Sampai akhirnya ia menemukan Islam dan memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Ia mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai model dari sebuah kehidupan spiritual yang komprehensif, dan Islam telah menyelamatkannya dari “penyakit kejiwaan” yang dideritanya serta membuatnya merasa menemukan jiwanya yang hilang.
Sejak kecil Christopher Patrick Nelson, sudah memiliki perilaku dan emosi yang labil. Pada usia 14 tahun, ia pernah dirawat di bangsal untuk pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, karena tingkah lakunya yang tak terkontrol. Hingga usia dewasa, Nelson kerap mengalami depresi, tidak punya gairah melakukan apapun, inginnya tidur terus, dan yang terburuk merasa ingin mati saja. Beberapa kali Nelson melakukan percobaan bunuh diri, dengan mengiris pergelangan tangganya.
Pertama, ia didiagnosis menderita “paranoid-schizophrenia”, sebuah istilah dalam bidang psikiatrik ketika para ahli tidak bisa menentukan dengan pasti problem yang diderita pasiennya. Kemudian, ia dinyatakan memiliki perangai “Bipolar”, perangai ganda yang ekstrim, yang saling bertolak belakang. Sejak itu, Nelson berjuang menjalani kehidupannya yang kadang mengalami perubahan suasana hati yang ekstrim.
Orang-orang di lingkungan Nelson seringkali menyalahkan dirinya atas perilakunya yang tidak dewasa, karena tidak mengerti problem kejiwaan yang dialaminya. Kondisi ini menyulitkan Nelson dalam mendapatkan pekerjaan dan membina hubungan dengan sesamanya. Ia pernah bekerja kurang dari seminggu di sebuah restoran pizza. Nelson dipecat karena perilakunya yang kurang sopan pada pelanggan.
“Depresi itu seperti neraka. Rasa ini menyelinap dalam diri saya secara diam-diam seperti hantu. Saya ingat, saya menatap ke sebuah benda, misalnya sebuah meja tempat menyajikan kopi, tiba-tiba saya akan merasa kebingunan dan merasa hidup ini tak berarti,” tukas Nelson.
Untuk menyembuhkan diri, Nelson mengikuti pengobatan yang disebutnya pengobatan gaya barat, seperti meditasi dan terapi bagi para penderita gangguan psikiatrik, di sebuah klinik di San Jose. Tapi ia merasa, pengobatan macam itu hanya menolongnya sesaat, tidak menyembuhkannya.
Sampai akhirnya, ia menemukan Islam bagi “penyakit”nya , tepat di depan sebuah tempat perawatan gangguan kejiwaan. “Saya selalu merasa, di lubuk hati saya, bahwa penyakit saya berhubungan dengan sesuatu dalam jiwa saya–obat-obatan dan terapi–oleh sebab itu, tidak akan pernah bisa menyembuhkannya,” kata Nelson.
Dengan memeluk Islam, ia mempelajari ajaran Islam yang menurutnya mengajarkannya untuk membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati. “Islam memberi saya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri,” ujarnya.
“Saya merasakan, membaca doa tertentu pada Allah sangat membantu, untuk melindungi diri saya dari gangguan setan yang bisa menjerumuskan saya. Sikap disiplin dan berdoa membantu saya untuk mengendalikan emosi dan saya yang labil …”
“Ketika rasa gelisah dan depresi itu menerpa, saya merasa dikelilingi oleh puluhan polisi, yang melempari saya dan mencaci maki saya. Saya pun berdoa, mendengarkan dan meyakini kata-kata yang saya ucapkan dalam doa saya. Seketika jiwa saya kembali tenang dan merasakan kedamaian,” sambung Nelson.
Ia mengakui, untuk ketenangan jiwa, tidak cukup hanya doa tapi juga dipengaruhi oleh apa yang ia makan dan dengan siapa seseorang berkumpul. Menurut Nelson, berkumpul dengan sesama saudara seiman di masjid, banyak membantunya untuk menenangkan jiwa.
“Mengalami gangguan kejiwaan adalah sebuah perjuangan seumur hidup. Tapi setelah masuk Islam, saya merasakan akhirnya bisa mengendalikan diri saya. Islam mengajarkan saya untuk memurnikan hati dan jiwa saya,” tandas Nelson.
Post a Comment Blogger Facebook