Urip iku kadya wewayangan, lemampah sanetran kadya ing tangane dalang.
Artinya kehidupan adalah sekedar bayang-bayang yang melintas sekejap bagaikan pelakon sandiwara yang beraksi menghabiskan waktunya di atas panggung kemudian tak terdengar lagi suaranya.
Unen-unen di atas adalah setetes dari wejangan Sunan Derajat. Sebuah ilustrasi kehidupan manusia di muka bumi. Hidup manusia di bumi telah dibatasi sejak tertiupnya Ruh ke dalam jasad. Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Cuma sebatas mampir ngombe.
Dan ketika tiba saatnya panggilan dari Yang Kuasa (Jawa; Dino wekasan) atau ajal telah menjemput, kita akan berjalan sangat jauh sekali. Jarak yang tiada bertepi menuju singgasana-Nya. Hal ini sesuai dengan wicanten (perkataan) Sunan Derajat “Urip iku mung kadyo mamper ngombe, sabanjure mlaku mane adoh banget parane.”
Dalam memperkenalkan ajaran Islam, sunan menggunakan konsep dakwah bil Hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dengan kearifannya ia mencetuskan kaidah untuk hidup bermasyarakat, hidup bersama dengan saling tolong-menolong dan gotong-royong sesamanya.
Yaitu berupa wejangan
Artinya berikan tongkat pada orang buta, berikan makan pada yang kelaparan, berikan pakaian kepada yang telanjang, dan berikan payung kepada yang kehujanan. Jangan mendengrkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan Derajat juga mengajarkan kesantunan dalam berumah tangga. Hal ini di ketahui melalui maqolah beliau;
Terjemahannya, orang hidup harus mencari nafkah, nafkah ada apabila rajin bekerja, rajin bekerja dapat mendapat kemuliaan kelurga. Orang berumah tangga harus saling cinta mencintai. Keluarga yang baik selalu rukun bersatu dan mencita-citakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Barang siapa suka hidup bertetangga itu tergolong manusia yang arif. Tetangga itu perlu didekati akan tetapi jangan dicintai.
Sunan Derajat dalam berdakwah juga menggunakan pendekatan sosial budaya. Beliau selalu menjaga adat peninggalan para leluhur. Ajaran beliau yang terkenal dengan sebutan “Sapta Paweling” atau tujuh pesan fatwa petuah menjadi pusaka leluhur. Paweling dalam bahasa jawa “Weling” berarti pusaka peniggalan para leluhur yang harus diperhatikan. Tujuh petuah Sunan Derajat itu berbunyi;
Memangun resep tiyasing sesama. Artinya agar kita semua senantiasa sebisa mungkin membuat hati orang lain senang. Sesunggunya membuat bahagia kepada orang lain akan terhitung dengan sodaqoh.
Jeruning suka kudu eling lan waspada. Artinya tatkala senag harus ingat dan waspada. Sebab dalam perjalanan hidup ada suka dan duka, oleh karena itu manusia di tuntut sebisa mungkin untuk selalu waspada ketika dalam keadaan suka.
Laskitaning subrata tan nyipta maring pringabayaning lampah. Artinya dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur jangan memperdulikan segala bentuk rintangan yang menghadang.
Memperharganing ponco driyo. Artinya agar kita dapat menahan hawa nafsu karena sesunggunya nafsu bagaikan anak kecil, jika kita selalu menuruti kehendaknya ia akan selalu menginginkan secara terus menerus.
Mulyo guno panca waktu. Artinya kebahagiaan lahir batin atau kemulyaan hanyalah bisa dicapai dengan melakukan sholat lima waktu. Sebab melalui sholat lima waktu derajat seseorang akan lebih tinggi.
Heneng, Haning, Henung. Artinya dalam keadaan diam kita memperoleh keheningan, dan dalam keadaan hening itulah kita akan dapat mencapai tujuan luhur dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berfikirlah dengan tenang, jernih, supaya sampai kepada yang dituju (Allah).
Teruna ing samudra wirajangji, Orang Derajat menyebutnya dengan “Segara ombak pinana tunggal.” Artinya segala gejolak hidup dapat dipahami sebagai perwujudan Irodah Allah. Udzkur?
Artinya kehidupan adalah sekedar bayang-bayang yang melintas sekejap bagaikan pelakon sandiwara yang beraksi menghabiskan waktunya di atas panggung kemudian tak terdengar lagi suaranya.
