Hadits-hadits palsu yang banyak beredar pada zaman sekarang, tidaklah menyebar dengan sendirinya. Ada beberapa golongan yang sengaja membuat dan menyebarkannya demi memuaskan nafsu mereka dan menyempurnakan kebodohan mereka. Karena peristiwa ini tidaklah terjadi pada zaman para sahabat. Para sahabat radhiyallahu’anhum adalah orang-orang yang terpilih untuk mendampingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan risalah kenabiannya dan menegakkan agama Allah dimuka bumi. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.
رَضِىَ اللهُ عَـنْهُـمْ وَرَضُوا عَـنْـهُ …
Artinya: “… Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (Qs. At-Taubah: 100)
Akan tetapi sepeninggal mereka, mulailah bermunculan orang-orang yang banyak mengikuti hawa nafsunya, sehingga timbullah fitnah (cobaan) yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Dr. Umar Falatah berkata tentang sejarah kemunculan hadits palsu di tengah-tengah kaum Muslimin,
“Kitab-kitab sejarah yang sangat perhatian kepada setiap kejadian, baik yang besar maupun yang kecil, tidak pernah mencatat untuk kita sebuah kejadian tertentu yang dapat kita jadikan tolak-ukur untuk menentukan awal timbulnya pemalsuan hadits. Paling tidak, semua hanya memberikan gambaran secara umum bahwa sebagian sahabat yang berumur panjang, juga para pembesar tabi’in, mulai tidak menerima semua hadits yang mereka dengar.” [Lihat Al-Wadh’u fil Hadits (I/180)]
“Kitab-kitab sejarah yang sangat perhatian kepada setiap kejadian, baik yang besar maupun yang kecil, tidak pernah mencatat untuk kita sebuah kejadian tertentu yang dapat kita jadikan tolak-ukur untuk menentukan awal timbulnya pemalsuan hadits. Paling tidak, semua hanya memberikan gambaran secara umum bahwa sebagian sahabat yang berumur panjang, juga para pembesar tabi’in, mulai tidak menerima semua hadits yang mereka dengar.” [Lihat Al-Wadh’u fil Hadits (I/180)]
Di antara hal yang menunjukkan awal mula terjadinya pemalsuan hadits adalah perkataan Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah,
“Para ulama hadits tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya adalah seorang Ahlus Sunnah maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah maka haditsnya ditolak.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim I/14)
“Para ulama hadits tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya adalah seorang Ahlus Sunnah maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah maka haditsnya ditolak.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim I/14)
Dari apa yang tampak bahwa sejarah tidak dengan jelas menyebutkan secara pasti kapan pemalsuan hadits mulai terjadi, akan tetapi kalau boleh dikatakan maka mungkin fenomena pemalsuan hadits mulai merebak pada sepertiga akhir abad pertama hijriyah. [Lihat Al-Wadh’u fil Hadits (I/202)]
Adapun sebab terjadinya pemalsuan hadits adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan kaum zindiq dan ilhad.
Kaum zindiq dan ilhad adalah orang-orang yang mengubah makna dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan makna yang rusak dan bertentangan dengan pokok dasar aqidah Islam. Mereka adalah orang-orang yang pura-pura Islam, akan tetapi sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir dan munafik yang sangat hasad dan benci terhadap Islam. Mereka ingin merusak Islam dari dalam dengan berbagai cara, diantaranya membuat hadits-hadits palsu yang jumlahnya sangat banyak, kemudian mereka sebarkan hadits-hadits tersebut atas nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tujuan mereka tidak lain kecuali untuk merusak syari’at dan mempermainkan agama Allah, sekaligus menanamkan tasykik (keraguan) di hati kaum muslimin.
