Etnis Muslim Rohingnya, Arakan masih mengalami penderitaan berkepanjangan. Mereka berharap negara-negara Muslim seperti Indonesia membantu menekan rezim junta militer Myanmar. Muslim Rohingya ingin hidup bebas menjalankan agamanya, melanjutkan pendidikan sampai dipermudah melakukan pernikahan.
Menurut Heru, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa berbuat lebih dari Muslim Malaysia yang lebih konkrit begerak meski hanya berpenduduk 16 juta jiwa. Tapi faktanya tidaklah demikian.
“Kita lebih sibuk mengurus Ariel daripada Muslim Rohingya,” ujar pakar hukum itu.
Heru juga menyampaikan bahwa duka Muslim etnis Rohingnya sebenarnya sudah berlangsung lama. Meski Myanmar merdeka pada tahun 1948, sejatinya Muslim Arakan belum sempat merasakan manisnya kebebasan. Ketika rezim Militer berkuasa tahun 1988, intensitas penindasan terus meningkat terhadap mereka..
“Jadi duka Arakan sudah berlangsung lama, tapi dulu belum ada media sosial,” kata mahasiswa program Doktor Chulalongkorn University, Bangkok itu.
Selama ini berbagai metode juga dilakukan pemerintah Myanmar agar orang Rohingya keluar dari Arakan. Mulai dari pemerkosaan struktural, pembatasan pernikahan, hingga membatasi kehamilan. Namun Muslim Rohingya tidak bisa berbuat banyak.
“Siapa yang mau melawan, karena mereka minoritas,” ceritanya.
Meski demikian masyarakat diminta untuk tidak memandang sebelah mata pengungsi muslim Arakan. Walau hidup dalam penindasan, mereka memiliki semangat Islam luar biasa.
“Saya pernah melihat tempat pengungsian mereka di Thailand, di sana anak-anak mereka belajar mengaji,” tandasnya.
Demikian disampaikan Dr Heru Susetyo dari Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) dalam diskusi publik bertema, “Muslim Rohingya: Lukamu adalah Luka Kami Semua”, di Universitas Indonesia, Senin (23/7).
Menurut Heru, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa berbuat lebih dari Muslim Malaysia yang lebih konkrit begerak meski hanya berpenduduk 16 juta jiwa. Tapi faktanya tidaklah demikian.
“Kita lebih sibuk mengurus Ariel daripada Muslim Rohingya,” ujar pakar hukum itu.
Heru juga menyampaikan bahwa duka Muslim etnis Rohingnya sebenarnya sudah berlangsung lama. Meski Myanmar merdeka pada tahun 1948, sejatinya Muslim Arakan belum sempat merasakan manisnya kebebasan. Ketika rezim Militer berkuasa tahun 1988, intensitas penindasan terus meningkat terhadap mereka..
“Jadi duka Arakan sudah berlangsung lama, tapi dulu belum ada media sosial,” kata mahasiswa program Doktor Chulalongkorn University, Bangkok itu.
Selama ini berbagai metode juga dilakukan pemerintah Myanmar agar orang Rohingya keluar dari Arakan. Mulai dari pemerkosaan struktural, pembatasan pernikahan, hingga membatasi kehamilan. Namun Muslim Rohingya tidak bisa berbuat banyak.
“Siapa yang mau melawan, karena mereka minoritas,” ceritanya.
Meski demikian masyarakat diminta untuk tidak memandang sebelah mata pengungsi muslim Arakan. Walau hidup dalam penindasan, mereka memiliki semangat Islam luar biasa.
“Saya pernah melihat tempat pengungsian mereka di Thailand, di sana anak-anak mereka belajar mengaji,” tandasnya.