Unen-unen di atas adalah setetes dari wejangan Sunan Derajat. Sebuah ilustrasi kehidupan manusia di muka bumi. Hidup manusia di bumi telah dibatasi sejak tertiupnya Ruh ke dalam jasad. Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Cuma sebatas mampir ngombe.
Dan ketika tiba saatnya panggilan dari Yang Kuasa (Jawa; Dino wekasan) atau ajal telah menjemput, kita akan berjalan sangat jauh sekali. Jarak yang tiada bertepi menuju singgasana-Nya. Hal ini sesuai dengan wicanten (perkataan) Sunan Derajat “Urip iku mung kadyo mamper ngombe, sabanjure mlaku mane adoh banget parane.”
Dalam memperkenalkan ajaran Islam, sunan menggunakan konsep dakwah bil Hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dengan kearifannya ia mencetuskan kaidah untuk hidup bermasyarakat, hidup bersama dengan saling tolong-menolong dan gotong-royong sesamanya.
Yaitu berupa wejangan
“Paring teken maring kang kalunyon lan wuto, paring pangan maring kan kaliren, paring sandang marang kang kawudan, paring payung kang kudanan. Bapang den simpangi, ana catur mungkur”.
Artinya berikan tongkat pada orang buta, berikan makan pada yang kelaparan, berikan pakaian kepada yang telanjang, dan berikan payung kepada yang kehujanan. Jangan mendengrkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan Derajat juga mengajarkan kesantunan dalam berumah tangga. Hal ini di ketahui melalui maqolah beliau;
“Wong urip kudu ngupaya boga, tuking boga saking nyambut karya. Seregep makarya biso gawe mulyo tumraping kulawargo, tumrap wong sesomahan kudu amongsi, kulawarga kang apik lamun padha rukun lan darbe panjangka amrih rahayuning jagad. Sing sopo seneng urip tetanggan kelebu janma linuwih. Tonggo iku perlu dicedaki nanging aja ditrisnani.”
Terjemahannya, orang hidup harus mencari nafkah, nafkah ada apabila rajin bekerja, rajin bekerja dapat mendapat kemuliaan kelurga. Orang berumah tangga harus saling cinta mencintai. Keluarga yang baik selalu rukun bersatu dan mencita-citakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Barang siapa suka hidup bertetangga itu tergolong manusia yang arif. Tetangga itu perlu didekati akan tetapi jangan dicintai.
Sunan Derajat dalam berdakwah juga menggunakan pendekatan sosial budaya. Beliau selalu menjaga adat peninggalan para leluhur. Ajaran beliau yang terkenal dengan sebutan “Sapta Paweling” atau tujuh pesan fatwa petuah menjadi pusaka leluhur. Paweling dalam bahasa jawa “Weling” berarti pusaka peniggalan para leluhur yang harus diperhatikan. Tujuh petuah Sunan Derajat itu berbunyi;
Memangun resep tiyasing sesama. Artinya agar kita semua senantiasa sebisa mungkin membuat hati orang lain senang. Sesunggunya membuat bahagia kepada orang lain akan terhitung dengan sodaqoh.
Jeruning suka kudu eling lan waspada. Artinya tatkala senag harus ingat dan waspada. Sebab dalam perjalanan hidup ada suka dan duka, oleh karena itu manusia di tuntut sebisa mungkin untuk selalu waspada ketika dalam keadaan suka.
Laskitaning subrata tan nyipta maring pringabayaning lampah. Artinya dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur jangan memperdulikan segala bentuk rintangan yang menghadang.
Memperharganing ponco driyo. Artinya agar kita dapat menahan hawa nafsu karena sesunggunya nafsu bagaikan anak kecil, jika kita selalu menuruti kehendaknya ia akan selalu menginginkan secara terus menerus.
Mulyo guno panca waktu. Artinya kebahagiaan lahir batin atau kemulyaan hanyalah bisa dicapai dengan melakukan sholat lima waktu. Sebab melalui sholat lima waktu derajat seseorang akan lebih tinggi.
Heneng, Haning, Henung. Artinya dalam keadaan diam kita memperoleh keheningan, dan dalam keadaan hening itulah kita akan dapat mencapai tujuan luhur dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berfikirlah dengan tenang, jernih, supaya sampai kepada yang dituju (Allah).
Teruna ing samudra wirajangji, Orang Derajat menyebutnya dengan “Segara ombak pinana tunggal.” Artinya segala gejolak hidup dapat dipahami sebagai perwujudan Irodah Allah. Udzkur?
Post a Comment Blogger Facebook