Hammad bin Zaid rahimahullah pernah berkata,
وَضَعَت الزَّنَادِقَة عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَرْبَعَة عَشَر أَلف حَدِيث
“Kaum zindiq telah memalsukan hadits atas nama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebanyak 14000 hadits palsu.” [Lihat Al-Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah (hal. 604) dan Al-Ba’itsul Hatsits (I/254)]
Ketika salah seorang zindiq yang bernama Abdul Karim bin ‘Auja’ akan dihukum mati oleh seorang penguasa Bashrah pada zaman khilafah Al-Mahdi pada tahun 160 H, ia berkata,
لَقَدْ وَضَعْتُ فِيْكُم أَرْبَعَة ألف حَدٍيْث, أحرِّم فِيْهَا الحَلاَل وَأحل فِيْهَا الحَرَم
“Sesungguhnya aku telah memalsukan hadits sebanyak pada kalian sebanyak 4000 hadits palsu, aku haramkan padanya perkara yang halal dan aku telah halalkan padanya perkara yang haram.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/254)]
Imam An-Nasa’i rahimahullah berkata berkata, “Para pendusta yang terkenal memalsukan hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ada empat orang: ‘Ibnu Abi Yahya di Madinah, al-Waqidiy di Baghdad, Muqathil bin Sulaiman di Khurasan dan Muhammad bin Sa’id di Syam yang terkenal dengan sebutan Al-Mashlub (orang yang disalib).” [Lihat Adh-Dhu’afa wal Matrukin (hal. 310)]
2. Sikap ta’ashshub (fanatik) terhadap negara, bahasa, atau golongan tertentu.
Adapula kaum yang memalsukan hadits dikarenakan mengikuti hawa nafsu, kemudian mereka mengajak manusia mengikutinya dengan meyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Seperti ta’ashshub madzhabiyah (fanatik terhadap madzhab tertentu), golongan, atau firqah dan kelompoknya, kabilah atau suku-sukunya, negerinya atau bahasanya dan lain-lain.
Sebagai contoh, hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang fanatik kepada imam tertentu,
Adapula kaum yang memalsukan hadits dikarenakan mengikuti hawa nafsu, kemudian mereka mengajak manusia mengikutinya dengan meyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Seperti ta’ashshub madzhabiyah (fanatik terhadap madzhab tertentu), golongan, atau firqah dan kelompoknya, kabilah atau suku-sukunya, negerinya atau bahasanya dan lain-lain.
Sebagai contoh, hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang fanatik kepada imam tertentu,
يَكُوْنُ مِنْ أُمَّتِي رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدٌ بْنُ إِدْرِيْسَ أَضَرُّ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ مِنْ أَمَّتِيْ رَجُلٌ يُقُالُ لَهُ أَبُوْ حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاج أُمَّتِيْ
“Akan ada dari kalangan ummatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (yakni Imam Asy-Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi ummatku daripada iblis. Dan akan ada di kalangan ummatku seorang yang bernama Abu Hanifah, dia adalah lampu penerang bagi ummatku.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/49)]
Dan sebuah hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang yang fanatik terhadap bahasanya, seperti hadits yang dibuat oleh orang-orang Persia berikut ini,
إِنَّ كَلَامَ الَّذِيْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ بِالْفَارِسِيَّةِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَوْحَى أَمْرًا فِيْهِ لَيْنٍ أَوْحَاهُ بِالْفَرِسِيَّةِ، وَإِذَا أَوْحَى أَمْرًا فِيْهِ شِدَّةٍ أَوْحَاهُ بِالْعَـرَبِيَّةِ
“Sesungguhnya bahasa para Malaikat yang berada di sekitar ‘Arsy adalah bahasa Persia. Dan apabila Allah mewahyukan sesuatu hal yang sifatnya lembut maka Dia mewahyukannya dengan bahasa Persia. Namun jika wahyu itu bersifat keras maka (Allah) menggunakan bahasa Arab.” [Lihat Tanzihusy Syari’ah (I/136)]
Selain itu, ada juga seorang yang bernama Maisarah bin ‘Abdi Rabbih. Dia telah mengaku bahwa dia membuat tujuh puluh hadits palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan-keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. [Lihat Musthalahul Hadits (hal. 40)]
Oleh karena itu, para ulama telah mewanti-wanti kepada kita untuk mewaspadai hadits-hadits yang sampai kepadanya, karena tidak semua hadits itu datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana ‘Abdullah bin Yazid Al-Muqri rahimahullah –guru Imam Malik– pernah berkata: “Seorang ahli bid’ah yang sudah bertaubat dari bid’ahnya berkata,
أُنطُرُوا هَذَا الحَدِيث مِمَّن تَأخُذُوْنَهُ, فَإِنَّا كَنَا إِذَا رَأَيْنَا رَأيًا جَعَلْنَالَهُ حَدِثًا
“Perhatikanlah hadits itu dari siapa kamu mengambilnya! Karena sesungguhnya kami dahulu, apabila berpendapat dengan satu pendapat, maka kami jadikan pendapat kami itu sebagai satu hadits.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/257)]
Telah berkata ‘Abdullah bin Lahi’ah (wafat thn. 174 H), aku telah mendengar seorang syaikh dari khawarij yang setelah taubat dan ruju’ berkata,
إِنَّ هَذِهِ الأَحَاديِث دِين, فَانظُرُوا عَمَّن تَأخُذُونَ دِينَكُم, فَإنَّا كَنَا اذَا هوينا أَمرًا صيرناه حَدِيثًا
“Sesungguhnya hadits-hadits ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama kamu! Karena sesungguhnya kami dahulu, apabila kami condong kepada satu urusan (maksudnya faham atau pendapat yang cocok dengan bid’ah mereka), niscaya kami jadikan urusan itu sebagai satu hadits (yakni kami palsukan menjadi sebuah hadits).” [Lihat Al-Kifayah min ‘Ilmir Riwayah (hal. 163) dan Muqaddimah Al-Maudhu’at Ibnul Jauzi (hal. 38-39)]
