Dari kota Swerdlovsk yang hawanya sejuk, tamu-tamu Indonesia melanjutkan perjalanan ke kota Tashkent. Pada tanggal 4 September 1956, di ibukota Uzbektistan itu belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa musim rontok yang sejuk itu sudah dekat. Matahari yang panas menyinari seluruh kota Tashkent yang penduduknya keluar dari rumahnya masing-masing untk menyambut Presiden Sukarno dan rombongan.
Bunga mawar, karangan bunga yang indah jatuh ibarat hujan di atas mobil Presiden yang maju perlahan-lahan di sepanjang jalanan utama kota Tashkent. Lagu-lagu bangsa Uzbek dimainkan, pekikan-pekikan menyambut Bung Karno terdengar di mana-mana: “Salam Bung Karno!”, “Merdeka”, “Hidup persahabatan Soviet-Indonesia!”.
Sungguh, sebuah pemandangan yang menyisakan kekayaan batin. Sebuah kejadian yang menyisakan gurat rasa bangga di dada. Rasa persahabatan yang dalam antarkedua bangsa itu, menemani rongga dada Bung Karno dan rombongan, dan mengantar mereka ke peraduan malam hari itu.
Keesokan harinya, Presiden Sukarno beserta rombongan mengunjungi salah satu kota industri dari Uzbekistan yaitu kota Chircik. Bung Karno menyaksikan dari dekat pabrik listrik-kimia Chircik. Puas mendapat penjelasan dari kepala pabrik, Bung Karno dan rombongan melanjutkan kunjungan hari itu ke perusahaan pertanian penanaman kapas “Kzil Uzbeksitan” yang terkenal di Republik Uzbekistan itu.
Sekadar mengingatkan sidang pembaca yang mulia, ketika itu (1956), Uzbekistan belum lagi menjadi sebuah negara merdeka. Ia masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Nah, di Uzbek, Bung Karno pun didaulat menghadiri rapat akbar di stadion “Pakhtakor”. Yang istimewa adalah, rapat raksasa itu diadakan spesial untuk menyambut tamu agung dari Indonesia yang dinilai oleh masyarakat Tashkent sebagai peristiwa besar. Sebanyak 75 ribu orang mendengarkan pidato Presiden Sukarno, sebanyak 55 ribu duduk tertib di bangku stadion, sisanya berjubel di tengah lapangan. Kepada kaum muslimin yang hadir di rapat itu, Presiden menyampaikan salam secara Islam: Assalamu’alaikum!
Stadion Pakhtakor adalah stadion termegah di Tashkent, Uzbekistan. Yang menarik adalah, stadion ini dibangun tahun 1954 oleh rakyat Uzbek sendiri. Rakyat Uzbek bergotong royong membangun konstruksi stadion tanpa imbalan, tanpa upah selama dua tahun, dan selesai pada 1956.
Setelah selesai, segera penduduk Tashkend membentuk klub sepakbola yang juga diberi nama Pakhtakor yang berarti “pemetik kapas”. Ini mengenangkan bahwa masyarakat Tashkent mayoritas menggantungkan hidup dari kapas. Dalam sejarahnya, stadion Pakhtakor tempat Bung Karno berpidato pada tahun 1956, mengalami renovasi menyeluruh pada tahun 1996.
Stadion ini diresmikan pada 20 Agustus 1956. Bung Karno berpidato pada 5 September 1956. Patut diduga, Bung Karno-lah yang pertama kali memanfaatkan stadion itu. Sebab, dari catatan sejarah yang ada, pertandingan sepakbola (internasional) pertama yang dipertandingkan di stadion Pakhtakor adalah tanggal 19 September 1956, yang mempertemukan kesebelasan Pakhtakor melawan Dinamo (Albania) yang berakhir dengan kemenangan Pakhtakor.
Di stadion Pakhtakor pula, di hadapan puluhan ribu massa itu, Presiden Sukarno berkata bahwa kota Tashkent banyak persamaannya dengan kota-kota di Indonesia. “Udara di sini seperti di Indonesia, langitnya terang seperti di Indonesia, hawa di sini panas seperti di Indonesia, tanamannya seperti di Indonesia. Tetapi yang paling penting ialah bahwa rakyat saudara-saudara juga seperti rakyat Indonesia,” demikian Presiden Sukarno.
Pesan Bung Karno berikutnya adalah, “Segala manusia yang apa saja warna kulitnya, hendaknya bekerja sama untuk perdamaian dunia.” (roso daras)
Post a Comment Blogger Facebook