenazah diturunkan ke liang lahat, kakinya nyantol tak bisa masuk. Mata orang pun terpana. Terpaksa, tanah kubur digali lebih panjang. "Kocrok! Kocrok!" Mayat kembali diturunkan. Lho, kok, masih nyantol. Digali lagi. Hasilnya sama saja. Para pelayat mulai bisik-bisik tentang almarhum. Penggali kubur judek. "Pak, ukuran jenazah 165 centimeter. Kubur yang kami gali panjangnya 260 sentimeter, kok tidak masuk. Liang lahat tak mungkin digali lagi, karena sudah mentok dengan nisan sebelah," ujar penggali kubur. Masya Allah!
Pihak keluarga lantas meminta kiai itu mendoakan almarhum. Dia pura-pura mbudek, karena hati kecilnya menolak. Ia ingat firman Allah bahwa bumi-Nya tak akan menerima jenazah orang-orang yang tak diridhai.
Pokoknya, aku tak mau mati! Titik! Engkel-engkelan itu pun tak habis. Maklum,bocah di bawah 10 tahun. Pemahaman soal kiamat baru jelas setelah akil balig. Bahwa kematian itu kiamat, barang siapa mati berarti kiamatnya telah tiba. Amal baik dan buruk ditimbang untuk dicemplungkan ke neraka atau surga.
Toh, perilaku saya untuk berdusta atau bohong-kecil-kecilan, sih-tetap terpelihara. Perut masih menelan barang haram. Otak pun masih suka ngeres. Ibadah nomor sekian, cari kenikmatan nomor satu. "Kematian itu masih jauh," itu pikiran saya.
Orang dewasa pun bila diingatkan kematiannya ada yang melengos atau melupakannya. Saat ke kubur, umpamanya, mereka mengira selamanya hanya akan menyaksikan penguburan orang lain, dan tak pernah terpikir bahwa suatu ketika mereka sendiri diusung dalam keranda. Sikap lalai itu mungkin akibat kurangnya perenungan pada maut.
Tampaknya, tanda-tanda keuzuran berupa rambut putih, mata rabun, dan kulit keriput belum menyentuh. Juga iklan-iklan kematian di koran cuma sebagai obat "puas": "Ah, umur saya sudah dilebihkan ketimbang mereka."
Sebenarnya, menguak misteri kematian bukan cermin selera rendah, melainkan merupakan prestasi keagamaan. Sejak 2.000 tahun sebelum Masehi, melewati masa Dante, Donne hingga Milton, perenungan yang terus-menerus atas kefanaan manusia dan kemungkinan bertahan hidup telah menghadirkan tema kesusastraan yang tak kunjung habis, dan indah.
Mengingat kematian itulah yang, Kamis malam pekan lalu, jadi tema pengajian di Bintaro, Tangerang, Banten. Waktu itu, tuan rumah yang kiai mengisahkan sebuah pemakaman yang diikutinya di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, April silam. Deretan mobil pelayat menandakan bahwa almarhum bukan rakyat kecil.
Saat jenazah diturunkan ke liang lahat, kakinya nyantol tak bisa masuk. Mata orang pun terpana. Terpaksa, tanah kubur digali lebih panjang. "Kocrok! Kocrok!" Mayat kembali diturunkan. Lho, kok, masih nyantol. Digali lagi. Hasilnya sama saja. Para pelayat mulai bisik-bisik tentang almarhum. Penggali kubur judek. "Pak, ukuran jenazah 165 centimeter. Kubur yang kami gali panjangnya 260 sentimeter, kok tidak masuk. Liang lahat tak mungkin digali lagi, karena sudah mentok dengan nisan sebelah," ujar penggali kubur. Masya Allah!
Pihak keluarga lantas meminta kiai itu mendoakan almarhum. Dia pura-pura mbudek, karena hati kecilnya menolak. Ia ingat firman Allah bahwa bumi-Nya tak akan menerima jenazah orang-orang yang tak diridhai.
kubur pun menolak....
"Bapak diminta untuk ke depan," kata seseorang mencolek sang kiai. Apa boleh buat, dia pun berdoa. Di tangannya tergenggam segelas air putih.