3. Kaum yang memalsukan hadits, yang menurut persangkaan mereka baik.
Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan amal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan), dan lain-lain. Anehnya, mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkannya dengan mengharapkan ganjaran dari Allah Jalla wa ‘Ala. Dan apabila mereka diingatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan amal, targhib wat tarhib (anjuran dan larangan), dan lain-lain. Anehnya, mereka tidak merasa keberatan bahkan membolehkannya dengan mengharapkan ganjaran dari Allah Jalla wa ‘Ala. Dan apabila mereka diingatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتُعُمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَةُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (I/7, 35, 36; II/81 dan IV/145, 157) dan Muslim (I/7, 8), Ahmad (I/83, 321; II/22, 103, 104, 159, 203, 214 dan IV/47, 50, 106, 252), Ibnu Majah (no. 31, 34, 36), Abu Dawud (no. 3651) dan Tirmidzi (IV/142, 147), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Kemudian mereka berkata, “Kami tidak berbohong untuk merusak nama atau syari’at Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, akan tetapi kami berbohong untuk membela beliau shallallahu’alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan alangkah sempurnanya kejahilan mereka dan sedikitnya akal mereka serta begitu banyaknya dosa dan kebohongan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak butuh kepada orang lain untuk kesempurnaan syari‘at dan keutamaannya. Mereka ini umumnya kaum yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud dan sufi.” [Lihat Al-Maudhu’at (I/37-47), Al-Madkhal (hal. 51-59), Adh-Dhu‘afa’ (I/62-66 dan 85), Majmu‘ Fatawa (XVIII/46), Al-Ba’itsul Hatsits (I/263), Syarh Nukhbatul Fikr (hal. 84-85), dan Mizanul I’tidal (II/644)]
4. Qashshash (para tukang cerita atau tukang dongeng).
Adanya orang-orang yang memiliki hobi bercerita dan memberi nasihat, namun kurang bekal ilmu pada akhir zaman khilafah, dan semakin banyak pada zaman setelahnya. Mereka memalsukan hadits dalam cerita-cerita mereka demi uang dan supaya orang-orang yang mendengarnya kagum kepada mereka. [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/258) dan Al-Maudhu’at (I/46)]
Adanya orang-orang yang memiliki hobi bercerita dan memberi nasihat, namun kurang bekal ilmu pada akhir zaman khilafah, dan semakin banyak pada zaman setelahnya. Mereka memalsukan hadits dalam cerita-cerita mereka demi uang dan supaya orang-orang yang mendengarnya kagum kepada mereka. [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/258) dan Al-Maudhu’at (I/46)]
5. Perselisihan politik.
Akibat terjadinya gejolak politik, muncullah banyak kelompok yang masing-masing ingin menguatkan kelompoknya meskipun dengan jalan memalsukan hadits. Kelompok yang paling banyak melakukan hal ini adalah Syi’ah.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang Syi’ah dan beliau berkata, “Jangan bicara dengan mereka, juga jangan meriwayatkan hadits dari mereka karena mereka adalah kaum pendusta.” [Lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (I/16)]
Hammad bin Salamah rahimahullah berkata, “Telah mengabarkan kepadaku seorang syaikh dari Rafidhah (Syi’ah), sesungguhnya mereka berkumpul (bersepakat) untuk memalsukan hadits-hadits.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/257)]
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang Syi’ah dan beliau berkata, “Jangan bicara dengan mereka, juga jangan meriwayatkan hadits dari mereka karena mereka adalah kaum pendusta.” [Lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (I/16)]
Hammad bin Salamah rahimahullah berkata, “Telah mengabarkan kepadaku seorang syaikh dari Rafidhah (Syi’ah), sesungguhnya mereka berkumpul (bersepakat) untuk memalsukan hadits-hadits.” [Lihat Al-Ba’itsul Hatsits (I/257)]
6. Kaum yang memalsukan hadits demi kepuasan hawa nafsu para penguasa dan untuk mendekatkan diri kepada mereka.
Di antara kalangan ulama, ada sebagian ulama berhati jahat yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat. Mereka ‘menjilat’ penguasa dengan mendatangkan fatwa, pendapat dan hadits palsu untuk menyenangkan penguasa tersebut. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim ketika dia datang menemui Al-Mahdi, seorang pemimpin Bani Abbasiyyah. Saat itu Al-Mahdi sedang bermain-main dengan burung merpati, kemudian ada yang berkata, “Sampaikanlah sebuah hadits kepada ‘amirul mukminin.”
Lantas dia menyebutkan sanad dan membuat hadits palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidak boleh mengadakan perlombaan, kecuali dalam bidang panah-memanah, naik unta dan kuda, serta bermain burung.”
Kemudian Al-Mahdi pun memberinya 10 ribu dirham. Namun ketika Ghiyats pergi, Al-Mahdi berkata, “Saya bersaksi bahwa engkau adalah seorang pendusta atas nama Rasulullah.”
Selanjutnya dia berkata, “Sayalah yang membuatnya melakukan hal itu.” Kemudian Al-Mahdi menyembelih burungnya tersebut. [Lihat Al-Maudhu’at I/42, Al-Ba’itsul Hatsits (I/261), An-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar (hal. 119-120), Musthalah Hadits (hal. 38-39)]
Di antara kalangan ulama, ada sebagian ulama berhati jahat yang membeli kehidupan dunia dengan akhirat. Mereka ‘menjilat’ penguasa dengan mendatangkan fatwa, pendapat dan hadits palsu untuk menyenangkan penguasa tersebut. Sebagaimana pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim ketika dia datang menemui Al-Mahdi, seorang pemimpin Bani Abbasiyyah. Saat itu Al-Mahdi sedang bermain-main dengan burung merpati, kemudian ada yang berkata, “Sampaikanlah sebuah hadits kepada ‘amirul mukminin.”
Lantas dia menyebutkan sanad dan membuat hadits palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidak boleh mengadakan perlombaan, kecuali dalam bidang panah-memanah, naik unta dan kuda, serta bermain burung.”
Kemudian Al-Mahdi pun memberinya 10 ribu dirham. Namun ketika Ghiyats pergi, Al-Mahdi berkata, “Saya bersaksi bahwa engkau adalah seorang pendusta atas nama Rasulullah.”
Selanjutnya dia berkata, “Sayalah yang membuatnya melakukan hal itu.” Kemudian Al-Mahdi menyembelih burungnya tersebut. [Lihat Al-Maudhu’at I/42, Al-Ba’itsul Hatsits (I/261), An-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar (hal. 119-120), Musthalah Hadits (hal. 38-39)]
Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi memberi komentar yang amat bagus terhadap kisah ini, “Aduhai, apakah gerangan dosa si burung merpati? Seandainya yang dibunuh adalah si pendusta tersebut (yakni Ghiyats bin Ibrahim), niscaya itulah yang paling tepat.” [Lihat An-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar (hal. 120)]
7. Perbedaan pendapat dalam masalah akidah dan fiqih.
Ada berbagai golongan yang sangat fanatik terhadap golongannya masing-masing. Sehingga ada diantara mereka yang sampai berani memalsukan hadits demi mendukung pendapat golongan mereka. Sebagai contoh adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya: “Barang siapa yang mengangkat kedua tangannya setelah ruku’ maka tidak ada shalat baginya.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/197)]
Ciri-Ciri Hadits Palsu
Ada berbagai golongan yang sangat fanatik terhadap golongannya masing-masing. Sehingga ada diantara mereka yang sampai berani memalsukan hadits demi mendukung pendapat golongan mereka. Sebagai contoh adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya: “Barang siapa yang mengangkat kedua tangannya setelah ruku’ maka tidak ada shalat baginya.” [Lihat Al-Maudhu’at (II/197)]
Ciri-Ciri Hadits Palsu
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits. Dan ciri-ciri ini dibagi menjadi dua:
Pertama, dilihat dari sisi sanad.