Benar saja. Begitu air usai didoai, lalu disiramkan, dan jenazah diturunkan, kaki almarhum tetap mengganjal pada ujung tanah kubur. Tidak bisa masuk! Tak ada jalan lain kecuali dipatahkan. "Mohon jangan dilakukan dulu, saya mau menjauh," ujar kiai itu. Ternyata, walau sudah menjauh, kala kaki itu dipatahkan, suaranya cukup menyentakkan. Prak! Semua orang terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
Begitu prosesi dilanjutkan-antara lain diazani dan diqamati- deretan mobil pengiring sudah lenyap. Pelayat telah sepi. "Yang tersisa hanya lima mobil dan pihak keluarga," kata kiai itu. Perjalanan hidup manusia hingga ke liang kubur tersebut tak urung membuatnya berkaca-kaca. "Sesungguhnya kuburan adalah tahap pertama akhirat. Jika penghuninya selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih mudah, tapi jika dia tidak selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih sukar," begitu Rasulullah SAW pernah bersabda.
Artinya, memahami kematian bisa jadi cermin hidup dan mempertebal iman. Pernah, setahun lalu, seseorang yang menghadiri pemakaman keluarga di Wonogiri, Jawa Tengah, juga mengisahkan ketrenyuhan serupa. Makam itu berada di atas bukit. Saat liang kubur baru digali semeter lebih sedikit, air mengucur deras dari sebuah sumber. Ini mengherankan, tak masuk akal!
Penggali kubur geleng-geleng kepala. Air dikuras, tapi tak juga habis. Lalu diuruk pasir. Hasilnya nihil. Apa boleh buat, terpaksa jenazah dimasukkan ke liang lahat dalam kondisi berair. Mayatnya mengapung kayak gedebok pisang. Para pelayat menundukkan kepala, kasihan. Adakah ini bagian dari ketidakridhaan-Mu, ya, Allah? Engkau tidak mengendaki bumi-Mu dimasuki orang-orang yang zalim, yang suka menyakiti orang, yang suka menilap bukan haknya? Wallahualam. Yang pasti, fenomena kubur tak sudi menerima jenazah seringkali hanya menyadarkan kita sesaat. "Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis," sabda Nabi SAW.
Memang, kita tak menutup mata bahwa kematian-bagi sebagian orang-adalah kebahagiaan, dan hidup adalah upaya memperoleh tambahan nilai kebaikan. Namun, acap pula kematian itu membisukan jawaban.
By Widi San desu
Benar saja. Begitu air usai didoai, lalu disiramkan, dan jenazah diturunkan, kaki almarhum tetap mengganjal pada ujung tanah kubur. Tidak bisa masuk! Tak ada jalan lain kecuali dipatahkan. "Mohon jangan dilakukan dulu, saya mau menjauh," ujar kiai itu. Ternyata, walau sudah menjauh, kala kaki itu dipatahkan, suaranya cukup menyentakkan. Prak! Semua orang terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.
Begitu prosesi dilanjutkan-antara lain diazani dan diqamati- deretan mobil pengiring sudah lenyap. Pelayat telah sepi. "Yang tersisa hanya lima mobil dan pihak keluarga," kata kiai itu. Perjalanan hidup manusia hingga ke liang kubur tersebut tak urung membuatnya berkaca-kaca. "Sesungguhnya kuburan adalah tahap pertama akhirat. Jika penghuninya selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih mudah, tapi jika dia tidak selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih sukar," begitu Rasulullah SAW pernah bersabda.
Artinya, memahami kematian bisa jadi cermin hidup dan mempertebal iman. Pernah, setahun lalu, seseorang yang menghadiri pemakaman keluarga di Wonogiri, Jawa Tengah, juga mengisahkan ketrenyuhan serupa. Makam itu berada di atas bukit. Saat liang kubur baru digali semeter lebih sedikit, air mengucur deras dari sebuah sumber. Ini mengherankan, tak masuk akal!
Penggali kubur geleng-geleng kepala. Air dikuras, tapi tak juga habis. Lalu diuruk pasir. Hasilnya nihil. Apa boleh buat, terpaksa jenazah dimasukkan ke liang lahat dalam kondisi berair. Mayatnya mengapung kayak gedebok pisang. Para pelayat menundukkan kepala, kasihan. Adakah ini bagian dari ketidakridhaan-Mu, ya, Allah? Engkau tidak mengendaki bumi-Mu dimasuki orang-orang yang zalim, yang suka menyakiti orang, yang suka menilap bukan haknya? Wallahualam. Yang pasti, fenomena kubur tak sudi menerima jenazah seringkali hanya menyadarkan kita sesaat. "Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis," sabda Nabi SAW.
Memang, kita tak menutup mata bahwa kematian-bagi sebagian orang-adalah kebahagiaan, dan hidup adalah upaya memperoleh tambahan nilai kebaikan. Namun, acap pula kematian itu membisukan jawaban.
By Widi San desu