Ada banyak hal yang dapat digunakan untuk mengetahui kepalsuan suatu hadits dilihat dari sisi sanadnya, diantaranya adalah:
1. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya. Selain itu, tidak ada seorang perawi terpercaya yang meriwayatkan hadits itu darinya.
1. Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya. Selain itu, tidak ada seorang perawi terpercaya yang meriwayatkan hadits itu darinya.
2. Orang yang memalsukan hadits tersebut mengakui perbuatannya memalsukan hadits, seperti yang diakui oleh Abdul Karim bin Abi Auja’ yang mengaku telah memalsukan 4000 hadits.
3. Terbongkarnya kedustaan orang yang meriwayatkan hadits tersebut. Imam Al-‘Iroqi berkata, “Seperti orang yang menceritakan sebuah hadits, dia mengaku bahwa dia mendengarnya dari seorang syaikh pada tahun sekian, padahal syaikh tersebut telah meninggal dunia pada tahun sebelumnya. Dan hadits itu hanya diriwayatkan darinya saja.” [Lihat At-Taqyid wal Idhah (hal. 110)]
4. Adanya bukti kuat yang menunjukkan bahwa perawi hadits tersebut adalah seorang pendusta. Misalkan kenyataan bahwa dia adalah seorang Syi’ah yang fanatik kepada golongannya, kemudian dia meriwayatkan hadits yang mencela para sahabat dan mengagungkan ahlul bait.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,“Bahwa bila sanad hadits itu shahih dapat diterima. Namun, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya.” [Lihat Syarh Shahih Muslim (I/88)]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,“Bahwa bila sanad hadits itu shahih dapat diterima. Namun, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya.” [Lihat Syarh Shahih Muslim (I/88)]
Dan sejak kasus pemalsuan hadits berkembang di tengah masyarakat Muslim, sebelum para imam ahli hadits itu menerima suatu hadits, mereka terlebih dahulu melakukan kritik sanad (naqdu al-sanad). Atau istilah lain yang juga biasa dipakai untuk melakukan kritik sanad itu ialah kritik ekstern. Para sahabat dan tabi’in adalah yang pertama kali menyeleksi hadits, diantaranya adalah dengan berpegang teguh kepada sanad. [Lihat As-Sunnah Qabla At-Tadwin (hal. 219), Al-Manhal Rawi (hal. 33), dan Tadribur Rawi (I/63)]
Kedua, dilihat dari sisi matan.
Matan (متن) adalah kalam (perkataan) yang disampaikan oleh sanad yang terakhir. [Lihat Syarah Nukhbatul Fikr (hal. 40) dan Tadribur Rawi (I/28)]
Diantara hal penting yang dapat diketahui dari sisi matan adalah:
1. Susunan dan tata bahasanya buruk. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang dianugrahi kemampuan untuk meringkas kalimat dengan padat, jelas dan bermakna luas (jawami’ul kalim). Oleh sebab itu, setiap kalimat yang buruk tata bahasa dan susunannya, dipastikan bukan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun demikian, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Buruknya tata bahasa (dalam menyampaikan hadits) tidak selamanya menunjukkan bahwa hadits itu palsu. Karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan makna (yang sesuai dengan hadits tersebut). Namun jika perawi hadits itu mengatakan dengan tegas bahwa (hadits) ini adalah ucapan Rasulullah maka keburukan tata bahasanya menunjukkan kepalsuan (hadits)nya.” [Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Shalah (hal. 360)]
Namun demikian, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Buruknya tata bahasa (dalam menyampaikan hadits) tidak selamanya menunjukkan bahwa hadits itu palsu. Karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan makna (yang sesuai dengan hadits tersebut). Namun jika perawi hadits itu mengatakan dengan tegas bahwa (hadits) ini adalah ucapan Rasulullah maka keburukan tata bahasanya menunjukkan kepalsuan (hadits)nya.” [Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibnu Shalah (hal. 360)]
2. Makna haditsnya rusak. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, “Jika engkau melihat ada sebuah hadits yang bertentangan dengan akal sehat atau bertabrakan dengan nash (dalil) yang qath’i serta bertentangan dengan sebuah dasar hukum, ketahuilah bahwa itu adalah sebuah hadits palsu.” [Lihat Hadits Lemah dan Palsu (hal. 38)]
3. Haditsnya bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, dan hadits tersebut tidak mungkin untuk dibawa pada makna yang benar.
4. Haditsnya bertentangan dengan fakta sejarah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
5. Haditsnya sesuai dengan madzhab dari perawinya, dan diketahui bahwa perawi tersebut adalah orang yang sangat fanatik terhadap madzhabnya.
6. Hadits tersebut seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang, karena hadits itu disampaikan disebuah tempat yang didengar oleh banyak orang dan merupakan sebuah perkara besar. Namun, ternyata tidak ada yang meriwayatkan hadits tersebut kecuali darinya saja.
7. Hadits yang menunjukkan adanya pahala besar untuk sebuah amal perbuatan yang kecil. Atau hadits yang menyebutkan tentang ancaman yang begitu dahsyat atas sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak dijumpai dikalangan tukang cerita dan kaum sufi.
8. Hadits itu terdapat dalam sebuah kitab atau buku tanpa disebutkan siapa yang meriwayatkannya dan juga tanpa disebutkan sanadnya. Padahal sanad adalah tolok-ukur diterima atau ditolaknya suatu hadits. Sebagaimana dikatakan oleh Imam ‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah, “Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad maka semua orang akan berbicara semaunya.” [Lihat Muqaddimah Shahih Muslim (I/15)]
Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab Al-Manarul Munif fish Shahih wadh Dha’if, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab Al-Manarul Munif fish Shahih wadh Dha’if, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Bersambung -insyaallah-
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Al-Ba’itsul Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulumil Hadits, AL-Hafizh Ibnu Katsir, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
2. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, cetakan Darul Afaq Al-Jadidah, Beirut.
3. Al-Maudhu’at min Al-Ahaditsil Marfu’at, Ibnul Jauzi, cetakan Adhwa’us Salaf, Riyadh.
4. Al-Wadh’u fil Hadits, Dr. ‘Umar Hasan Falatah, cetakan Maktabah Al-Ghazali, Damaskus.
5. As-Sunnah Qabla At-Tadwin, Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, cetakan Maktabah Wahbah, Kairo.
6. As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami, Mushthafa As-Siba’i, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Damaskus.
7. Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyyah, Abu ‘Ubaidah Yusuf As-Sidawi dan Abu ‘Abdillah Syahrul Fatwa, cetakan Pustaka Darul Ilmi, Bogor.
8. Fathul Bari bi Syarh Shahih Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, cetakan Darul Hadits, Kairo.
9. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf.
10. Irwa’ul Ghalih fi Takhriji Ahadits Manaris Sabil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Al-Maktab Al-Islami, Beirut.
11. Manzilatus Sunnah fit Tasyri’ Al-Islami, Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami, cetakan Darul Minhaj, Kairo.
12. Musthalahul Hadits, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
13. Penolakan M. Quraish Shihab Terhadap Hadits Keberadaan Allah (Sebuah Tinjauan Kritik Hadits), Sofyan Hadi bin Isma’il Al-Muhajirin, skripsi kelulusan sarjana Fakultas Tafsir Hadits UIN, Bandung.
14. Qawa’idut Tahdits, Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.
15. Shahih Muslim, Imam Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut.
16. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
17. Sunan Ibnu Majah, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Zaid Al-Qazwini (Ibnu Majah), cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
18. Syarh Manzhumah Al-Baiquniyyah, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Maktabah Al-‘Ilmu, Kairo.
19. Syarh Nukhbatul Fikr fi Musthalah Ahlil Atsar, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaniy, cetakan Darul Mughniy, Riyadh.
20. Syarhus Sunnah, Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari, cetakan Maktabah Darul Minhaj, Riyadh.
21. Tadribur Rawi, Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, cetakan Daar Thaybah, Riyadh.
22. Taisir Musthalahul Hadits, Mahmud Ath-Thahhan, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
23. Takhrijul Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Hafizh Abi Fadhl Zainuddin ‘Abdurrahman bin Husain Al-‘Iroqi, cetakan Maktabah Daar Thabariyyah, Riyadh.
24. Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Daar Ar-Rayah, Riyadh.
25. Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, Riyadh.
26. Dan kitab-kitab lain.
Post a Comment Blogger Facebook